Selebar daun kelor

2002 Kata
Wisnu mengikuti Azka dari belakang. Mobil Azka melaju menuju gedung Algantara Group. Selama perjalanan Wisnu tidak berhenti mengumpati Azka sambil bertanya-tanya dalam hati bagaimana Azka bisa mengenal Emily. Mobil Wisnu mengikuti mobil Azka mulai dari saat Emily masuk ke dalam mobil itu kemudian mobil itu menurunkan Emily di lobby kantor Algantara Group hingga mobil itu terparkir sempurna di lahan parkir yang terletak di bawah gedung Algantara. Wisnu dengan cepat memarkirkan mobilnya dan masuk ke dalam mobil Azka. Rasa penasaran Wisnu sudah tidak terbendung lagi. Wisnu langsung merubah posisi duduknya menatap Azka dan Azka sudah tersenyum sinis menatap pria disebelahnya. Otak Wisnu sudah penuh dengan berbagai pertanyaan yang siap ia lontarkan pada Azka terkait dengan hubungan Azka dan Emily. "Begini yang namanya enggak jatuh cinta?" Azka bertanya pada Wisnu dengan nada sinis. Wisnu mendengus, "Enggak usah banyak bacot, Ka! Cepet ceritain gimana elo bisa ada di apartemen Emily pagi ini? Kenapa elo bisa kenal sama Emily? Sedeket apa hubungan elo sama Emily?" Azka dengan santai mengambil tumber air minumnya yang berisi kopi dan menenggaknya sebelum menjawab pertanyaan teman lamanya itu, "Wow.. Easy man.. Lo kalo mau nanya satu-satu. Lo mau gue jawab yang mana dulu?" "Kampret! Cepet jawab! Kenapa elo bisa kenal Emily?" Azka tertawa. Temannya ini sepertinya sudah di taraf memprihatinkan. Sudah menyangkal perasaannya ia sendiri tidak sadar sepertinya dengan perasaannya sendiri. Azka saja bisa melihat kalau pria ini sudah jatuh cinta pada Emily. Sikapnya ini berlebihan untuk taraf bos dan karyawan. "Lo inget cerita gue soal gue dijodohin?" Azka bertanya dengan nada santai. "Jangan bilang cewek yang dijodohin sama elo si Emily?" Wisnu menjawab pertanyaan santai Azka dengan nada heboh. Azka yang melihat kehebohan Wisnu pun terkekeh dan mengangguk, "Gue pagi ini disana dalam rangka disuruh nyokap gue buat jemput si Emily. Gue dapet info dari nyokapnya Emily soal jadwal dia dan gue dateng buat jemput dia. Ponsel personal gue ketinggalan. Gue enggak bisa kontek dia jadi gue dateng modal nekat aja. Gue enggak punya kontek Emily di ponsel kerja gue." Wisnu mengumpat tanpa suara mendengar cerita Azka. Wisnu tidak pernah menyangka kalau mereka selama ini membahas wanita yang sama. Keduanya memang terbiasa membahas seseorang tanpa mengungkapkan nama mereka. Tidak ada alasan khusus namun itu sudah terjadi selama puluhan tahun semenjak mereka mulai dekat dan sering berbagi cerita untuk bertukar pikiran. "Gue jadi tertarik buat terima perjodohan sama Emily..." "Jangan macem-macem lo, Ka. Kemarin lo bilang enggak tertarik sama sekali." Wisnu berucap dengan nada mulai emosi Azka tertawa, "Elo yakin enggak suka sama si Emily? Dengan sikap lo yang begini? Gue kok enggak percaya sama omongan lo jadinya, Nu.." Wisnu mengumpati Azka. "Gue enggak tertarik pertama karena gue cuma liat Emily sebagai temen gue selain itu gue baru cerai, Man. Alasan terakhir karena Emily cinta sama Lukman, Nu. Gue enggak akan bisa dengan mudah masuk dalam hidup Emily sama kayak elo yang enggak akan bisa dapetin hati Emily dengan mudah. Gue sama Emily dekat karena kami teman sejak kecil. Emily cerita bagaimana dia cinta sama Lukman walau mereka belum mendapatkan restu tapi enggak akan semudah itu elo masuk dalam hubungan mereka." Wisnu dengan cepat menyangkal ucapan Azka, "Elo salah paham. Gue cuma penasaran sama mereka. Gue enggak maksud lebih jauh." Azka mendengus kesal karena Wisnu masih berkilah dengan menyangkal perasaannya sendiri padahal Azka saja dengan jelas bisa melihat itu. "Terserah lo, Nu... Terserah... Yang penting gue udah kasih tau kalau Emily itu cintanya sama Lukman. Mending sekarang elo keluar karena gue mesti ke kantor gue. Gue enggak ada waktu dengerin penyangkalan bullshiittt elo soal perasaan elo." "Sialan! Gue juga mau kerja! Elo yang udah bikin gue penasaran." Azka mendengus dan ketika Wisnu keluar dari dalam mobilnya. Azka menjalankan mobilnya ke arah keluar melewati Wisnu namun saat tepat disebelah Wisnu, Azka dengan sengaja menekan klakson yang kencang membuat Wisnu berjengkit kaget karena kelakuan temannya itu. "Bocah gemblung!" Wisnu meneriaki Mobil Azka yang sudah berlalu menjauh meninggalkannya. Sementara Azka di dalam mobil jelas tertawa kencang karena berhasil mengerjai teman lamanya itu. Barang kali kaget bisa membuat Wisnu sadar akan perasaannya pada Emily. *** Di ruang kerjanya Emily sudah duduk dan dengan cepat menghabiskan air minum di dalam gelas tumblernya yang disiapkan oleh pekerja yang ditugaskan untuk membersihkan dan membantu di lantai tempat ruangan divisi Emily berada. "Haus banget nampaknya..." Bayu yang sudah berada di dalam ruangan pun dengan heran berucap melihat tingkah Emily pagi ini. Emily meringis, "Gue tadi lupa minum jadi nahan haus sampe dikantor karena malas beli minum." Dusta Emily pada Bayu agar tidak menarik kecurigaan rekannya yang memiliki kekepoan akut. Emily cukup bersyukur Bayu tidak banyak bertanya mengenai hubungannya dengan Lukman dan Wisnu. Walau Bayu pernah bertanya namun untungnya saat itu Emily bisa menjawabnya dengan baik. Tidak ada pembahasan apapun lagi karena Emily sibuk membereskan barang-barangnya sementara Bayu sedang menikmati sarapan paginya. Keduanya melakukan aktivitas mereka masing-masing hingga Bayu mengerutkan alisnya saat melihat Wisnu masuk ke dalam ruangan dengan terengah-enggah dan lurus masuh ke dalam ruang kerjanya lalu keluar lagi, "Pagi, guys..." Bayu mengerutkan alisnya melihat Wisnu dengan tatapan bingung. "Elo kenapa buru-buru tadi, Nu?" Wisnu terkekeh, "Enggak ada apa-apa. Haus tadi..." Bayu menatap Emily dan Wisnu bergantian. "Hari ini kok dateng-dateng haus kalian samaan haus? Emang cuaca di luar panas banget? Udah mulai musim panas?" Emily merotasi bola matanya sementara Wisnu terkekeh. "Gak sengaja, Bay. By the way, gue ini mau ngadep bos besar dulu. Kalo udah kelar nanti gue info elo dan kita kumpul di ruang meeting sebelah ya, Bay. Anak buah lo semua di ajak. Ada proyek baru khusus buat kalian. Gue akan jelasin detailnya nanti." Bayu pun dengan cepat mengangguk dan memberikan tanda hormat pada Wisnu. Wisnu pun mengangkat jempolnya pada Bayu lalu menatap Emily yang nampak sibuk dengan aktivitasnya. Wisnu hendak berbicara dengan Emily namun getaran ponselnya membuat Wisnu mengurungkan niatnya dan berjalan keluar dari ruangan sambil mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya. Bayu pun mengerutkan alisnya melihat Wisnu tadi dan menoleh menatap Emily, "Gue ngerasa Wisnu itu beda kalo natap elo, Em." Emily pun mengangkat wajahnya dan memandang Bayu dengan tatapan datar, "Jangan ngada-ngada lo, Mas. Kalo Mas Lukman denger dia bisa salah paham." Bayu pun otomatis memandang Emily dengan wajah berbinar, "Jadi bener elo sama Lukman udah balikan? Alhamdulillaahhh..." Melihat kebahagiaan terpancar dari wajah Bayu tanpa sadar Emily pun tersenyum, "Bantu doa ya, Mas. Semoga semua baik-baik aja dan lancar-lancar aja." "Aminnn... Gue akan selalu doain yang baik-baik buat elo, Em. Diantara tiga anak gadis di divisi kita tinggal elo doang nih yang belom ketemu jodoh... Keyra sama Mila udah ketemu jodoh... Gue doain elo juga nyusul mereka.." "Amiinnn.. Insya Allah, Mas. Semoga kali ini emang waktunya gue..." Bayu tidak pernah memaksa Emily untuk menceritakan kisahnya. Bayu tau Emily berbeda dengan Keyra dan Mila. Kalau Keyra dan Mila terang-terangan menceritakan apa yang mereka alami, Emily malah kebalikannya. Ia akan menyimpannya untuknya sendiri. Ia akan bercerita kalau ia mau dan ia merasa perlu diceritakan. Walau demikian, Bayu berusaha menghormati dan menghargai keputusan Emily. *** Sementara itu Lukman yang baru saja mengatur emosinya pasca pertemuannya dengan pria paruh baya yang memiliki label ayah kandungnya itu pun kini sedang berdiam diri di dalam kamarnya. Lukman sedang bersimpuh diatas sajadahnya mencoba mencari ketenangan batin. Lukman sadar bahwa ia hanyalah manusia biasa yang pada akhirnya akan menyerah kalah dan datang pada penciptanya untuk berserah. Lukman bersimpuh mengadu dan mencurahkan segala isi hatinya dengan air mata yang tidak berhenti mengalir. Lukman dalam diam dan tangisnya memanjatkan doa dan permohonannya serta mencurahkan apa yang ia rasakan. Ibu Lasmi yang terbangun dari tidurnya pun melihat apa yang Lukman lakukan. Melihat putranya bersimpuh dan berdoa dalam diam namun air mata anaknya itu tidak berhenti mengalir, hati Ibu Lasmi terenyuh. "Bu..." Laura dengan suara berbisik memanggil Ibunya dari arah belakang untuk menyadarkan Ibunya. Ibu Lasmi pun terkesiap dan menoleh menatap Laura yang kini berdiri dibelakangnya. Ibu Lasmi menutup pintu kamar Lukman perlahan agar tidak menganggu putra sulungnya itu lalu berjalan ke arah sofa. Ibu Lasmi duduk dan Laura dengan hati-hati membantu Ibunya untuk duduk. "La, Ibu minta tolong buatkan Ibu teh manis hangat ya..." Laura mengangguk dan meninggalkan Ibunya seorang diri di sofa. Saat berada seorang diri di sana. Pintu rumah diketuk dan perlahan Ibu Lasmi beranjak untuk membuka pintu dan wanita paruh baya itu kaget bukan main mendapati mantan suaminya berada dirumahnya bersama dengan istrinya saat ini. "Las, aku mohon. Bantu aku. Bujuk Lukman atau Laura untuk mau mendonorkan ginjal mereka untuk aku. Aku ini bapak kandung mereka." Ibu Lasmi histeris. Wanita itu berteriak mengusir Handi Kurniawan dan istrinya. Laura yang berada di dapur bahkan sampai meninggalkan kegiatannya dan menuju sumber suara Ibunya. Lukman yang sedang bersimpuh di sajadahnya pun ikut terkesiap kaget dan langsung meninggalkan aktivitasnya. "PERGIII..! PERGI DARI SINI! JANGAN GANGGU ANAK-ANAK SAYA!" Istri Handi Kurniawan pun dengan wajah menyebalkan menghardik Ibu Lasmi. "Harusnya anak-anak Mbak itu balas budi! Mereka tidak akan ada di dunia ini kalau bukan karena Mas Handi!" Ibu Lasmi naik pitam mendengar ucapan istri mantan suaminya. Ibu Lasmi pun spontan melayangkan sebuah tamparan ke wajah wanita itu. "LASMI!" "IBU!" Semua kaget dengan aksi Ibu Lasmi. Ibu Lasmi pun memandang wanita disebelah mantan suaminya dengan tatapan penuh kebencian, "Jangan mengomentari anak-anakku dengan mulut kotormu! Minta anak-anakmu sendiri mendonorkan ginjalnya untuk ayahnya sendiri! Ayah anak-anak saya sudah mati! Lukman dan Laura tidak memiliki kewajiban apapun dengan pria yang sudah meninggalkan mereka!" Laura menahan tubuh Ibunya yang nampak tidak mampu menahan diri dari luapan emosi. Laura takut Ibunya kembali melayangkan tamparan lain pada pasangan dihadapannya. Sementara Lukman sudah mengepalkan kedua tangannya. Emosi Lukman yang sudah mereda kini kembali naik. Lukman pun menarik Ibu dan Adiknya masuk ke dalam rumah lalu berdiri dihadapan pasangan paruh baya tidak tau malu itu. Lukman memandang kedua orang dihadapannya dengan tatapan sinis, "Saya sudah mengusir kalian tadi. Mau jutaan kali kalian datang ketempat ini pun kalian tidak akan mendapatkan donor ginjal dari kami. Lebih baik anda pulang dan minta salah satu dari anak kesayangan anda untuk mendonorkan ginjalnya. Kalau mereka tidak mau, lebih baik anda bersiap-siap untuk mati. Kami disini tidak akan memperdulikan anda. Anda mati jelas kabar baik buat kami." Laura memandang kakak laki-lakinya dengan wajah kaget. Laura tidak menyangka bahwa Lukman bisa berbicara sekejam itu. Kakak Laki-lakinya yang ia kenal sopan dan santun dalam berkata-kata ternyata bisa memiliki pedang yang menusuk dalam setiap kata yang pria itu ucapkan. "Ini terakhir kalinya saya memperingatkan anda. Jangan datang lagi kesini. Saya tidak segan-segan melaporkan anda berdua ke pihak berwajib jika anda masih membuat keributan dan datang ke rumah kami." Setelah mengucapkan kalimat itu. Lukman menutup pintu rumah dan membantu Laura memapah Ibu mereka. Ibu Lasmi pun memandangi Lukman dengan tatapan sendu. "Ini yang Ibu takutkan. Ibu takut kamu mengalami hal pahit dalam hidup kamu. Ibu mati-matian mendidik kamu menjadi pria baik. Ibu takut ada sifat buruk bapakmu yang menurun pada kamu tapi kenyataannya selama ini kamu menuruni sifat Ibu. Jadi ibu mohon, Man. Akhiri niat kamu untuk menikahi Emily. Perbedaan status sosial bisa membuat kalian mengalami apa yang Ibu alami dan Ibu enggak sanggup melihat kamu harus merasakan hal yang sama dengan yang Ibu rasakan." Hati Lukman menjadi berat mendengar ucapan Ibunya. Ibunya memohon berkali-kali seperti ini tapi hati Lukman milik Emily. Lukman sudah mencoba merelakan tapi ia tidak pernah bisa. Lukman pun memberanikan diri kembali jujur pada Ibunya mengenai perasaannya saat ini. "Tapi Lukman cinta sama Emily, Bu. Kami saling mencintai." Ibu Lasmi memandang sendu putranya, "Cinta aja gak cukup, Man. Percaya sama Ibu... Ibu dan Bapakmu juga saling mencintai. Kamu dan Laura adalah bukti cinta kami tapi pada akhirnya bapak kamu menyerah meninggalkan kita. Kamu dan Laura jadi korban lalu bapak kamu kembali menikah dan memiliki keluarga barunya." Lukman memilih diam. Lukman tidak lagi menjawab ucapan Ibunya lagi karena tidak mau membuat Ibunya semakin antipati pada hubungannya dengan Emily. Kali ini Lukman sudah berjanji dan memantapkan hati bahwa ia akan berusaha keras berjuang untuk dirinya dan Emily. Bagaimana pun sejak awal hatinya sudah memilih Emily dan Lukman sangat berharap mimpi-mimpinya bersama Emily bisa terwujud. Lukman ingin berkeluarga. Ia ingin membangun keluarga kecil bahagianya dan jelas ada Emily di dalamnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN