"Ke mana, Bang?" tanya Bundanya begitu melihatnya menuruni tangga. Penampilannya rapi sekali. Farrel terlihat tampan dengan kemeja hitamnya juga celana hitamnya.
"Kumpul, Bun. Sama Mas Dava," tuturnya. Anak lelakinya sudah berjalan cepat menuju mobil. Farrel melirik jam tangannya, ia takut terlambat. Khawatir jalanan macet pula di jam sore begini.
"Abang ke mana lagi, Bun?" tanya Farras yang baru keluar dari kamar. Perempuan itu sedang memberesi isi kamarnya. Sudah lama tak ia tempati karena sudah punya rumah sendiri.
"Kumpul katanya."
Farras mendengus. "Mending juga Abang nyari cewek buat ta'arufan gitu, Bun."
Bunda terkekeh mendengarnya. Maunya Bunda juga begitu. Semalam, Bunda kembali membombardir Farrel dengan obrolan-obrolan tentang calon istri. Bunda bilang kalau ia punya banyak mantan mahasiswi. Dan beberapa dari mereka kan sering datang ke sini. Jadi Bunda menawarkan beberapa dari mereka yang menurutnya baik. Tapi anaknya menolak.
"Bunda udah ngomong semalam sama Abangmu itu."
Mata Farras berbinar. Ia berjalan mendekati Bundanya yang sedang melipat baju. "Terus?"
Bundanya hanya menghela nafas. Farras terkekeh. "Ras juga udah nawarin si Lala, Bun. Tapi Abang gak mau dan Lala juga gak mau. Semalem Ras udah tanya si Lala."
Bunda tertawa mendengarnya. Bunda juga menawarkan Lala sebagai salah satu perempuan yang diajukannya semalam. Tapi anak sulungnya menolak. Alasannya?
"Abang bisa cari sendiri, Bun."
Jawaban itu tentu saja langsung dibalas Bunda dengan nyinyiran.
"Kapan nyarinya, Bang? Rasanya akhir-akhir ini Bunda liat kamu kerjaaaaaaa terus. Kapan nyarinya coba?"
Sementara yang dibicarakan sudah melakukan mobilnya dengan kencang. Ferril geleng-geleng kepala saat berpapasan dengan mobil Abangnya di gerbang komplek. Ia baru hendak masuk dan Abangnya hendak keluar.
Farrel kembali menaikan kecepatan mobilnya. Ponselnya berdering. Ia langsung menyambungkannya pada speaker mobil.
"Lo di mana, Rel?"
Itu suara Dava. Farrel berdeham sebelum menjawab. "Di jalan, Mas."
"Oke. Ketemu di Menteng ya, Rel. Gue udah share location ke elo."
"Ya," jawabnya lantas telepon dimatikan oleh Dava. Farrel membuka ponselnya kemudian menyambungkan lokasi yang dikirim Dava dengan GPS. Ia langsung membelokan mobilnya, mengikuti petunjuk GPS agar lebih cepat sampai. Menjelang magrib, ia berhenti sebentar di sebuah masjid di pinggir jalan. Usai solat berjamaah, ia berangkat lagi. Ponselnya kembali berdering.
"Di mana?"
Dava kembali menanyakan keberadaannya. Farrel berdeham. Ia Mukai terbiasa dengan gaya Dava yang selalu memastikan kehadirannya ketika mereka akan berkumpul. Mungkin karena ia terlalu sering membatalkan jadwal pertemuan mereka. Maklum lah, Farrel kan sibuk.
"Dua puluh menit lagi, Mas."
"Oke. Begitu sampe, langsung naik ke atas aja ya. Gue udah pesan ruangan gitu."
Farrel hanya berdeham lagi sebagai jawaban. Ia sudah biasa dengan pertemuan seperti ini. Tiap berkumpul dengan Dava dan teman-teman lelaki itu, Dava memang selalu memesan ruang privat entah di restoran mewah atau hotel-hotel bintang lima.
Mobil Farrel masuk ke area parkiran khusus yang sudah dipesan. Harga parkir setiap jamnya jangan dipikirkan. Nanti pusing kepala. Sementara Farrel sudah turun dari mobilnya kemudian berjalan masuk. Wajahnya yang begitu dikenali banyak orang, membuat sang satpam langsung mempersilahkannya masuk. Bahkan seorang pelayan mengikutinya lalu mengantarnya ke ruang privat yang dipesan Dava. Namun begitu membuka ruangan itu...Farrel meneguk ludahnya.
