8. Kesal

1700 Kata
Saat sibuk di ruang kerjanya sejak beberapa jam lalu, tiba-tiba Ratih mendapat kabar mengejutkan dari salah seorang aisten pribadinya di kafe. Hal yang tak pernah Ratih duga sebelumnya, namun hari ini dia dapatkan. "Kamu serius?" tanya Ratih sekali lagi pada asistennya. Mulutnya masih terbuka, melebarkan mata tidak menyangka. "Serius, Bu. Pak Damian memberikan sebuah kertas kecil, katanya Bu Ratih di suruh menyusul ke meja di teras samping kolam ikan. Pak Damian menunggu di sana." Ya, Damian datang ke kafenya tanpa Ratih minta. Tidak ada angin atau pun badai, pria itu mampu membuat Ratih hampir kena serangan jantung di siang bolong begini. Dengan senyuman lebar tercetak sempurna, Ratih segera meninggalkan ruang kerjanya. Melangkah lebar-lebar mendatangi Damian. "Mas, lama menunggu?" Ratih mengambil duduk di hadapan Damian. Pria itu duduk tegap di kursinya, tanpa ekspresi apa pun. "Tidak, baru saja." Damian melepaskan jasnya, menyampirkan di kepala kursi. Kemudian melipat kedua lengan kemejanya hingga siku. Ratih masih tak percaya, senyuman itu bahkan tak berhenti menghiasi wajahnya. "Mas sudah pesan menu?" Damian mengangguk singkat. "Sudah, sekalian dengan menu untuk kamu." Damian tidak menatap Ratih, dia fokus pada sebuah tabletnya. Nampak tengah menggambar sesuatu, mungkin itu sketsa proyek baru yang akan digarap Damian. Ratih menopang dagu, memerhatikan wajah serius itu dengan seksama. Sangat tampan sebenarnya, hanya saja kurang senyum. Damian terkenal di kalangannya, tidak memiliki ekspresi bahkan dalam keadaan senang sekali pun. Wajah datar itu menjadi ciri khas, dengan tatapan tajam menukik tajam. Tidak jarang hanya dengan sekali pertemuan, orang-orang dapat melihat bagaimana aura dingin yang Damian berikan. Nampak menakutkan, misterius sekali. "Kenapa menatap saya seperti itu?" Damian padahal tidak sama sekali mengalihkan pandangannya, namun dengan mudah mengetahui apa yang Ratih lakukan. Bagaimana bisa? Ratih mengerjap, langsung menggeleng kaku. Dia malu tertangkap basah selalu mengagumi pesona pria itu, berkali-kali bahkan sejak dulu saat pertemuan pertama mereka. Dua orang pelayan datang membawakan menu yang Damian pesan, Ratih sempat terkejut. Hei, ada berapa menu yang pria itu pinta? Kenapa banyak sekali, siapa yang mau menghabiskannya? Bahkan ramyeon masuk ke dalam salah satu menu pesanannya. Serius Damian akan memakan mie? Pria itu tak menyukai makanan satu ini—setahu Ratih. "Saya hanya ingin mencicipi semuanya, jika itu yang sedang memenuhi pikiran kamu." Damian mengambil nasi goreng seafood, memakannya tanpa banyak bicara. Ratih yang masih menganga, mulai menyadarkan diri. Dia mengambil menu ayam teriyaki, melahapnya juga tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ini pertama kalinya Damian mampir, dan begitu menakjubkan. Dia memesan hampir semua menu, menghabiskan cukup banyak uang padahal Ratih yakin tak semua makanan dihabiskan. Hanya memakan sedikit nasi gorengnya, lalu berpindah ke menu lain. "Apa menu di kafe ini enak, Mas?" Ragu, Ratih bertanya. Damian mengangguk kecil, hanya itu saja. Ratih merutuki diri, dia sangat sulit membuat topik pembicaraan dengan Damian. Pria itu selalu menjawab singkat, obrolan pun terhenti begitu saja. "Lanjutkan makanmu, tidak perlu memerhatikan saya terus." Ratih langsung terkesiap, menunduk malu. Lagi-lagi ketahuan Damian. Sesaat tak sengaja Ratih menoleh ke arah pintu masuk, Bastian baru saja datang. Entah bagaimana, pandangan keduanya tiba-tiba bertemu. Ratih tersenyum lebar, melambaikan tangannya pada Bastian. Damian menatap Ratih beberapa saat, baru kemudian mengikuti pandangan wanita itu dengan menoleh ke arah belakangnya. "Lanjutkan makanmu, Ra!" tekan Damian sekali lagi. Ratih menoleh pada Damian, menerima tatapan tajam itu darinya. "Dia Bastian, yang kemarin ketemu kamu juga di rumah sakit. Temanku semasa SMA bareng Tasya." "Saya tidak tanya." Tanpa rasa bersalah dan berdosa, Damian menjawab