"Yang, kok dimatiin sih?" tanya suaminya. Padahal ia baru saja menyalakan televisi itu. Tapi istrinya langsung mengambil alih remote itu laku mematikannya.
Istrinya berdecak. Ia malas menyalakan televisi dan mendapati berita anak sulungnya lagi. Kini bukan prestasinya tapi hubungannya dengan Shabrina. Gadis itu kembali memposting kebersamaan buka bersama beberapa hari lalu dengan Mamanya dan Farrel. Lalu dilanjutkan dengan foto buka bersama keluarga besar mereka. Oke, ia tak masalah postingan foto-foto itu. Yang jadi masalah adalah berita yang diangkat dari postingan itu. Farrel dikisahkan kalau sudah serius dengan Shabrina karena mengenalkan gadis itu pada keluarga besar mereka. Pemberitaan itu bahkan menjadi headline di media masaa. Belum lagi, ucapan-ucapan netizen yang kompak sekali mendoakan keduanya. Hal yang membuat Icha semakin kesal. Kini Farrel bahkan sering kali dipelototi Bundanya. Farrel cuma bisa pasrah.
Farrel memijit kepalanya. Ia juga pusing dengan segala pemberitaan itu. Tapi mau bagaimana lagi? Ia tak bisa melakukan apapun. Kemudian ia bergerak mengambil salah satu kemejanya. Ia mengenakannya dengan cepat dan mengancingkannya tepat di depan cermin.
Saat ini ia sedang bersiap untuk berangkat ke Sekolah Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta Pusat. Ia akan menemui salah satu dosen, rekan Bundanya sesama dosen juga. Ia berencana mengembangkan aplikasi di bidang lingkungan. Khususnya berkaitan dengan waste and climate change. Hanya saja, ia masih mengumpulkan banyak informasi dan pembelajaran terkait itu. Maklum lah, jurusannya saat kuliah kan memang bukan itu. Ia juga tak pernah berpikir kalau akan membuka usaha dibidang itu.
"Berangkat, Bang?" tanya Bundanya yang sibuk membersihkan dapur. Farrel mengangguk lantas menyalami Bundanya. Lalu berjalan menuju Papanya yang terkekeh.
Semalam Papa dan anak itu berbicara banyak hal. Bukan tentang bisnis tapi tentang Bundanya. Fadlan bilang untuk tak pusing dengan sikap Bundanya atau pun omelan Farras. Tapi percuma juga Fadlan begitu karena Farrel sudah terlanjur pusing. Fadlan juga menanyakan soal Shabrina yang datang seminggu lalu ke acara buka bersama keluarga besar mereka. Fadlan hanya penasaran karena tak biasanya Farrel membawa perempuan ke rumah. Tapi Farrel bilang kalau ia tak punya pilihan karena gadis itu yang ingin ikut. Mendengar itu, Fadlan tertawa.
"Bawa santai saja, Bang. Memang tak semua perempuan malu-malu di depan lelaki."
Farrel mendengus. Tapi rasa-rasanya, perempuan itu tak punya malu, pikirnya.
"Kalau Papa dulu, Bang, gak ada perempuan yang berani seterus-terang ini melakukan pendekatan," curhatnya. Meski banyak juga bingkisan yang datang ke rumah tapi tentu saja tak sebanyak milik anak sulungnya.
"Hati-hati, Bang!" tutur Fadlan. Ia menepuk-nepuk bahu anaknya itu dan membiarkan Farrel berjalan pergi.
Kalau Fadlan dulu sih, memang tak ada perempuan yang berani mendekati. Bukan karena ia dingin, tidak sama sekali. Justru Fadlan itu sangat hangat. Namun entah kenapa, tak ada perempuan yang berani mendekatinya. Ia heran juga. Hanya saja, kalau menurut Fahri dan Aisha, banyak perempuan segan pada Fadlan.
Fadlan tak keberatan siapa pun yang akan menjadi istri anak sulungnya ini. Ia pikir Farrel akan mampu membimbingnya nanti dan toh, Farrel kan imamnya. Sementara Icha berpendapat sama seperti Farras. Lebih menginginkan agar Farrel mencari perempuan yang solehah saja. Ya, gak ada yang tahu takdir atau pun hidayah yang bisa datang kapan saja. Namun yang Icha dan Farras pahami adalah belajar agama itu tidak bisa singkat. Mungkin ada yang bisa membimbing istrinya memperdalam agama setelah menikah sehingga meski istrinya mualaf sekalipun ia mampu membimbingnya. Dan ada pula yang hijrah setelah menikah. Icha dan Farras juga mengerti itu. Tapi yang disoroti adalah pendidikan agama anak-anak nanti. Icha sadar betul kalau Farrel penggila kerja sama seperti suaminya. Seandainya mendapat istri yang mungkin pemahaman dasar agamanya masih sedikit, bagaimana ia bisa mendidik anaknya? Karena anak kan bukan sekedar titipan tapi orang tua memiliki tanggung jawab kepada Allah suatu saat nanti. Apalagi sesosok Shabrina yang kemungkinan akan sibuk juga dengan karirnya. Lalu Icha yang akan mengasuhnya? Tidak keberatan. Namun berapa jumlah jam asuhannya ditangan Icha dibanding dengan ibu kandungnya?
Pernah mendengar bahwa bayi yang baru lahir itu sebetulnya mempunyai fitrah yang dasarnya sudah mengenal Tuhannya. Bukan bagai kertas kosong tapi bayi yang baru lahir itu sudah punya tauhid sebetulnya. Ia mengenal Tuhannya. Tapi yang menjadikannya entah beragama atau tidak itu akan tergantung dari madrasah pertamanya. Siapa? Tentu saja ibunya. Hal ini yang menjadi titik perhatian Icha dan Farras. Karena orangtua itu berpengaruh besar pada pemahaman agama anaknya. Ya kan?
@@@
Kini ia baru saja tiba di Sekolah Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Ia sempat menanyakan satpam dan beberapa staf administrasi sehingga menghantarkannya ke ruang khusus dosen. Bahkan dosen yang ia temui punya ruangan sendiri. Ia disambut hangat senyum lelaki tua yang rambutnya sudah berwarna abu-abu dan berkacamata itu. Ia balas tersenyum sambil menjabat tangannya.
"Wah-wah. Dulu saya sering kali lihat kamu kalau kamu dibawa Bundamu ke kampus," tutur lelaki tua itu. Farrel hanya tersenyum. Ia mana ingat? Karena saat itu, usianya masih kecil. Bahkan Bundnaya bilang, terakhir membawanya ke kampus saat usia empat tahun. Itu pun sudah jarang sekali karena diusia itu, ia dan adik-adik sablengnya lebih suka bermain di rumah Oma. "Adik-adikmu bagaimana semua kabarnya?"
"Baik, Pak."
Lelaki tua itu mengangguk-angguk. Obrolan awal dimulai dari jam delapan pagi hingga jam sembilan pagi.
"Sepertinya saya harus menghadiri kelas dulu, Farrel," tutur beliau. Lelaki itu melirik jam di dinding yang menunjukan pukul sembilan pagi. Farrel mengangguk saja ketika lelaki itu pamit padanya sebenar untuk mengajar di kelas. Ia memang punya jadwal mengajar. Kebetulan hari ini emang cukup padat. Ia tak enak membatalkan pertemuan dengan Farrel karena sebelum-sebelumnya sudah sering dibatalkan akibat dari kesibukannya.
Lalu Farrel benar-benar ditinggal sendiri di ruangan beliau. Farrel menyandarkan punggungnya ke sofa kemudian melirik ke sekitar ruangan. Ruangan tua ini mengingatkan Farrel pada gaya bangunan di salah satu kampus lain di Indonesia. Di kampus Institut Pertanian Bogor yang letaknya di daerah Baranangsiang. Dulu, Farrel sering ke sana ketika Bundanya ikut seminar di sana. Gaya bangunannya persis dengan suasana di dalam gedung ini. Apalagi saat melihat tangga kayunya dan jendelanya yang sangat-sangat besar. Tanpa menggunakan pendingin udara, sirkulasi udaranya benar-benar bagus dna mengandalkan alam. Bedanya, kalau di IPB lebih sejuk. Mungkin karena masih banyak pohon dibanding di sini.
Farrel sebetulnya agak bosan ditinggal begini. Tapi ya sudah lah. Ia juga sedang perlu sekali dengan rekan Bundnaya itu. Kalau pertemuannya terus diundur maka target proyeknya juga akan semakin lama dimulai. Ia hanya tak mau membuang waktu. Mumpung masih muda, ia ingin melakukan apapun yang bisa ia lakukan untuk dirinya sendiri, orangtuanya juga untuk negara.
Satu jam kemudian, beliau sempat kembali menghampiri Farrel dan memintanya untuk masuk ke kelasnya saja. Maka Farrel mengikuti. Kapan lagi ia bisa belajar secara langsung dan gratis pula? Mumpung punya kesempatan, ia tentu tak mau melewatkannya.
Begitu pintu kelas terbuka, si dosen muncul tak sendiri. Farrel yang juga masuk ke dalam kelas tentu saja langsung disambut bisik-bisik tetangga. Kehadirannya mengundang banyak mata untuk melihat. Apalagi wajahnya yang sering hilir-mudik di stasiun televisi itu memang tak asing. Bahkan sang dosen mengkonfirmasi dan memperkenalkannya pada seisi kelas yang dihadiri sebanyak 30 orang kala itu.
"Perkenalkan, ini Farrel. Kalian semua pasti sudah hapal dengan wajahnya. Dia akan ikut kuliah bersama kita hari ini."
Para mahasiswa pascasarjana itu langsung heboh dan bertepuk tangan. Farel cuma diam dengan kalem. Walau tadi sempat tersenyum tipis yang sopan pada seluruh mahasiswa S2 itu. Yeah, sebagian besar mahasiswa dan mahasiswi di sini sudah menikah walau ada beberapa yang masih jomblo.
"Gilaaak! Lebih cakep pas liat langsung begini!" tutur salah seorang gadis. Perempuan berkerudung plum di sebelahnya menyenggol lengannya. Takut terdengar orangnya karena mereka duduk tak begitu jauh dari Farrel. Sahabatnya itu terkikik. Ia mana perduli. Toh memang lelaki itu ganteng kok. Sementara gadis berkerudung plum itu fokus lagi dengan penjelasan sang dosen. Sebetulnya, ia agak terganggu sih dengan badan Farrel yang tinggi itu dan menutupi sebagian papan tulis. Sementara, ia duduk di bangku paling belakang dengan tubuh yang tak tinggi-tinggi amat. Sesekali, ia beranjak sedikit untuk melihat slide bagian bawah yang tertutupi oleh tubuh Farrel itu.
@@@
Dua jam perkuliahan selesai, ada banyak hal yang Farrel catat. Ia juga menyimpan banyak pertanyaan usai menyimak beberapa mahasiswa S2 yang presentasi di depan kelas. Tanpa sadar ia menilai bagaimana proses perkuliahan di sini. Ya, memang berbeda dengan perkuliahannya selama di US dan di UK bukan? Tapi kualitas orangnya dan kecerdasannya menurut Farrel sih sama saja. Lalu Farrel kembali menghampiri dosen yang masih tertahan di kursi, ia sedang ditanyai beberapa mahasiswanya. Farrel menunggu hingga mereka selesai bertanya.
"Ayo, Farrel," ajak lelaki itu begitu tak ada lagi yang bertanya padanya. Farrel berdeham. Ia beranjak dari bangku. Tak lama, keduanya berjalan menuju ruangan si dosen. Walau kemudian....
"Bapaak!"
Salah satu mahasiswi beliau memanggil. Lelaki yang jauh lebih tua dibanding Papanya itu menoleh ke belakang.
"Ya? Ada apa Faradina?"
Perempuan berjilbab plum itu berjalan mendekati dosen tua yang berjalan sejajar dengan Farrel. Saat ikut berbalik, Farrel tak sengaja melihat wajahnya yang cantik itu saat gadis itu berjalan melewatinya. Kemudian ia mengalihkan pandangan. Astagfirullah, katanya. Tapi matanya hampir melirik lagi. Hihihi! Sepertinya ia harus ber-istigfar lebih kencang. Godaannya berat euy. Cewek cantik memang banyak. Tapi yang berjilbab tertutup begini yang dicarinya. Memang sih si perempuan ini masih modis tapi modis pakaiannya masih menutup aurat. Maksudnya, tidak seperti kerudung lilit sana-sini yang sering dikenakan Dina atau Rain. Penampilannya persis semodis Farras yang juga bergamis lengkap. Bedanya....
"Terkait carbon capture itu, Pak. Ada yang mau Fa--"
Ia belum selesai menanyakannya, sang dosen langsung ber-aha ria. Teringat obrolannya dengan lelaki yang berdiri di sampingnya ini, Farrel.
"Nah, kebetulan si Farrel ini sedang memikirkan carbon capture. Siapa tahu bisa dikembangkan di Indonesia."
Aaah, si perempuan menoleh ke arah Farrel yang tetiba terbius, tak sanggup mengalihkan pandangannya. Astagfirullah, gumamnya lima detik kemudian. Ia langsung menunduk dengan sopan sambil menahan debar jantungnya yang tiba-tiba mengencang. Kenapa jantungnya berdebar begini ya?
"Ayo! Kamu ikut saja kita diskusi," ajak dosennya yang mau tak mau membuat gadis itu ikut berjalan. Ketiganya berjalan menuju lift. Si dosen masih mengajak perempuan itu mengobrol sementara Farrel yang tersingkir, menahan degup jantungnya. Ia sedang ketakutan. Bagaimana kalau gadis yang berdiri di sebelahnya ini mendengar detak jantungnya? Bagaimana jika jantungnya lepas karena degupannya yang begitu kencang? Dan bagaimana dengan....
Ting!
Suara lift berdenting. Ketiganya berjalan keluar dari lift. Farrel benar-benar merasa agak terasingkan karena kedua orang itu mengobrol begitu panjang. Farrel tentu tak berani ikut berbicara karena ia tak begitu paham dengan apa yang mereka diskusikan. Farrel hanya mendengar kata-kata global warming, emisi udara, udara ambien dan blablabla lainnya yang tak Farrel mengerti.
Tak lama, ketiganya masuk ke dalam ruangan dosen itu. Hampir dua jam diskusi sederhana berjalan namun Farrel, entah kenapa, tak konsen-konsen amat seperti biasanya. Semakin ia menatap perempuan ini semakin membuatnya merasa tak asing melihat matanya dan juga jenis suaranya. Ia merasa pernah melihatnya entah di mana tapi ia lupa. Mata indah itu seperti tak asing dilihatnya. Suaranya yang lembut itu juga terasa dejavu dalam ingatannya. Gerak-geriknya yang anggun dan senyuman yang manis juga anggun itu yang paling menyita perhatian.
Aaah, andai Farrel masih mengingat perjalanannya kala itu. Perjalanannya ke Singapore dan Malaysia kala itu bertemu dengan gadis ini yang waktu itu mengenakan cadar. Kalau sekarang, cadarnya memang tidak digunakan. Saat itu, ia hanya menggunakan cadar karena pertama kali berjalan-jalan sendiri dan memang ingin mencoba memakainya. Ia mendapat ketenangan jiwa dengan memakainya dan lagi, ia kan berjalan sendirian, khawatir diganggu lelaki walau yah, tentu banyak tatapan curiga yang ia terima. Namun ia percaya bahwa Allah pasti akan melindungi perjalanannya pertama ke luar negeri sendiri. Lalu suaranya tak asing ditelinga Farrel karena sepanjang di pesawat, Farrel mendengar suara perempuan itu mengaji. Indah sekali meski suaranya terdengar sangat pelan. Gadis itu duduk di seberangnya ketika di pesawat dan hanyut dengan bacaan Qurannya. Dikala yang lain terlelap, perempuan itu malah larut dalam ayat-ayat cinta-Nya. Pertemuan sederhana yang mungkin hampir terlupakan dan Farrel mungkin tak pernah tahu jika gadis ini lah orangnya. Lantas kenapa baru dipertemukan sekarang? Kejadian yang sudah berlalu entah enam atau tujuh tahun yang lalu ketika Farrel masih kuliah di US dan perempuan ini ada di Indonesia. Hanya Allah yang tahu rahasia di dalamnya. Karena Dia lah yang paling tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya.
"Coba dikembangkan saja. Karena setahu saya belum ada carbon capture di Indonesia. Yang saya tahu, ada industrinya di Swiss dan itu satu-satunya industri carbon capture di dunia. Kamu bisa cek di internet. Dan untuk pengembangan aplikasi perhitungan karbon, saya setuju itu," tutur si dosen. "Saat ini di Indonesia, perhitungan karbon memang sangat diperlukan terutama bagi industri-industri baik pertambangan hingga pertanian. Besarnya pengaruh buangan-buangan industri yang dapat merusak lingkungan sangat perlu diperhitungkan untuk masa depan anak-cucu di masa depan dengan alam ini. Saya rasa ini juga sebuah kedaruratan yang harus diatasi saat ini untuk lebih baik di masa depan."
Farrel mengangguk-angguk. Ia punya banyak pertanyaan karena belum paham-paham amat tentang lingkungan ini. Tapi sang dosen harus mengajar lagi. Ia belum punya waktu banyak untuk menjelaskannya lagi pada Farrel.
"Kamu coba diskusikan saja sama Fara. Dia jago kalo soal itu," tuturnya yang mengacu pada gadis yang sudah pamit dua puluh menit lalu karena harus menghadiri kelas. "Saya berikan kontaknya saja bagaimana?"
@@@
Berhubung Farrel enggan pulang dari sini, ia memilih untuk mencoba ke perpustakaan. Ya, sekalian mencari referensi tentang hal-hal yang dibicarakan tadi dengan dosen tua itu. Farrel berhasil mendapat akses membaca buku di perpustakaan setelah bernegosiasi dengan petugasnya. Awalnya, ia dikira salah satu mahasiswa di kampus ini juga. Ia habiskan waktu dua jam di sana lalu berjalan menuju masjid kampus untuk solat Ashar. Omong-omong ia jadi betah berlama-lama di sini. Selain karena suasana kampusnya yang nyaman tapi juga....
"Myaaa, kita mau ke admin dulu, lu gimana?"
"Kalian duluan aja."
Suara itu menyita perhatian Farrel. Lelaki itu langsung menoleh dan mendapati gadis yang bertemu dengannya tadi baru saja masuk ke dalam masjid. Farrel tersenyum. Ia juga segera masuk ke dalam masjid dan bersegera mengambil wudhu lalu ikut berjamaah dengan yang lain. Usai solat, ia masih tinggal sebentar untuk memperpanjang zikirnya sekaligus mengulangi hafalan Qurannya biar tidak lupa. Setelah itu, ia baru beranjak dari sana dan hendak menuruni tangga untuk memakai sepatunya.
Ketika ia sedang melihat-lihat sekitar, lagi-lagi, ia melihat perempuan itu. Wajahnya sesiang tadi, setahu Farrel, tak terlihat seperti mengenakan riasan. Tapi sebenarnya mengenakan bedak hanya saja sangat tipis. Farrel kan tak tahu perbedaannya. Kalau sekarang, wajah itu benar-benar menyejukkan karena bekas wudhu yang masih tersisa.
Omong-omong, perempuan itu cantik meski hidungnya tak mancung-mancung amat. Kulitnya putih kekuningan. Tingginya sekitar 158 cm. Cantik wajahnya tidak membosankan untuk dipandang. Dan....Farrel bisa mengingat senyumnya yang teramat manis. Farrel jarang melihat perempuan cantik yang juga manis. Biasanya kalau cantik yaaa cantik saja lalu akan bosan memandangnya. Tapi kalau yang ini? Wohooo mungkin berbeda karena ada hati? Atau karena debaran jantungnya yang seketika maraton ketika melihat gadis itu? Ihiy....
"Faradina ya?"
Dan entah sejak kapan ia jadi sok berani begini di depan perempuan. Tahu-tahu ia sudah melangkah di dekat gadis itu. Biasanya, jika pun harus bekerja sama dengan perempuan, ia ogah menyapa duluan kecuali kalau sudah sangat akrab. Lah ini? Ia merasa baru saja bertemu sekali tapi...hatinya kok merasa tidak asing ya? Atau karena....
Tentu saja gadis itu kaget. Ia sedang mencari sepatunya dan lalu muncul lelaki ganteng ini. Ya, kalau tertarik sih ada. Tapi....ia membuangnya jauh-jauh. Kenapa? Karena ia hanya ingin menyimpan rasa ketertarikan pada seorang laki-laki yang akan menghalalkannya kelak. Ia juga tidak mau sembarang jatuh cinta pada lelaki yang belum tentu menjadi suaminya. Ia hanya ingin menjaga dirinya. Karena apa? Karena Allah. Dan....bukan kah sudah semestinya begitu?
"Ah, ya."
Gadis itu membalas dengan kikuk. Ia sebenarnya kaget karena Farrel datang padanya. Apalagi kini banyak orang yang menatap ke arah mereka seakan memastikan itu loh, Farrel yang itu, yang katanya dekat dengan si Puteri Indonesia. Dan ia mulai risih dengan tatapan-tatapan itu. Ia memang tidak suka menjadi pusat perhatian walau yah, ia sadar jika bukan ia yang menjadi pusat perhatian melainkan lelaki di depannya ini. Keningnya mengerut pula. Heran saja. Kok masih ingat padanya? Tadi kan hanya mengobrol sebentar.
"Tadi saya diberikan kontak kamu. Kapan-kapan saya boleh menghubungi? Ya...untuk membahas soal project tadi."
Dan Farrel yang biasanya cuma berbicara panjang-lebar ketika menjadi pembicara kini mendadak berbicara panjang-lebar di depan gadis asing ini.
"Oh, iya, boleh," jawabnya dengan kikuk. Masa ia menolak? Kan gak enak.
Farrel tersenyum tipis sambil menggaruk tengkuknya. Ia tak tahu harus berbicara apalagi tapi sejujurnya ia ingin mengobrol lebih banyak. Namun ia khawatir tak bisa menjaga hatinya juga matanya. Walau....
"Eung, maaf, aku boleh pamit dulu? Temen-temenku menungguku."
Farrel mengangguk kikuk.
"Nanti kalau ada perlu hubungi saja," tuturnya lagi sebelum pamit dan mengucap salam yang dibalas Farrel dalam hati.
Gadis itu menunduk saat berbicara dengannya. Hampir tidak menatapnya. Itu membuatnya terpesona.
Ia juga terlihat sangat menjaga diri. Itu yang membuat Farrel sangat tertarik. Tentu saja selain urusan project tadi juga ada urusan baru yang dinanti. Uhuy!
@@@
Tadi Farrel sempat bertemu Hasan. Cowok itu ada urusan di kampus ini. Tepatnya, dengan dosen-dosen di Fakultas Kedokteran. Sementara Farrel hanya mengobrol dengannya sebentar kemudian pamit pulang. Farrel tentu mengenal Hasan. Lelaki itu kan dokter di rumah sakit Papanya, jadi kadang sering bertemu dengannya ketika sedang berkunjung. Hasan juga sudah ia ajak kerja sama untuk mengisi tahfiz Quran di aplikasi miliknya.
Tiba di parkiran, Farrel kembali melihat gadis itu.
"Laaalaaaaaaa," gadis itu dengan ceria memanggil seorang perempuan yang sedang menyetir mobil. Kemudian mobil itu berhenti tepat di depan Faradina. Farrel tak terlalu memerhatikan gadis yang menyetir dibalik kemudi itu. Ia hanya fokus pada Faradina yang berdadah ria pada para sahabatnya. Senyum teduhnya menggambarkan keceriaan yang tiba-tiba saja menular pada Farrel. Farrel berdeham sendiri ketika tersadar bahwa ia terlalu lama menatap gadis yang baru saja masuk ke dalam mobil itu. Kemudian ia menggaruk tengkuknya dan melanjutkan langkahnya menuju parkiran mobil. Aah, Farrel tak tahu kalau jauh di belakang sana ada lelaki yang terkaku dan tadi juga menatap ke arah yang sama dengannya. Ke arah gadis yang sama, gadis berjilbab plum itu.
@@@