Dan ia benar-benar menyesal telah mengiyakan ajakan Dava untuk sekali ini dalam hidupnya. Ia tak pernah tahu kalau akan dijebak untuk makan malam bersama gadis yang terlihat sangat cantik malam ini. Pantas saja, saat ia melangkah masuk, ruang privat itu sangat sepi dan hanya ada dua kursi yang saling berhadapan. Posisinya terletak di samping jendela. Jadi ketika mengambil duduk di sana, akan dapat melihat ke arah jendela yang menunjukan hingar-bingar ibu kota. Bahkan malam ini, kelap-kelip lampunya begitu indah. Lalu saat Farrel ingin keluar dari ruangan itu, tahu-tahu ia sudah dikunci. Tak dapat keluar. Dan adanya satu wanita di dalam sana, membuatnya sangat-sangat cemas.
Baju yang dikenanakannya cukup terbuka dan berhasil mengumbar bahunya yang indah. Warnanya merah marun dan menempel ketat ditubuhnya. Berlengan panjang, namun gaun yang terbuat dari beludru itu hanya menutupi hingga lututnya. Rambutnya terurai panjang hingga pinggang. Dan cara jalannya yang s*****l diiringi suara heels ditambah musik pengayun benar-benar membuat Farrel gila. Ia tak pernah bergejolak seperti ini sebelumnya apalagi di depan seorang perempuan namun...
"Aku kira kamu gak dateng lagi," ucapnya lantas duduk dengan anggun di kursi. Ia dengan santainya mengambil daftar menu tanpa melihat Farrel. Sementara Farrel masih berdiri cemas di dekat pintu. Lelaki itu berpegangan erat pada gagang pintu. Dalam hati ia membenarkan kata Bundanya untuk segera menikah. Karena apa? Karena serangan wanita sedahsyat ini. Bahkan perempuan itu tidak melakukan apa-apa dan hanya diam dibangku dengan sebelah kaki yang terangkat, yang otomatis membuat sedikit pahanya yang putih bersih itu terlihat. Membuat Farrel menghela nafas dan langsung balik badan. Astagfirullah!
Mungkin kalau Ferril yang berada diposisinya, adik sablengnya itu akan terang-terangan menatap gadis itu. Tapi itu dulu. Ferril yang sekarang hanya terbius oleh satu perempuan sampai-sampai tidak bisa melihat perempuan lain lagi.
Dan jantung Farrel hampir lepas saat Shabrina tiba-tiba ada di belakangnya lalu gadis itu menepuk bahunya. Mencoba menyadarkan Farrel yang menyembunyikan wajahnya pada pintu, keringatnya mengucur deras bahkan....tangannya yang menutupi kedua telinganya sampai gemetaran dan basah. Maka saat Shabrina menyentuh bahunya sekali lagi untuk menyadarkannya, itu malah membuat Farrel terjungkal hingga terduduk di lantai dengan tubuh yang gemetar sambil melihat Shabrina yang kini ketakutan menatapnya. Lalu perempuan itu terpaksa menelepon Dava agar lelaki itu bisa meminta pelayan untuk membuka pintu ruangan ini.
Saat pintu terbuka, Farrel bangkit dengan sempoyongan, lelaki itu langsung berlari menjauhi Shabrina. Melihat itu, Shabrina masih belum bisa menghilangkan keheranan dan keterkejutannya akan apa yang terjadi dengan dinner romantis yang sudah susah payah ia siap kan selama beberapa hari ini. Ia bahkan mencuri-curi waktu disela-sela kegiatannya yang padat demi bisa makan malam berdua dengan Farrel. Tapi lihat lah hasilnya? Ia hanya bisa memandang Farrel dengan tatapan heran sementara lelaki itu sudah berlari kabur menjauhinya bagai baru saja dikejar setan.
@@@
"Gay?"
Dava dan kekasihnya, Bella, terbahak mendengar cerita Shabrina yang menyimpulkan kalau Farrel itu gay. Dua orang itu puas sekali tertawa sementara Shabrina? Ia kesal pada dua orang yang menertawakannya ini tapi kalau dipikir-pikir memang lucu. Ya bayang kan saja. Ia secantik itu tapi sikap Farrel? Astaga! Shabrina tak tahu lagi harus menyebutnya apa jika bukan gay?! Ya kan? Ada kah kata-kata lain? Enggak kan? Makanya Shabrina heran!
"Lo yakin?" tanya Dava sambil mengambil minumannya dan meneguknya hingga tandas. Pacarnya masih terkikik-kikik geli. Dava sih tak percaya. Karena sikap Farrel selama ini normal-normal saja bahkan cenderung gentleman. Bagaimana mungkin gay? Hahaha! Ia terbahak lagi ketika mengingatnya. Soalnya, ia tak menonton langsung. Harusnya ia meminta pelayan untuk mengaktifkan CCTV di ruangan privat itu. Sayangnya, ia menolak ketika memesan ruangan itu untuk Shabrina dan Farrel. Ia bahkan rela membayar ruangan itu agar Farrel segera punya pacar. Dari sekian banyak temannya, hanya lelaki itu yang jomblo. Padahal menurut Dava, tampang Farrel itu sangat menjanjikan. Tak akan ada satu perempuan pun yang berani menolak Farrel.
"Terus apalagi kalau bukan gay, Mas Dava?! Astaga! Seumur hidup gue, baru kali itu gue ketemu cowok kayak gitu."
Bella terkekeh. Ia tak bisa membayangkan bagaimana Farrel yang cold itu tiba-tiba menjadi lelaki gay?
"Emangnya kalau cowok gay didekati cewek begitu, reaksinya akan seperti itu?" ia bertanya serius.
Shabrina mengendikan bahu. Ia mana tahu. Ia tak pernah berurusan dengan cowok gay karena selama ini, lelaki yang mendekatinya normal. Tidak ada yang gay dan juga tidak ada yang berkelakuan aneh kayak Farrel. Sementara Bella kembali terkikik. Lucu karena tak ada satu pun yang tahu jawabannya.
"Sia-sia deh lo dandan sampe lima jam," ledeknya yang membuat Shabrina mendengus lantas menghabiskan minumannya. Ia juga sebal kalau ingat itu. Apalagi Farrel sama sekali tak terpesona olehnya. Heish! Ia tak habis pikir dengan cowok yang satu itu. Tipe perempuan yang disukainya siapa sih?
Sial! Ia ingat lagi pada kata-kata Ferril yang bilang kalau Farrel pernah suka sama satu cewek saat SMA. Namun sialnya, Ferril tak memberitahu detilnya. Karena rencananya dengan gampang tercium Ferril. Rencana apa? Tentu saja rencananya untuk membuat Ferril membeberkan sosok Farrel. Ferril terlalu lihai untuk ia tipu meski sempat lengah. Untung saja Ferril cepat sadar kalau Shabrina tidak tertarik padanya. Jadi lelaki itu langsung tutup mulut.
"Kalau bukan gay," Shabrina masih berpikir. "Trauma?"
Bella terbahak. "Maksud lo, dia trauma karena kekerasan oleh cewek begitu?"
Shabrina berdecak. Bukan yang seperti itu lah. Lagi pula badan Farrel kece begitu maka ia bisa menghajar balik. Gak mungkin kalah juga. Kecuali kalau si cewek mainnya keroyokan. Lalu apa?
Aarrgh! Ia juga pusing kepala memikirkannya. Farrel itu kenapa sih sebenarnya? Ia kan jadi sebal. Padahal bayangannya jika makan malam itu berjalan lancar, ia akan menjadi kekasih Farrel dalam waktu dekat. Saling berpegangan tangan atau Farrel yang akan mencium tangannya? Kemudian...heum....berpelukan atau lebih? Uhuy! Tapi sialnya, semua itu hanya ada dalam bayangannya. Sial! Ia hanya bisa memaki diri.
"Trauma keluarga?"
Dava terbahak. Ia sangat mengenal keluarga Farrel yang notabene-nya masih berteman dengan keluarga besarnya, terutama Papanya si Farrel.
"Lu kalau datang ke rumahnya, gak akan nemu jejak kekerasan rumah tangga. Keluarganya itu lovable, Shab. Ayahnya pengusaha rumah sakit, ibunya mantan dosen di UI. Ferril CEO dan kembaran perempuannya pebisnis sekaligus pembicara," tuturnya. "Kakeknya? Pengusaha terpandang. Semua orang bahkan tahu bagaimana harmonisnya keluarga besar mereka."
"Terus apa dong?" ia berdecak sebal. Sepasang kekasih yang saling merangkul dan duduk berhimpitan itu hanya bisa tertawa. Mereka mana tahu jawabannya. Lagi pula, selama mengenal Farrel, Dava mengenalnya sebagai lelaki yang sangat misterius. Kadang terlihat sangat berbeda. Tapi bukan lelaki gay yang dituduhkan Shabrina. Dava yakin sekali. Ia juga heran sih dengan Farrel. Cowok itu agak aneh menurutnya karena tidak seperti cowok-cowok kebanyakan. Dan Dava masih belum menemukan jawaban dibalik kemisteriusannya Farrel itu.
"Psiko kali," ucapnya kemudian. Dua perempuan di dekatnya menyemburkan minuman. Ia terkekeh puas.
"Kalo psiko, gue udah abis kali semalem, Maas!" gerutu Shabrina. Gadis itu sebal karena Dava asal bicara. Tapi Dava tak peduli, ia juga tak bisa dekat dengan Farrel. Cowok itu terlalu susah didekati meski kadang asyik mengobrol dengannya. Walau yah, Farrel kadang menolak jika diajak berkumpul. Jarang pula bisa ikut bergabung dengannya dan teman-teman lain. Apalagi kalau mereka berniat kumpul di klub. Rasanya, lelaki yang satu itu tak pernah datang.
"Mungkin lo bisa tanya kembarannya. Kan lo bilang kalau dia pernah jatuh cinta tuh sama cewek. Cari tahu lah siapa ceweknya," usul Bella tapi itu malah membuat Shabrina mendengus.
Ia sudah berupaya mencari tahu tapi Ferril bukan orang yang gampang membuka mulutnya. Pernah sekali, ia mencoba menjebak Ferril dengan minuman tapi cowok itu terlalu lihai untuk dikelabui. Sebaliknya, ia malah dikerjai balik oleh Ferril kala itu. Lelaki itu melempar cicak ke arah roknya dan membuatnya menangis menjerit-jerit. Ferril? Cuma terbahak lalu pergi. Namun kengerian Ferril lah yang membuatnya kapok mendekatinya lagi. Apa? Saat Ferril memperingatkannya untuk tak terlalu mendekati Abangnya. Wajah serius Ferril yang biasanya tengil itu sungguh mematikan jantungnya sesaat.
"Lo boleh dekati cowok lain. Silah kan. Gue gak akan ganggu. Tapi jangan pernah deketin Abang gue dengan cara lo ini." Ferril menghela nafas. "Lo akan tau akibatnya kalau melampaui batas. Dan garis bawahi kalau gue udah pernah ingetin lo soal ini."
Tahu kenapa Ferril melakukan itu? Abangnya itu masih sangat polos untuk urusan perempuan. Berbeda dengannya yang dalam sekali lihat, pandai membedakan mana perempuan jalang dan tidak. Farrel? Buta! Dan itu lah yang membuat Ferril mendapat tugas tambahan dari Papanya sejak Farrel sepopuler ini. Apa? Menjaga Abangnya agar tidak terperosok ke dalam cara-cara yang menjurus fitnah dan bisa mengancam Abangnya sendiri. Abangnya itu kan public figure. Pasti banyak yang ingin menjatuhkannya juga bisnisnya. Dunia tidak hanya terisi orang-orang baik tapi juga orang-orang yang rentan dikelabui nafsu. Dan Abangnya ini kadang terlalu polos dan menganggap bahwa semua orang sebaik dirinya. Itu yang membuat was-was Papa mereka. Bukannya ingin su'uzzan pada banyak orang tapi Papa mereka kan sudah lama berkecimpung dalam dunia bisnis seperti ini. Jadi sudah terbiasa menghadapinya. Berbeda dengan Farrel.
Ferril bersyukur sekali Abangnya itu tak pernah pacaran. Karena apa? Karena Farrel bukan Ferril. Biar pun sableng bin tengil, Ferril masih bisa menahan batas. Kalau Farrel? Ferril tak bisa menjamin apakah Farrel akan bertahan dengan godaan perempuan sekalipun ia sangat taat.
Pernah mendengar kisah di jaman perang dengan Romawi? Kala itu ada seorang hafiz Quran yang akhirnya kehilangan semua hapalan Qurannya dan imannya karena seorang perempuan Romawi. Ia meninggalkan agama bahkan Tuhannya demi mengejar perempuan itu. Lalu apa yang menjadi akhirnya? Ia meninggal dalam keadaan murtad alias kafir. Lalu apa balasan bagi orang-orang kafir di akhirat. Tahu? Neraka jahannam. Maka apakah itu tidak cukup untuk menjadi pengingat?
Maka setaat-taatnya manusia pun akan rentan oleh maksiat. Harta, tahta dan wanita adalah godaan dahsyat bagi lelaki. Mungkin Farrel tidak tergoda dari harta dan tahta karena ia sudah memilikinya. Tapi wanita? Tak ada yang bisa menjaminnya. Sekarang boleh masih taat, nanti?
Siapa yang bisa menjamin?
@@@
Sejak itu Farrel belingsatan tiap melihat Shabrina. Apalagi gadis itu kerap kali hadir dalam berbagai acara di mana banyak pengusaha-pengusaha berkumpul. Farrel mati-matian menjauhi gadis itu demi kemaslahatan bersama. Karena apa? Karena sialnya, Farrel sama sekali tak bisa melupakan apa yang melekat pada tubuh Shabrina malam itu. Semuanya masih terlampau jelas membayang di dalam.kepalanya hingga membuatnya seringkali banyak berwudhu juga bersujud. Barangkali, ia sering lalai jadi terlalu meremehkan maksiat-maksiat kecil.
Tapi yang menjadi masalah adalah Shabrina. Gadis itu sama sekali tidak mudah menyerah. Gadis itu kerap mengikuti jadwalnya dengan sengaja sehingga sering bertemu dengannya di berbagai acara. Ia seolah punya akses di mana saja yang membawanya bertemu dengan Farrel hingga perlahan Farrel mulai rileks dan terbiasa akan keberadaannya. Mulai berusaha biasa lagi padanya meski masih cenderung menjauhinya.
Hingga suatu hari, Farrel kembali menghadiri acara peresmian satu anak perusahaan miliknya sendiri. Ia tentu mengundang pejabat tinggi dan presiden yang kala itu bisa hadir. Maka acara potongan pita itu pun dilakukan oleh sang presiden bersama dengan Bunda yang menemani Farrel kala itu. Bunda memang kerap menemani Farrel dalam berbagai acara. Hanya saja beberapa bulan belakangan sering ikut Fadlan ke luar kota dan luar negeri. Sementara Shabrina baru kali itu melihat Bunda secara langsung. Selama ini ia hanya melihatnya di televisi, majalah atau berita-berita. Tentu saja juga dipostingan Farrel dan Ferril. Shabrina mengenal saudara perempuan mereka juga. Ia sudah menyapa Farras di media sosial tapi sialnya, tak digubris Farras.
Satu-satunya foto manusia yang diposting Farrel di i********:-nya adalah Bundanya. Kala ia dengan romantisnya mengucapkan selamat ulang tahun pada Bundanya yang sangat cantik itu. Tak heran kalau beritanya langsung melejit sedari situ hingga sekarang. Bunda sudah bagai artis. Ia juga makin sering menjadi pembicara dalam berbagai acara. Hal yang membuat Fadlan terus mengekornya karena banyak komenan-komenan yang mengagumi kecantikan Bunda. Bahkan tiap ada event-event di mana banyak pengusaha berkumpul, istrinya selalu menyita perhatian. Kalau Bunda menjanda, dijamin akan banyak lelaki yang berderet menawarkan diri untuk menjadi suaminya. Sejak itu lah Fadlan sulit tidur. Memikirkan istrinya yang masih terlihat sangat muda dan semakin cantik sementara ia semakin tua. Hihihi!
Sesi foto berakhir dan diikuti sesi makan. Bunda menikmati obrolan dengan istri presiden. Sementara Farrel juga sibuk bercengkrama dengan presiden. Satu jam kemudian, presiden dan rombongannya itu pamit. Saat itu lah kesempatan yang ditunggu-tunggu Shabrina untuk menemui Bunda terkabul. Perempuan itu sudah ingin mendekat sejak tadi tapi tertahan dengan banyaknya lelaki yang mencoba mengajaknya mengobrol. Sayangnya, ia hanya tertarik pada Farrel. Kadi semua lelaki itu, ia abaikan saja.
"Bunda!" panggilnya dan itu sukses membuat Icha menoleh. Wanita itu tersenyum ramah kala Shabrina datang padanya dan langsung memeluknya. Ia juga mengajaknya berfoto dan mengobrol banyak hal dengan Bunda.
Kesan pertama Bunda pada Shabrina adalah perempuan ini cantik dan pintar. Tapi hanya sebatas itu kekagumannya. Selebihnya, Bunda biasa saja. Toh ia juga sering bertemu dengan anak-anak pengusaha yang juga seperti Shabrina. Cerdas dan cantik. Kalau untuk menjadi influencer bagi anak muda, menurutnya adalah hal yang sangat-sangat cocok untuk sosok Shabrina yang memang digemari para milenial. Tapi melihat gelagatnya ini, Bunda tahu kalau perempuan ini sepertinya ada hati dengan Farrel. Apalagi saat ia meminta Bunda untuk memanggil Farrel demi foto bersama. Dalam sekali jepret, ia berhasil memegang lengan Farrel dan mencondongkan kepalanya ke arah bahu lelaki yang sempat menegang. Bunda? Tentu saja matanya menyalang melihat anaknya dipegang meski setelah itu berusaha bersikap ramah. Mana anaknya dipegang tepat di depan matanya. Bagaimana Bunda tak melotot?
Bunda tidak suka dengan perempuan-perempuan seperti ini. Menurutnya, perempuan seperti ini terlalu murah dan tidak punya malu. Terlalu murah karena mau-mau saja menyentuh lelaki yang bukan mahram dan tidak punya malu untuk melakukan itu. Makanya, ekspresi yang tadinya ramah menatap Shabrina kini berganti dengan agak-agak jengkel walau Bunda berusaha menutupinya. Sejak kejadian itu lah, Bunda sudah sangat-sangat tidak menyukai Shabrina.
"Perempuan itu deketin kamu, Bang?" tanyanya begitu berada di dalam mobil bersama anak sulungnya. Ada hal lain yang disebalkan oleh Icha. Apa? Ketika anaknya sama sekali tak risih dengan Shabrina yang sempat memegang lengan anak sulungnya itu. Ia saja tak ikhlas anaknya ini dipegang-pegang. Lah anaknya? Malah tampak biasa saja. Anaknya tak menikmati kan ya? Jangan sampai menikmati. Icha hanya takut Farrel semakin terbiasa dengan segala bentuk maksiat yang dilakukan tanpa disadari.
Farrel hanya berdeham sambil menyalakan mesin mobil. Yeah, Icha tahu sih kalau bertanya pada anak sulungnya ini bagai bertanya pada batu. Tak akan mendapat jawaban. Tapi herannya, ia tak pernah berhenti bertanya bahkan sampai mulutnya lelah sekali pun.
"Bunda gak suka sama perempuan itu," begitu kata Bunda. Bunda jarang memperlihatkan ketidaksukaannya pada orang lain. Tapi saat ia berbicara begitu artinya ia benar-benar tidak suka.
Sekali lagi Farrel hanya diam. Ia bisa apa kalau begini? Ia sebenarnya tak mau membiarkan dirinya agak lalai dan mulai menoleransi orang-orang yang mulai seenaknya memegang tubuhnya. Ia hanya sulit menolaknya. Apalagi rata-rata perempuan seperti Shabrina ini sangat-sangat berani menempelkan tubuhnya padanya. Haaah! Sungguh berat ujian keimanannya.
Apalagi kemarin kembali terjadi sesuatu di kantornya. Apa? Ada yang membuat Farrel lemas dari ujung kepala hingga kakinya. Siang itu, ada seorang perempuan, model majalah dewasa, datang menggodanya saat ia sedang makan sendirian di ruangan kerjanya. Hasilnya? Ia terlonjak dari bangku saat perempuan itu tak sengaja memperlihatkan belahan d**a di depan matanya. Lalu tubuhnya kembali gemetar seperti saat kejadian di makan malam dengan Shabrina sebulan yang lalu.
@@@