demikian. Ratih langsung mengantup mulutnya, mengerucutkan bibir. "Resek!" desis Ratih kesal, lalu tersadar dan langsung menutup mulutnya dengan mata melotot. Damian tidak lagi memusatkan tatap pada Ratih, sekarang fokus pada tablet dan kentang goreng miliknya. "Makan burgernya, kamu menyukainya bukan?" "Mas tau makanan kesukaan aku?" Ratih mengulum senyum. Perasaan senang itu hadir, namun setelahnya kembali menyurut setelah Damian menyahut, "Asisten pribadi kamu yang beri tahu saya." Singkat, jelas, dan padat. Begitu mengesalkan. "Aku sabar!" Ratih mengusap dadaa sambil berusaha menyunggingkan senyuman. Untung saja Ratih memiliki stok kesabaran yang banyak, coba saja kalau Natasya yang berada di posisinya. Tak segan wanita itu akan memukul kepala Damian, Natasya memang lebih kejam dan tega orangnya. "Saya selesai." Damian menurunkan gulungan kemejanya, merapikan kembali penampilannya dengan mengenakan jas. "Eh, makanannya masih banyak. Siapa yang mau habiskan?" Ratih mencegah kepergian Damian. "Kamulah, memangnya siapa lagi?" Bola mata Ratih seakan ingin melompat dari tempatnya. "T-tapi ... tapi aku udah kenyang." "Simpan buat nyemil nanti." Setelah itu Damian segera pergi meninggalkan Ratih tanpa banyak bicara lagi. Ratih mendesah, mengusap keningnya bingung. "Aish! Mubazir banget begini caranya, Pak Damian!" gerutu Ratih melihat sisa makanan di atas meja. Bahkan ada tiga menu yang belum tersentuh sama sekali. *** "Saya di depan kafe." Setelah itu panggilan terputus. Damian yang menghubungi, Ratih kembali dibuat seakan dadaanya ingin meledak sekarang juga. Kali kedua pria itu bersikap aneh seharian ini. Ratih membereskan meja kerjanya, kemudian pulang dengan langkah terburu-buru. "Saya balik sekarang, tolong urus kafe dulu ya. Terima kasih," ucap Ratih pada asisten pribadinya. Setelah itu kembali melanjutkan langkahan cepat. Benar-benar nyata, mobil mewah milik Damian sudah terparkir di halaman kafe milik Ratih. Ada apa dengan pria itu? Aneh sekali. "Mas, tumben ngejemput. Ada apa?" tanya Ratih dengan tersenyum. Damian menyetir sendiri, Ratih lebih nyaman begini daripada di antarkan oleh Felix ke mana-mana. Dia bukan Ratu yang harus dikawal ke sana ke mari bukan? “Enaknya begini, tanpa Felix atau pengawal kamu yang lain. Aku merasa bebas.” Ratih menghirup udara banyak-banyak, tersenyum begitu manis. “Takut kalau dikawal sampai ke liang lahat.” Menaikkan bahu, asal nyeletuk yang mampu membuat Damian tidak habis pikir. “Ngomongnya dibenerin sedikit.” Ratih hanya membalas dengan kekehan. "Nanti malam ikut saya. Ada pertemuan bisnis. Klien saya membawa istrinya, tidak etis kalau saya datang sendirian." Senyum Ratih mengembang sempurna, dia langsung memanjat doa agar selalu ada pertemuan begini. Ratih senang jika Damian memperkenalkan dirinya kepada rekan-rekan kerjanya. "Oke, Mas." "Mau beli gaun dulu?" tawar Damian. Siapa tahu Ratih ingin tampil spesial bukan? "Enggak, Mas. Gaun aku banyak kok, bahkan ada yang masih baru juga." Ratih tersenyum manis sekali, Damian hanya melirik sekilas. Setelah itu tidak ada lagi percakapan di antara mereka hingga tiba di rumah. "Mas, berangkatnya jam berapa?" "Janjinya jam delapan, tapi kita akan berangkat lebih cepat. Jangan sampai orang lain yang menunggu kita." "Kamu pakai jas yang mana, Mas? Biar aku sesuaikan sama gaunnya." "Terserah kamu, saya ngikut." Damian duduk di sofa, berniat melepaskan sepatunya. Namun tanpa di duga, Ratih berjongkok di hadapannya untuk membantu Damian. "Mas mau mandi sekarang kah?" Damian mengangguk. "Ya sudah aku siapin airnya dulu sebentar." Setelah membantu melepaskan sepatu, Ratih juga membantu Damian melepaskan jam tangan, dasi, serta kemejanya. Namun untuk belt, Ratih tak berani. Dia tidak enak saja jika melakukannya sendiri, nampak masih canggung. *** Sudah siap dengan riasan sederhana pada wajahnya, waktunya Ratih ke ruang pakaian untuk mengenakan gaun. "Eh, Mas. Belum siap-siap juga dari tadi? Aku pikir sudah." Ratih menautkan alis. Damian masih mengenakan celana panjang dan kaos hitam polosnya. "Saya baru selesai di ruang kerja." Melirik ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Masih ada banyak waktu untuk Damian bersiap. Melihat Ratih dengan riasan wajah seperti ini, membuat Damian mengangkat sebelah alisnya ke atas. Menerima tatapan sedekemian rupa dari Damian, Ratih bingung. "A-apa aku jelek dengan make-up seperti ini, Mas?" tanya Ratih memastikan. Apa aneh di penglihatan Damian? Damian segera mengalihkan pandangannya, memasukkan tangan ke dalam saku celana tanpa mau menjawab pertanyaan Ratih. "Aneh ya? A-aku hapus aja deh." Dengan bibir maju ke depan, Ratih berniat menuju kamar mandi. Dia memang harus berlatih lagi nanti soal merias wajah. "Buang-buang air!" Damian menyahut cepat. Ratih mengerutkan kening. "Udah berpakaian sana." "Jadi, bagus aja make-upnya?" Damian mendengkus, dia segera melangkah ke arah Ratih secara tiba-tiba. Melingkarkan lengan pada pinggang wanita itu, lalu mengangkat Ratih untuk duduk di atas meja rias. Tanpa bicara, Damian langsung menyambar bibir Ratih. Memberikan sensasi mengejutkan yang membuat jantung Ratih seketika ingin melompat dari tempatnya. Ratih menepuk bahu Damian sebab napasnya sudah menipis, kewalahan membalas perlakuan pria itu. "Mas?" keluh Ratih memegangi bibirnya. Ratih menoleh ke belakang—arah cermin untuk melihat kondisi lipstiknya. "Kan, ilang—" Lagi, Damian membungkam bibir Ratih dengan ganas. Mata Ratih melotot, apa mereka akan melakukannya di atas meja rias seperti ini? "Saya ingin.” Damian melirik jam pada pergelangan tangannya dengan napas tersengal, dia menatap Ratih dalam. Masih bisa menolak? Tentu saja tidak. Terpaksa Ratih harus memperbaiki riasan wajah dan rambutnya lagi. Mereka melakukannya dengan cepat, melayang ke luar angkasa bersama dalam waktu yang terbilang singkat ini. Ratih senang, Damian melupakan pengamannya. Kemesraan kali ini terasa berbeda, tak lupa memanjat harapan baik kepada Tuhan. Yang biasanya mencapai titik finish bersamaan, kali ini Ratih dibiarkan melangkah duluan—Damian yang meminta. Tidak lama, barulah Damian menyusul. Dan apa itu?! Damian tidak mencapai garis finish yang seharusnya. Mengambil tisu berniat membersihkan sisa kemesraan mereka di atas perut Ratih. Wanita itu menahan tangis, mendorong dadaa Damian keras hingga tercipta jarak. Tidak peduli Damian akan marah atau bagaimana, Ratih segera bangkit dan melangkah menuju kamar mandi. Terisak pilu di dalam sana sambil membersihkan diri. Siapa yang tidak bersedih dengan semua ini, dia merasa tidak dihargai perasaannya oleh Damian. Jika kalian pikir Damian akan membujuk Ratih, maka salah besar. Hatinya sudah terlanjur beku, sulit untuk menjuru ke hal seperti itu. "Cepatlah bersihkan diri. Tadi saya sudah menghubungi Felix untuk mencarikan penata rias." Setelah itu beranjak ke ruang pakaian, Damian bersiap untuk dirinya. Pria itu mendengar isak tangis istrinya, tapi lebih memilih diam seribu bahasa. Rapi dengan pakaiannya, Damian meninggalkan kamar. Mengabaikan Ratih yang sedang duduk di meja rias dengan posisi membelakanginya. Wanita itu sedang dirias, Damian menyiapkan penata rias ini sejak tadi sore. Sedikit kaget ketika melihat Ratih yang ternyata pandai juga memoles wajahnya, ya meski dengan riasan lebih sederhana dari bayangan Damian. "Tolong rambutnya digerai saja, jangan di gulung ke atas." Felix memberitahu kepada penata riasnya. Ratih menautkan alisnya bingung. "Tuan Damian yang meminta." Ratih memutar bola matanya malas. "Gulung ke atas saja, Mbak. Biar rapi dan tidak gerah." Felix melebarkan matanya. "Tapi, Nona Ratih ... Tuan--" "Terserah, suka-suka aku!" Ratih mendengkus, menatap tajam Felix. Akhirnya pria itu hanya bisa diam, menyerahkan semua keputusan kepada Ratih dengan catatan jika Damian marah, Felix tak ingin ikut campur. Felix sudah memberitahu dan memperingati, namun Ratih tak mau mendengarkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN