Sebuah bangunan sekolah khusus pendidikan anak usia dini, dengan pagar kayu berwarna coklat tua, berlukis bunga kecil, yang dipadukan bersama tokoh-tokoh kartun, berdiri dengan kokoh di tengah hamparan kebun yang cukup luas. Pepohonan besar, bunga-bunga bermacam warna, juga wahana bermain anak pun, turut serta menghias gedung sekolah tersebut.
Satu unit mobil Porsche Macan, berwarna hitam, baru saja berhenti tepat di depan gerbang masuk. Hanya berselang beberapa detik, seorang pria tampan, bersetelan jas dark grey, keluar dari mobil, dan berlari kecil memutari bagian depan kendaraan tersebut, untuk membuka pintu sisi penumpang.
“Silahkan turun, Princess Elsa,” ucapnya sembari memangku seorang gadis kecil yang sangat cantik, lalu menurunkannya.
“Terima kasih, Tuan The Great Prince of the Forest,” sahut anak itu pada sang Ayah, dengan pelafalan tak jelas.
Sembari menutup kembali pintu mobil, lalu menuntun tangan kecil putrinya, pria itu mulai melangkahkan kaki dengan perlahan, diikuti langkah pendek Embun, yang berjalan di sampingnya.
“Tuan The Great Prince of the Forest? Bukannya … Papa, Tuan Marlin?” tanya Rain dengan dahi berkerut.
Gadis kecil yang tengah mengulas senyum manisnya itu, mendongakkan kepala ke atas, menatap pada sang Ayah, sembari menyipitkan mata karena cahaya matahari yang menyilaukan.
“No … Papa bukan Papanya Nemo. Hari ini, Papa jadi Papanya Bambi,” jawab Embun.
Setibanya di depan pintu masuk utama bangunan sekolah, Rain menghentikan langkahnya, membiarkan teman-teman Embun masuk terlebih dahulu bersama orangtuanya. Sedangkan pria tampan itu, justru mengambil posisi setengah berlutut, menghadap gadis kecilnya yang masih tersenyum dengan manis.
“Kenapa Papa jadi Tuan The Great Prince of the Forest, hari ini?” tanyanya, sembari membenarkan pita merah muda yang tersemat pada kedua ikat rambut putrinya.
Tanpa terduga, Embun yang terlihat sangat bahagia itu mengecup pipi kanan Rain dengan singkat, hingga membuat pria itu sedikit terkejut, mendapat hal yang tidak biasa dilakukan oleh putrinya. “Karena, walaupun ayah Bambi adalah rusa yang paling tua, dan terkuat di hutan, Tuan The Great Prince of The Forest selalu ada untuk Bambi setelah ibu Bambi meninggal, karena tertembak. Seperti Papa,” jelasnya, pelat lidah yang terdengar menggemaskan.
“Seperti Papa?” Rain yang belum pernah menonton film animasi berjudul Bambi pun, semakin mengerutkan dahinya.
Embun menganggukkan kepala.
“Kenapa?” tanya Rain lagi.
Perlahan, gadis kecil yang sangat menggemaskan itu melingkarkan kedua tangannya pada tengkuk leher Rain, lalu mengeratkan pelukannya. “Karena yang Embun punya sekarang … cuma Papa.” Embun melirih.
Mendengar perkataan putrinya, Rain seketika membalas pelukan itu lebih erat, sembari mengusap punggung Embun dengan lembut.
Dan lagi-lagi, satu rasa bersalah itu kembali menggelitik batin terdalamnya, karena ia terlalu hanyut dalam rasa sedih atas kehilangan sang istri yang secara tiba-tiba, hingga melupakan putri kecilnya, yang justru lebih menderita daripada dirinya.
Perlahan, Rain melepas pelukannya, lalu menatap Embun, sembari mengulas senyum terhangatnya. “Sepulang Papa kerja, Embun mau gak, nonton film Bambi bareng Papa?” tanya Rain.
Dengan semangat, gadis kecil itu menganggukkan kepala. “Hm. Embun mau.”
“Oke. Nanti sore, sepulang Papa dari tempat kerja, kita nonton kartun kesukaan Embun.” Rain merapikan kembali rambut pendek yang menutupi kening putrinya, kemudian bangkit dari posisinya, ketika salah satu guru Embun berjalan menghampiri mereka. “Sekarang, Embun main dulu sama Ibu Guru. Nanti pulang sekolah, Mba Sisil, dan Pak Mursal, jemput Embun lagi. Oke?”
Rain mengangkat tangan kanannya, dan disambut high five oleh Embun, dengan riang. “Oke!”
Gadis kecil itu segera menyambut uluran tangan gurunya, dan hendak berjalan masuk ke dalam setelah berpamitan pada sang Ayah.
“Titip Embun, iya, Bu,” ujar Rain, sesaat sebelum keduanya mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung sekolah.
Setelah mendapat jawaban dari guru yang akan menjaga putrinya, Rain tak langsung pergi meninggalkan tempat tersebut. Pria itu justru berdiri, menatap punggung putrinya, dengan perasaan campur aduk.
‘Embun … jadilah gadis yang kuat, dan mandiri. Walaupun kamu, tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. Papa yakin, kita berdua pasti bisa melewati semua ini. Papa sayang sama Embun, tanpa syarat,’ monolog Rain dalam hati.
***
Dengan postur tubuh bak olahragawan, dan raut wajah penuh wibawa, Rain Antares, selaku Direktur Personalia PT. Loom. Inc, terlihat berjalan beriringan bersama sekretaris, HR Manager, dan manager Personalia, hendak menuju aula, di mana para pelamar berkumpul untuk melakukan wawancara.
“Bagaimana para pelamar untuk tim Personalia gelombang ketiga?” tanya Rain.
“Mereka sudah menunggu di tempat yang kita sediakan, Pak,” jawab pria bersetelan jas navy, yang berdiri di sisi kanan Rain.
Pria itu menganggukkan kepala, dan mempercepat langkahnya, menuju aula, sembari membalas sapaan para karyawan yang berpapasan, dengan anggukan kepala satu kali.
Setibanya di tempat tujuan, Rain segera berjalan menuju meja persegi panjang di tengah ruang tersebut, lalu duduk pada kursi bagian tengah. Sedangkan sekretarisnya berdiri di belakang pimpinannya, dan manager tim personalia, HR Manager, beserta kepala tim Divisi Personalia yang sudah menunggu dalam ruangan, duduk di kedua sisi lain sang Direktur Personalia.
Di atas meja, sudah tersaji berkas-berkas milik pelamar yang lolos seleksi pertama, pada gelombang ketiga, beserta cv mereka, untuk diperiksa oleh keempat pewawancara hari ini.
“Panggil tiga pelamar yang lolos seleksi pertama untuk divisi Personalia gelombang ketiga!” Titah Rain.
Pria bersetelan jas hitam, yang tengah berdiri di depan pintu ruang khusus wawancara tim divisi Personalia, segera membuka pintu aula, membaca nama-nama yang tertera pada secarik kertas dalam genggamannya, lalu menyerukan tiga nama tersebut.
“Panggilan untuk pelamar divisi personalia … Fajar Ramadhan, Senada Ria, dan Shaki Zainaya, dipersilakan masuk!”
Rain yang tengah membaca CV salah satu pelamar, hanya melirik sesaat ke arah pintu, lalu kembali membaca kolom kepribadian, pada salah satu Curriculum Vitae milik seorang gadis, berusia dua puluh tujuh tahun, dimana di sana tertulis, jika kepribadiannya yang tangguh, dan mandiri, terbentuk sejak berusia lima tahun, setelah kedua orang tuanya meninggal dunia dalam satu waktu yang sama.
Pikiran Rain seketika teringat pada sosok putri kecilnya. Embun, masih memiliki dirinya sebagai seorang Ayah, yang bisa memberi kasih sayang sepenuhnya, memenuhi segala hal yang Embun inginkan, memberi pendidikan semaksimal mungkin, agar anaknya bisa tumbuh dalam lingkungan yang baik, dan tidak merasa kekurangan kasih sayang, ketika ia berada dalam fase, membentuk karakter dirinya.
Tiga orang pelamar yang sebelumnya dipanggil oleh Melky, kini sudah duduk dengan tegap di atas kursi masing-masing, sembari menenangkan rasa gugup mereka dengan menghela napas dalam, dan mengembuskannya secara perlahan.
Namun tanpa terduga, lelaki bersetelan jas navy, yang duduk di samping Rain, tiba-tiba tersenyum, sembari menggumamkan satu nama perempuan, yang terdengar tidak asing bagi Rain.
“Shaki ….”
***