Dan (sifat-sifat yang baik ) tidak akan dianugerah-kan kecuali pada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali pada orang-orang yang mempunyai keberuntungan besar.
(Quran Surah Fusillat (ayat:35)
"Jadi, kapan kamu mau nyusul seperti kawanmu itu, si Shaka, sudah nikah dia sekarang, cantik sekali istrinya itu Abah tengok kemarin. Mau cari yang bagaimana lagi kamu ini, Im? Karier sudah mapan, pendapatan sudah lebih dari cukup, rumah sudah ada. Carilah cepat perempuan buat dijadikan istri." Kalimat Abdullah - abbahnya Baim pagi ini terdengar seperti sebuah risakan baginya. Memang hanya sebuah pertanyaan, tapi rasanya seperti dikeplak tepat di atas ubun-ubun.
"Biar sajalah, Bah, anak sudah dewasa , pasti nanti kalau udah ketemu yang cocok langsung minta dilamarkan." Mama Baim menyahut. Helaan napas lega menguar dari hidung lelaki bermata sipit tersebut. Mamanya selalu punya cara untuk menenangkan hati.
Baim melahap cepat setangkup roti gandum yang telah dipanggang dengan isian selai kacang di dalamnya, "Terima kasih, Mama. Saranghae," ujar Baim tersenyum ke arah Irene dengan jari telunjuk dan ibu jari bertumpu membentuk simbol yang katanya ungkapan cinta ala Negeri Ginseng.
"Abah jodohin sama anak kawannya Abah, gimana Im? Si Layla yang dulu waktu kecil sering diajak main ke sini," cetus Abbah kembali. Baim reflek tersedak kunyahan roti yang tertelan. Layla si majnun itu, yang sukanya menjadi parasite dalam pandangan Ibrahim. Baim menggeleng keras atas ide abbahnya.
"Syukron Jiddan, Abah. Nggak usah repot-repot, nanti Baim bawakan calon istri ke hadapan Abbah sama Mama. Secepatnya!"
Kedua orangtuanya sama-sama menumbuk pandangan ke arah sang putra, "Jangan bohong!" Ucap Abbah dan mama Baim bersamaan.
Baim meringis. Irisnya hilang ditelan kelopak monolid-nya saat tersenyum. Kali ini dia dalam masalah besar. Baim mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Bisa-bisanya mengatakan hal bodoh pada Abbah dan mama. Kalau sudah seperti ini dia sendiri jadinya yang bakal repot. Mau cari kemana calon istri dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya. Undang-undang dasar saja butuh waktu puluhan tahun dirancang kemudian baru bisa dideklarasikan. Apalagi menikah, mana bisa serba dadakan.
"Insya Allah, Ma, Bah. Nyari calon istri ga semudah nyari diskonan Ma. Butuh waktu dong," serga Baim membela diri.
Irene berdecak disertai gumamam kecil, "Alasan!"
"Move on, Im. Kamu harus nunjukin sama siapa itu, mantan kamu kemarin, kalau bisa dapat yang lebih baik."
"Kak Nara, Bah. Abah jangan pikun dulu, Zhi, baru kelas 11, nanti gimana kalau Zhi mau nikah terus Abbah lupa jadi walinya Zhi." Zhivana adik Baim menimpali.
"Abah belum pikun Zhi, Abah memang sengaja ga mau nyebut mantannya kakakmu itu," sahut Abbah.
Atmosfer suram selalu memancar setiap kali obrolan sudah mengarah pada pembahasan soal 'Nara' .
Baim mengambil napas dalam-dalam, batinnya sesak bukan karena rasa sakit hatinya. Tetapi melihat raut kecewa di mata Abbah dan mama. Mereka yang sejak dulu selalu antusias mengurusi persiapan nikah putranya, tapi Inara malah membatalkan semuanya. Abbah juga sudah terlanjur membagi cerita pada teman-temannya kalau akan menikahkan putra sulungnya.
"Makanya Im, pesan Abbah kamu itu ga usahlah pacar-pacaran. Kalau udah nemu yang cocok langsung nikah saja." Nasihat Abbah Baim. "Pacaran lama juga ga menjamin bakal jadi sampai nikah. Buang-buang waktu saja! La raddada jahluk, IM!" Sambung Abbah lagi, mengatakan 'jangan mengulangi kebodohanmu' dalam bahasa Arab. Kalau bahasa induknya sudah keluar, Abbah biasanya sangat serius.
"Na'am, Bah."
Baim membalas singkat dengan iya. Memang tidak salah kalimat Abbah. Pacaran cuma banyak merugikan. Sudah rugi waktu, rugi finansial -- ah, kalaus soal materi Baim tidak kepikiran, anggap saja itu sedekah, yang membuatnya sangat dikecewakan adalah rasa percayanya dikhianati mentah-mentah.
"Udah, Bah. Ga usah diingat lagi. Itu artinya Allah Maha baik, nunjukin kalau dia memang ga layak buat Baim. Mumpung belum melangkah sampai jauh." Ibrahim mengalihkan pandangan menatap arloji yang melingkari di tangan kanan. "Baim berangkat dulu Bah, Ma." Baim berdiri dari kursi, pamit pada Abbah dan mama sejurus menuju carport. Baim melajukan Honda jazz-nya dengan kecepatan sedang. Jalanan masih agak lengang, baru jam tujuh kurang, tapi Baim memilih keluar dari rumah, daripada harus terus direcoki soal kapan akan membawa calon istri oleh Abbah dan mamanya, ditambah obrolan topik Inara selalu membuat suasana menjadi kurang enak.
**
Kantor masih sepi saat Baim mengayun kaki menyusuri lobi. Baru ada Winda di belakang meja resepsionis yang sedang fokus menatap kaca standing berukuran kecil.
"Pagi, Wind," sapa Baim.
"Eh, ada Pak Aim. Pagi juga, Pak," sahut Winda tidak mengalihkan fokusnya yang sedang men-touchup make up-nya. "Nggak ngopi dulu, Pak?" Tanya Winda. Baim mengangguk.
"Naruh tas dulu bentar." Baim melengang ke ruangannya ingin menyimpan dulu back pack berisi laptop dan berkas-berkas pekerjaan sebelum melangkah ke kantin. Melangkah lewat koridor, Baim dibuat tertegun oleh penampilan seseorang. Pinggang rampingnya tertutup gamis jersey polos warna cream dengan outer panjang motif horizontal di bagian luar. Pasmina warna senada gamis terlilit menutup rambut dan kepalanya. Padahal kemarin saat bertemu dia masih menggerai rambut panjangnya yang sepinggang.
"Pagi, Pak," sapa seseorang yang membuat Baim tertegun sejenak.
"Oh iya, pagi juga." Baim memaku langkah dalam jenak. Matanya memindai gadis yang pamit duluan berjalan ke arah kantin.
"Pak! Masih pagi udah ngelamun!" Satu tepukan keras di bahu Baim membuat lelaki itu reflek mengeluarkan kata-kata mutiara penuh perdom.
Risma terkikik geli dengan dua jari membentuk huruf V di udara, "Piss ... Pak Baim, bercanda. Biar ga kaku kek kanebo."
"s**l Lo, untung ga jantungan gue."
Risma dan Baim memang sangat akrab sejak dulu, tetapi mereka sangat profesional. Tidak ada percikan-percikan lain meski dekat, apalagi Risma sudah memiliki tunangan. Baim juga beranggapan Risma terlalu preman untuk dijadikan calon kekasih. Sebaliknya, bagi Risma, Baim itu terlalu melankolis untuk jadi laki-laki yang akan dipacari.
"Lo apain Oppa gue, Ris. Kalau sampai kenapa-napa Lo berhadapan sama gue." Dari arah belakang suara lain menginterupsi. Sintya dengan raut dibuat-buat menyiratkan rasa cemas pada Baim.
"Lebay Lo. Cocok emang kalian berdua ini. Udahlah Pak, kawinin aja Sintya itu." Nyablak Risma berkomentar. Baim gantian menjitak kepala Risma pelan.
"Kucing kali, kawin." Gantian satu sentilan mendarat di dahi Risma.
Ketiganya bersamaan menuju kantin. Dari deretan meja yang berisi segerombolan laki-laki dan perempuan rungu Baim menangkap sekilas bisik-bisik dari karyawan kantor sebelah yang hobi ber-ghibah riah. Saat Baim lewat meja mereka semua diam. Saat Baim sudah agak jauh mereka semua kembali menggumam yang kadang disertai tawa mengejek. Baim hanya geleng-geleng tak peduli sama sekali. Penilaian di mata manusia baginya tidak terlalu penting. Manusia itu di mata manusia lain pasti akan selaku dianggap sebagai obyek, benar atau salah tetap akan diperbincangkan. Bodo amat adalah jurus paling jitu. Tutup telinga dan tidak usah peduli selama tidak merugikan.
Ditinggal nikah sama pasangannya
Biasanya kan selalu berduaan
Patah hati ga tuh?
Seriusan ga normal?
Yaampun sayang banget, ganteng-ganteng gayung?
Padahal gue mau jadi pacarnya
Oalah, pantes kumpulnya sama ciwi-ciwi mulu.
Baim tahu kalau kalimat itu ditujukan padanya. Bukan sekali dua-kali. Dia sudah kebal dengan banyaknya gosip murahan yang entah siapa penyebarnya. Ibrahim Al Mufti dinilai sebagian orang sebagai pria tidak normal, penyuka sesama jenis. Baim tersenyum miring. Fitnah yang sangat kejam. Apa setiap laki-laki jomlo yang belum menemukan separuh tulang rusuknya selalu diidentikkan dengan kata 'tidak normal'
Terlalu mendeskriditkan sesuatu.
"Cuekin aja Pak. Ga mutu mereka semua."
Risma menarik kursi tepat di sebelah Ananta. Gadis itu terlihat takdzim menikmati sarapannya pagi ini.
"Kita gabung sini ya, Ta," izin Risma. Ananta mengangguk dengan senyum tipis. Pipinya menggelembung penuh dengan makanan.
Sintya dan Baim ikut bergabung setelah memesan kopi pada pegawai kantin.
"Btw. Speechless gue, Ta. Lo cantik banget make kerudung. Kelihatan imut." Risma berkomentar tentang penampilan Ananta.
"Makasih Mbak," sahut Ananta singkat.
"Ceritain dong, Ta. Kok bisa sih, tiba-tiba ngerubah penampilan gitu? Gue aja nih, udah dipaksa sama nyokap suruh pake jilbab, bentar lagi nikah, apalagi calon suami dari keluarga yang agamis, tapi guenya belum siap, gimana dong?" Risma terus merentetkan kalimat curhatannya. Ananta tersenyum sekilas. Usai menyesap teh hangat dari gelasnya, baru dia menimpali pertanyaan Risma.
Sebelum berbicara mata cokelat Ananta melirik sekilas ke arah Baim, pandangan mereka menumbuk sepersekian detik. Sejurus Ananta mengalihkan matanya ke arah Risma, "Kalau soal hidayah, setiap orang pasti punya jalannya masing-masing, Mbak. Kalau aku, kebetulan habis ngalamin kejadian yang ga enak. Tapi bukan karena kejadian itu trus sok-sokan ngubah penampilan. Emang dari dulu udah kepikiran, cuma baru sekarang benar-benar dilakukan. Mungkin gini kali ya, Mbak. Yang namanya hidayah itu udah Allah kasih, terus karena kitanya ngerasa udah dapat sinyal masih nanti-nanti aja, akhirnya ditegur. Benar ternyata hidayah itu dijemput, bukan cuma diem aja, karena ga bakal ngubah apapun." Lumayan panjang Ananta menjelaskan perihal perubahan penampilan. Jika kemarin gadis itu masih memakai setelan outfit kekinian ala-ala gaya milenial, sekarang tampilannya berubah 180 derajat.
Ananta kembali menyesap teh manis yang tinggal setengah di gelas. Dari seberangnya duduk Baim melempar senyum tipis. Lelaki itu menggumam pelan, "Alhamdulillah, semoga istiqomah," ucapnya.
Ananta menyahut singkat dengan kata amin.
"Lo ga risih atau panas gitu ya?" Kali ini Sintya berkomentar. Ananta menggeleng. Di awal memang agak kurang nyaman. Biasa itu, mengubah satu kebiasaan menjadi kebiasaan lain pasti tidak akan segampang membalik telapak tangan.
"Kenapa, kamu ada niatan mau ngubah penampilan juga?" Baim menimpali pertanyaan Sintya. Gadis itu menggeleng cepat disertai tawa sumbang.
"Nggak deh, makasih. Aku belum siap, Oppa."
Obrolan pagi yang sangat random. Ananta pamit balik duluan usai menuntaskan sarapan paginya. Disusul Risma. Menyisakan Baim dan Sintya.
"Balik sana kamu!" Titah Baim pada Sintya. Gadis itu menggeleng keras.
"Bareng aja yuk."
"Duluan saja kamu, aku ada janji sama orang."
"Siapa? Cewe ya?" Selidik Sintya.
"Kenapa memangnya kalau cewe?"
"Aku cemburu, Oppa!" Sahut Sintya terang-terangan. Baim tertawa pelan. Selain Risma, Sintya termasuk gadis yang sangat frontal.
"Cuma teman, jangan cemburuan."
Sintya berdecak, "Becanda kali, Pak! Cuma teman ga usah baperan," balas Sintya tak mau kalah. Gadis itu beranjak dari duduk kemudian pamit melengang duluan.
Sepuluh menit menunggu, orang yang janjian dengan Baim akhirnya muncul juga. Langkahnya berjejak tegap dengan wajah berseri-seri.
"Dari tadi, Im?" Sapanya saat menarik kursi duduk di seberang Baim. Helaan napas menguar dari bibir Baim. Tadi sengaja mengirimkan pesan ingin ngopi bareng sembari menanyakan beberapa hal yang menurutnya sangat urgent.