1. __________!

1984 Kata
"Jika aku bisa memilih, aku ingin terlahir lebih dulu, agar aku bisa menjadi pemenang untuk mendapatkan hatimu" ***** Edwin Alleta, Alleta, dan Alleta. Nama itu. Ya, nama itu yang selalu ada di dalam benakku. Aku mencintai kak Alleta. Entah sejak kapan perasaan itu tumbuh, yang jelas aku baru menyadari ketika perasaan itu telah tumbuh subur di dalam hati ini dan tak bisa aku kendalikan. Aku.. aku tak tau kenapa aku memiliki perasaan ini. Aku pun tau ini adalah kesalahan, tapi aku tak bisa mengelak setiap pesona kak Alleta yang selalu berhasil membuat hati ini mati untuk wanita lain. Silakan maki aku sepuasnya. Aku tak peduli. Aku akan tetap mencintai kak Alleta. ***** Bunyi dering ponsel mengalihkan pandangan Edwin pada foto Alleta yang dipegangnya, ia segera mengembalikan foto tersebut dalam laci dan mengunci rapat meja kerjanya. Mom's calling "Hallo, mom?" "Ed, apa kau sedang sibuk?”, tanya Elena "Tidak, aku sedang tidak sibuk. Ada apa mom?" "Bisakah kau menjemput mom di taman kota dekat kantormu? Tadi mom hampir dijambret dan untungnya ada yang menolong, tapi rasanya mom terlalu takut untuk berjalan sendirian" Edwin langsung terkesiap mendengar penjelasan dari ibunya. Ia panik dan takut terjadi apa-apa pada ibunya, baginya Elena adalah segalanya. "Astaga, mom! Ke mana semua bodyguard? Jangan ke mana-mana, tunggu aku di sana, aku akan sampai 10 menit lagi”, ujar Edwin. "Hati-hati, honey", jawab Elena. Dengan segera Edwin menarik kunci mobilnya dan melesat menuju taman kota tempat Elena berada. Sesampainya di taman, ia berkeliling mencari keberadaan Elena. Tak sulit untuk menemukan Elena di taman yang tidak terlalu luas tersebut. Ia menghela nafas lega saat melihat kondisi Elena yang tampak baik-baik saja dari kejauhan. Ibunya tengah duduk di sebuah bangku taman yang dekat dengan sebuah pos satpam. Tetapi ada yang beda. Edwin menyadari ada tatapan lain yang mengarah ke arahnya. Dan benar saja, tidak jauh dari Elena, terdapat seorang gadis berambut panjang sedang menatap lurus ke arahnya, tubuhnya gemuk menggunakan kemeja denim oversize menutupi hot pants yang ia kenakan. Ck! Apa gadis itu tidak berpikir keselamatannya memakai pakaian yang mengundang pikiran buruk para pria di luar? Pikir Edwin. "Mom!", panggil Edwin. Elena menoleh dan tersenyum menatap putranya yang datang menjemput. Edwin yang merasa lega langsung memeluk Elena dengan erat. Sungguh ia takut terjadi hal buruk pada ibunya. "Mom, what are you doing? Kenapa mom pergi tanpa penjagaan? Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu?”, cerca Edwin. "Hei calm down, my boy. I'm fine, honey. Jambret itu pun sudah diamankan. Mom hanya sedang bosan dengan penjagaan, sesekali mom ingin pergi tanpa diawasi, sayang”, jawab Elena Tampak Edwin menghela nafas dengan kesal. "Tapi setidaknya pergilah dengan seseorang yang bisa menemani, kak Leta misalnya. Mom kan bisa mengajak cucu-cucu mommy", kesal Edwin yang dijawab dengan kekehan dari Elena. Elena berpaling ke arah gadis yang sejak tadi memandangi interaksinya dengan Edwin. "Oh ya. Ar, ayo sini",panggil Elena. Pandangan Edwin berpaling menuju gadis yang berjalan menuju arahnya. Elena tersenyum seraya merangkul gadis tersebut dan dibalas dengan senyum kecil dari gadis tersebut. "Ed, kenalkan ini Arsenia. Ia yang telah menolong mom dari jambret itu. Dia sangat pemberani”, ucap Elena. Edwin tersenyum dengan sangat hangat. Ia sangat berterima kasih kepada gadis itu. Ia menjulurkan tangannya. "Hai, aku Edwin. Terima kasih telah menolong mommy-ku. Salam kenal Arsenia",ucap Edwin. Gadis itu tersenyum manis membalas uluran tangan Edwin. "Hallo, Edwin. Aku Arsenia. Santai saja, aku senang bisa membantu tante Elena",jawabnya. "Bagaimana kalau kau ikut denganku dan Edwin ke rumah kami? Sebagai ucapan terima kasih kami ingin mengundangmu untuk makan malam, Arsenia", ucap Elena. Arsenia tersenyum sopan. "Terima kasih banyak atas undangannya, tante. Tapi sepertinya saya tidak bisa ikut. Saya harus bekerja, kebetulan tadi saya sedang mengantar pesanan bunga, tapi saya lupa melemparnya ke mana saat mengejar jambret itu. Jadi saya harus kembali ke rumah untuk merangkaikan lagi bunga pesanan untuk malam ini”, jelas Arsenia. Elena menatapnya dengan penuh rasa bersalah. "Astaga, Arsenia. Maafkan aku, gara-gara aku kau harus merugi seperti ini”, ucap Elena. Arsenia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Tidak tante, ini bukan salah tante. Kita semua tidak ada yang tau kejadian apa yang akan menimpa kita. Jadi jangan menyalahkan diri tante, aku senang bisa membantu tante Elena”, ujar Arsenia. Elena dan Edwin tersenyum menatap Arsenia. "Ya.. kau benar, Ar. So, apa kau mau kuantar? Di mana rumahmu?", tanya Edwin. "Ah tidak perlu, aku jalan kaki saja. Rumahku tak jauh dari taman ini”, jawab Arsenia. "Ya sudah kalau begitu, hati-hati di jalan. Ini kartu namaku, jika kau butuh bantuan jangan segan-segan hubungi kami”, ucap Elena Arsenia kembali tersenyum menerima kartu nama yang terlihat mewah. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan dompetnya dan menarik kartu nama miliknya. Heaven Florist. "Dan ini kartu nama saya tante”, ucap Arsenia. Elena tersenyum menerima kartu namanya. "Sekali lagi terima kasih, Arsenia",ujar Elena. "Sama-sama, tante. Mari tante, Edwin”, ucapnya. Dengan langkah sedikit dipercepat, Arsenia berjalan menjauh dari Edwin dan Elena. ***** Arsenia Huft! Akhirnya urusan dengan klien tadi beres juga. Yah.. walaupun dengan sedikit komplain tapi tidak apa-apa. Aku senang bisa menolong tante Elena. Dia wanita yang sangat ramah dan baik. Tak kusangka orang kaya sepertinya bisa memiliki pribadi yang hangat dengan orang biasa sepertiku. Dan... Edwin. Pria yang tampan. Eh, salah. Pria yang sangat tampan. Nah, itu baru benar. Aduuuh bagaimana bisa tante Elena memiliki anak setampan dirinya? Seandainya Tuhan memberikan aku satu pria yang seperti Edwin. Huft! Seperti ada yang mau saja denganmu, Ar. Mataku tertuju pada timbangan di sudut kamar tidurku. Hmm... timbang tidak ya? Ah timbang saja deh. Aku memejamkan mataku menaiki timbangan tersebut secara perlahan. Oh tidak, haruskah aku membuka mataku? Perlahan aku membuka mataku, menunduk dan menatap angka berat badanku yang..... ASTAGA!! 87 KILOGRAM?! Ya Tuhan, benarkah ini berat badanku? Satu bulan yang lalu kan masih 85 kilo, bagaimana bisa beratku bertambah?! Hiks.. hiks.. 87 loh.. de-la-pan pu-luh tu-juh.. Aku membanting tubuhku di atas ranjang, menarik guling kesayanganku dan memeluknya erat. Aku menyerukan wajahku ke guling tersebut. Membayangkan guling itu adalah Edwin. Eh.. kok Edwin lagi? Hahaha salah sendiri kau tampan, Ed. Aku menyejajarkan guling tersebut tepat di depan wajahku. Membayangkan guling tersebut adalah si tampan tadi. "Hai, Ed”, ucapku pada Edwin, eh.. guling. "......." "Apa? Kau menyukaiku? Benarkah?!",seruku. "......." "Astaga, Ed. Tentu saja aku mau. Aku juga menyukaimu. Hmm.. atau cinta ya? Ah entahlah" Gila. Aku gila. Astaga Arsenia, seorang Edwin bisa membuatmu nyaris gila. Padahal baru sekali bertemu dengannya. Baru? Memangnya aku akan bertemu dengannya lagi? Diakan orang penting dan tampaknya tidak seramah dan sehangat Tante Elena. Kupeluk lagi Edwin, eh.. guling didepanku. Hari ini.. mungkin jadi hari yang benar-benar menyenangkan setelah beberapa tahun belakang. ***** "Ed" "Yes, mom", jawab Edwin "Arsenia, cantik ya?" Mulai lagi, batin Edwin. "Tentu saja cantik. Dia kan wanita, mom" Elena geram. Ia mengambil katalog brand makeup dari dalam tasnya dan... Plak! "Ouch! Sakit, mom. Kenapa tiba-tiba memukul kepalaku dengan katalog itu? Aku sedang menyetir loh, mom", pekik Edwin. Elena mendengus. "Biar saja, kau ini menyebalkan, Ed. Sampai kapan kau mau sendiri begini?”, ujar Elena. Edwin mendesis. "Mom, aku kan masih butuh waktu untuk mencari wanita yang aku inginkan", dan wanita yang kuinginkan sudah dimiliki kak Edward, jawab Edwin yang disambung dalam hatinya. "Kau mau cari yang seperti apa, Ed? Berapa banyak wanita yang mengejarmu di luar sana? Mereka semua cantik. Bahkan ada beberapa model internasional. Apa yang kau cari?”, tanya Elena. Edwin mendengus geli. "Bukan tubuh kurang gizi seperti itu yang kusukai, mom", jawab Edwin. Aha! Pekik Elena dalam hati merasa Edwin mulai terpancing. "Lalu, seperti apa seleramu?", tanya Elena berusaha menormalkan intonasinya. Ia memperhatikan putranya dengan saksama. Wajah Edwin berubah menjadi sendu. "Wanita yang kusukai adalah wanita yang memiliki senyum indah. Wajahnya cantik. Tapi hatinya jauh lebih cantik. Yang jelas bukan wanita dengan tubuh seperti kekurangan gizi. Aku tidak suka. Tidak enak dipeluk”, jelas Edwin. "Lalu? Apakah kau sudah bertemu dengan wanita itu?”, tanya Elena. Ya, dia Alleta, jawab Edwin dalam hati. Kemudian ia menghela nafas lelah. "Belum",jawab Edwin. "Kenapa belum?",tanya Ibunya lagi. Karena wanita yang kuinginkan adalah kakak iparku sendiri, mom. "Entahlah, aku belum menemukan sosok luar biasa itu”, jawab Edwin. Elena tersenyum, tangannya terulur mengusap pundak putranya. "You'll find her, son", ucap Elena ***** Edwin 00.15 Aku belum bisa tidur. Pertanyaan mom sangat mengganggu pikiranku. Sepertinya mom sangat ingin aku menjalin hubungan dengan seorang wanita. Huft! Ada apa dengan mom dan dad? Kenapa mereka bersikeras ingin aku memiliki calon istri 'sih? Aku sangat ingat perkataan dad saat aku dan mom tiba di mansion. Flashback On "Come on, Ed. Kami ingin kau punya calon pendamping. Kau tau kami sudah tidak muda lagi. Kami ingin melihat anak-anakmu dan Edward saat beranjak dewasa nanti",ucap Daddy. "Jangan bicara seperti itu, dad. Dad akan melihat semua cucu daddy dan mommy beranjak dewasa kelak",ujarku "Tapi kapan?",sanggah Mommy. "Itu..." "Dengar, Ed. Kami harap kau bisa nenemukan gadis yang kau cintai tahun ini. Kau sudah dewasa",pesan mom "Got it, mom. Bolehkah aku pamit? Aku ingin menginap di mansion kak Edward. Aku merindukan keponakanku yang centil”, izinku. "Tentu, sampaikan salam kami pada keluarga bahagia itu",jawab Dad. Flashback Off Dan di sinilah aku sekarang. Melarikan diri ke mansion Kak Edward dan Kak Alleta. Aku merindukannya. Wajahnya selalu berseri memancarkan kasih sayang untuk semua orang. Gayanya yang sangat anggun mencerminkan kak Alleta sebagai wanita terhormat. Tubuhnya yang indah membuatku selalu berpikir bagaimana rasanya memiliki tubuh wanita sehebat dirinya. Damn! Apa yang kau ucapkan, Ed. Panas. Hawa kamarku jadi panas. Aku butuh minum air dingin. Aku beranjak dari ranjangku menuju dapur. "Ed, apa yang kau lakukan?" Langkahku terhenti mendengar suara yang sangat kusukai dari arah dapur. Aku mengintip dari balik tembok dapur. Kak Alleta dan Kak Edward sedang berada di dapur. Benar-benar menyebalkan, pikirku. "Aku merindukanmu, sayang”, jawab kak Edward. "Ck! Kita baru berpisah beberapa menit. Aku hanya haus dan ingin minum”, kesal kak Alleta. Lihat wajahnya ketika kesal. Justru membuatnya semakin terlihat menggemaskan. Ingin rasanya kukecup bibirnya yang selalu merona itu. Kudengar kak Edward terkekeh. "Tadi kan anak-anak belum tidur, sayang. Sekarang mereka sudah terlelap. Dan giliranku untuk memanjakanmu”, ucapan kak Edward membuatku meringis. Membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini. Kulihat lagi wajah kak Alleta yang sudah merona. Astaga! Jantungku berdegup tak beraturan hanya dengan melihatnya seperti itu. Kak Alleta yang tengah mengenakan gaun tidur satin berwarna baby pink sebatas lutut lengkap dengan kimononya yang terikat dengan sempurna menampilkan lekuk tubuh kak Alleta yang... Oh, Tidak! Sesuatu dalam diriku bangkit begitu saja. "Ed, we're on the kitchen", ucap Kak Alleta. "And then?", tanya kak Edward yang semakin merapatkan tubuhnya dengan Kak Alleta. Alleta terkekeh, matanya mengerling menggoda kak Edward. Oh No lagi. "Kau ini tidak ada tempat lain untuk memulai mengajakku b******a selain di dapur ya? Tidak kreatif”, ejek Alleta seraya mengalungkan kedua tangannya ke tengkuk Kak Edward. Dengan gerakan pasti kak Edward mengangkat tubuh kak Alleta, mendudukkannya di atas meja dapur dan mengurung tubuh kak Alleta dengan tangan kirinya. Argh! Kenapa kak Alleta bisa memiliki kaki yang indah seperti itu?! Tangan kanan Kak Edward bergerak membelai paha kak Alleta. Menyebalkan! "Engh.. Ed”, ucap Kak Alleta menahan desahannya. Dan Kak Alleta memanggil namaku dan Kak Edward dengan panggilan yang sama. Sekarang aku merasa kak Alleta juga mendesah memanggil namaku. "Kau sangat nakal, jangan sampai aku menghamilimu lagi untuk yang keempat kalinya, Sayang”, ucap Kak Edward. Dan akhirnya mereka berciuman dengan tangan kak Edward yang menjamah seluruh bagian sensitif tubuh kak Alleta. "Engh.. Ed.." No! No! No! Aku sudah tak tahan lagi mendengar suara desahan kak Alleta. Menginap di mansion ini benar-benar keputusan yang salah. Salah besar. Dengan segera aku kembali ke kamarku. Menguncinya rapat. Menyambar earphone dan ponselku. Lalu memutar musik sekeras mungkin agar suara desahan Kak Alleta tidak terngiang di telingaku. Kesal, aku sangat menginginkan kak Alleta! *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN