Aku mencoba untuk menyeimbangi ciuman Dante. Meski ini adalah kali pertamaku, tapi aku harus tetap beradaptasi dengan keadaan ini. Apalagi uangnya sudah aku gunakan dan nominalnya tidak sedikit.
Ternyata dia adalah si Culun, teman masa kecilku. Pantas saja dia langsung memelukku dengan begitu erat. Sedikit cerita, kami sudah saling kenal sejak kecil. Kami sering kali bertemu dan main bersama. Aku tidak tahu kalau namanya adalah Dante Cullen karena yang aku tahu hanyalah Culun. Singkat cerita, keluarga Dante harus pindah ke luar negeri. Waktu itu, Dante datang ke rumah dengan keadaan yang menangis layaknya anak kecil yang baru saja di pukul. Ibu menanyakan alasan mengapa dia menangis, dan papa Dante menjelaskannya. Aku pun ikut menangis waktu melihatnya pergi begitu saja.
Pantas saja aku merasa tidak asing dengan wajahnya. Tapi karena kesan pertamaku bertemu dengannya sangat tidak baik, semua anggapanku aku tepis. Kini, saat dia tiba-tiba memelukku sambil mengaku bahwa dia adalah si Culun teman masa kecilku, membuatku mengartikan bahwa sampai saat ini ia masih mengingatku.
Dante semakin dalam menciumku. Aku tidak bisa mengimbanginya, ia sangatlah lihai dalam hal ini. Aku tidak bisa menyeimbangkan tubuhku, rasanya seperti jelly karena buaian yang diberikan oleh Dante.
Ia tidak pernah sekalipun melepaskan tangannya dari punggung, meski sesekali mengelus tengkukku dan semakin menekannya. Aku bahkan sampai mendesah di tengah perdebatan lembut lidah ini.
Aku tidak tahu kalau Dante sudah membawaku ke ranjang. Dia menidurkanku dengan sangat hati-hati. Aku tidak bisa memikirkan apapun, rasanya semua hilang dari pikiranku. Satu hal yang pasti adalah menikmati mala mini bersama si Culunku, cinta masa kecilku.
Dante menyudahi ciuman ini, membuatku sedikit kecewa. Sejak Dante menciumku sampai di baringkan di ranjang, aku selalu memejamkan mataku. Aku tak sanggup untuk sekedar menatapnya.
Aku memberanikan diri untuk membuka mata. Yang pertama kali tertangkap oleh mataku adalah senyuman manisnya dan tak lupa adalah matanya yang selalu memandangku penuh cinta. Bisakah aku mengatakan bahwa ia memandangku penuh cinta? Aku mencintainya, sejak dulu dan mungkin ia juga.
Dante yang dulu dengan Dante yang sekarang banyak mengalami perubahan. Dulu ia sangat imut, sekarang menjadi lebih tamban, gagah, dan sangat membuatku terbuai dengannya.
Oh astaga, aku sudah melupakan satu hal. Dia sudah mempunyai seorang istri. Bagaimana mungkin aku melupakan hal itu. Stop Cinta, kamu hanya akan dijadikan sebagai orang yang menampung calon anaknya. Dia memberimu uang dan kamu menyewakan rahimmu. Sesimpel dan sesakit itu.
Mengingat Dante yang sudah memiliki seorang istri membuat semua hasrat untuk bercinta dengan Dante menghilang. Membuatku memalingkan pandanganku kea rah lain, tidak lagi berpandangan dengan Dante.
“Ada apa? Kenapa cemberut seperti ini?” Tanya Dante dan memegang daguku, mengarahkannya dan membuatku kembali memandangnya. Kita sama-sama menyelami pemikiran satu sama lain. Dante mencium keningku tanpa aba-aba, membuatku semakin merasa tak pantas.
“Dante, apa kita ubah saja perjanjian itu?” tanyaku pada Dante. Ia terlihat keheranan.
Meski begitu, aku masih tetap pada kondisi tertidur di ranjang dan dia mengukungku tepat di atas tubuhku.
“Bukankah tujuan awalku adalah untuk menyewakan rahimku padamu. Tapi kenyataannya kamu masih memiliki seorang istri. Sebagai seorang perempuan, aku juga mengerti bagaimana sakitnya ia ketika mengetahui hal ini. Tenang saha, aku akan melakukan apapun supaya uang 300 juta yang sudah aku gunakan bisa terlunaskan. Bahkan menjadi pembantumu, aku rela. Maaksudku, kita jangan bermain gelap seperti ini” ujarku menjelaskan.
Bukannya menjawab, Dante malah menciumku. Ia juga melumat bibirku.
“Aku serius, Culun!” Ucapku dan menampar manja samping dadanya.
“Hey, dengar. Aku memang sudah memiliki istri, tapi dia tidak ada di hatiku. Sejak aku melihatmu menangis saat aku dan keluarga pergi ke luar negeri, sejak saat itu aku memutuskan untuk memikirkan satu perempuan saja. Kamu tahu itu siapa?”
Siapa? Tidak mungkin aku kan? Secara yang ku tahu hanya aku lah perempuan yang bermain dengannya.
“Aku?”
“Iya lah. Siapa lagi?” tanyanya.
Dante kini membalikkan posisi kami. Aku tidak lagi berada di bawahnya, tetapi kini aku berada di atasnya. Dante melipat tangannya yang satu di belakang kepala, dan satunya lagi untuk memainkan rambutku.
“Sebentar. Aku masih tidak mengerti apapun yang kamu ucapkan. Jika kamu memang hanya memikirkan satu perempuan saja, lalu kenapa kamu menikah dengan perempuan lain?. Kamu tidak memikirkan bagaimana sakit hatinya perempuan yang kamu tinggallkan itu?” ujarku .
Aku menepis tangan Dante yang memainkan rambutku. Awalnya aku mencoba bangun dan tidak ingin berada dekat-dekat dengannya, tapi ia terus saja menahan pinggangku untuk tetap menempel dengan tubuhnya.
“Jangan seperti ini seakan kamu menolakku. Jika aku tahu dari awal kalau kamu kesusahan di negeri ini, aku sudah pulang dan menikahimu. Aku menkahinya juga karena terpaksa, demi memperluas kekuasan bisnis. Hanya itu saja, tidak lebih dan aku bisa menjamin hal itu. Aku memikirkanmu setiap saat. Bahkan kalau aku boleh jujur, aku tidak pernah menyetubuhi isteriku karena selalu terbayang wajahmu saat kecil dulu. Aku juga tidak sudi anakku dari rahimnya. Siapa sangka Tuhan mempertemukan kita kembali meski dalam keadaan yang menyakitkan. Mungkin jika aku tidak masuk ke rumah sakitku ini dan menanyakan kamar rawat ibu, mungkin selamanya aku tidak akan tahu siapa sebenarnya kamu. Saat pertama kali mendengar nama ibu dan nama kamu di sebut, awalnya aku tidak percaya. Tapi setelah aku melihat-lihat identitasmu, betapa bersyukurnya aku kepada Tuhan yang telah memberiku petunjuk. Itulah mengapa aku langsung memelukmu dan bahkan nangis, itu semua karena aku terlalu rindu dengan sosok Ana kecilku. Siapa sangka Ana kecil yang selalu nangis dan cemberut bisa tumbuh menjadi Ana yang luar biasa cantik dan pemberani seperti ini”
Selama Dante bercerita, selama itu pula hatiku merasakan hal yang berbeda. Aku merasa special dengannya. Ingin rasanya menangis dan memelukknya juga. Tidak hanya dia saja yang rindu, tapi aku juga.
“Yang aku bingungkan itu adalah kenapa kamu dengan begitu mudahnya memberikan black cardmu padaku padahal kamu tidak tahu niatku seperti apa?” tanyaku penasaran. Jika jawabannya kini sesuai dengan pikiranku sekarang, aku tidak punya pilihan lain selain benar-benar mencintai pria ini. Meski dia sudah memiliki seorang istri.
Dante tidak lagi melipat tangannya, ia kini memelukku dalam keadaan tubuh yang saling melekat seperti ini.
“Saat pertama kali bertemu tadi siang, sejujurnya aku sedikit kesal dengamu. Kamu menghentikan kegiatanku, padahal aku sudah berada di ujung. Ada satu hal yang menarik perhatianku, keberanianmu. Itulah yang membuatku yakin. Oh iya, ada satu hal yang membuatku sempat berpikir kalau kamu adalah Ana kecilku, yaitu tahi lalat imut yang ada di samping bibir menggoda ini. Aku masih mengingat dengan jelas kalau Ana kecil memiliki hal itu. Itulah mengapa aku dengan mudah memberikannya padamu”
Batal.
Aku batal untuk jatuh ke pesonanya. Nyatanya aku menemukannya dalam keadaan sedang bersatu dengan seorang perempuan yang licik. Membuatku sedikit emosi. Aku seperti di lambungkan tinggi, namun di jatuhkan sedalam-dalamnya oleh pria ini.
“Kamu mengatakan kalau kamu tidak sudi untuk bercinta dengan istrimu, tapi dengan sekretarismu kamu melakukannya. Lelaki memang sama saja!”
“Jangan seperti itu. Itu adalah hal yang berbeda. Meski baagaimanapun juga, aku butuh pelepasan”
“Oh begitu. Berarti kedepannya aku harus menyiapkan hatiku untuk tidak sakit apabila nanti aku menemukan si Culun ini bercinta dengan perempuan lain dan mengatakan bahwa dia hanya butuh pelepasan!. Oh astaga, Cinta jangan lupa kalau kamu hanya sebagai wadah calon anaknya, setelah anaknya lahir kamu akan di buang begitu saja. Baiklah, karena niat awal kita seperti itu, lakukan itu sekarang dan selesaikan malam ini. Semoga dengan sekali coba akan berhasil dan aku tidak akan bisa menemuinya selama setahun ke depan”
Jujursaja aku sakit hati mendengarnya kalau ia melakukan itu untuk sekedar pelepasan. Bahkan sampai membuatku hampir menangis.
“Kenapa kita tidak boleh bertemu setelah malam ini?” Tanya Dante.
“Aku tidak sudi melihatmu menyatukan tubuhmu dengan perempuan mana pun!” Ucapku dengan emosi mengebu-gebu. Air mataku lolos begitu saja.
“Aku mencintaimu” ucap Dante dan membuatku menatapnya.
Apakah benar atau sekedar kata penenang saja?.
“Aku mencintaimu dan merindukanmu dengan sangat sampai-sampai aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan rasa bahagiaku bertemu kembali denganmu. Aku harus membuktikannya dengan cara apa karena bagaimana pun cara yang aku lakukan akan berakhir sia-sia setelah kamu melihatku bersama dengan perempuan lain” ujar Dante. Aku mendengar nada kepasrahan di dalam penjelasannya dan membuatku percaya bahwa dia memang seperti itu.
Entah setan dari mana hingga membuatku bertindak lebih dulu. Aku mencium Dante lebih dulu, melumatnya meski aku belum terlalu pandai dalam hal itu.
“Aku juga mencintaimu” Ucapku di sela ciuman itu.
Dante menyambut ciumanku. Ia bahkan menekan tengkuk supaya ciuman ini makin dalam. Aku yang masih belum terbiasa dalam hal ini menyerahkan semuanya pada Dante.
Ciuman ini semakin dalam, bahkan suara ciuman dan sedikit desahan yang lolos dariku, mengisi semua ruang ini. Tubuhku terasa sangat panas dan entah mengapa aku menginginkan sentuhan yang lebih.
Aku berani mengatakan kalau Dante sangat lihai sekali hingga membuatku melupakan dunia ini. Aku terhanyut dalam kenikmatan yang ia ciptakan. Aku tidak sadar kalau kini aku sudah berada di bawah kuasanya lagi.
“Katakan sekali lagi kalau kamu mencintaiku” bisik Dante di telingaku, membuatku merinding dan meminta kalau mulut Dante lebih baik digunakan untuk melumat bibirku saja.
“Aku mencintamu, Culun” ujarku setengah mendesah karena Dante yang mencoba untuk mencium leherku. Rasanya geli, namun memberikan kenikmatan yang berbeda.
“Hmm.. Hhh… Dan..te. Jangan!” Ujarku tidak tahan. Dante terus saja mencium leherku, dan mencoba ke telingaku. Terasa sangat geli. Geli yang nikmat.
Aku tidak berani membuka mata. Aku takut kalau setelah membuka mata nanti, aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri. Aku bahkan tidak tahu kalau Dante sudah membuka bajuku.
“Kamu tidak adil!. Kamu sudah membuka bajuku, tapi kamu masih lengkap” Rajukku menghentikannya untuk mendusel di leher. Kulihat matanya menggelap, ia terlihat bernafsu. Astaga, tatapannya memancingku.
“Bukalah!” Ujarnya.
Dante menuntunku untuk bangun. Aku sudah bertelanjang, sedikit malu di depannya dan membuatku menutupi bagian tubuhku.
“Jangan tutup, terlalu indah. Ana, aku sudah tidak tahan. Tolong buka pakaianku atau aku sendiri yang membukanya. Aku sudah tidak tahan!” Ujar Dante pasrah.
Ia mendesah sesekali. Aku rasa adiknya sudah sesak. Mungkin ini waktunya bermain-main dengannya. Siapa suruh tadi siang bermain dengan perempuan lain!.
“Aku yang akan membukanya untukmu, juga untukku” Ujarku.
“Cepatlah!” Ucap Dante dan mendesah. Matanya menggelap saat aku melihatnya.
Aku sengaja menggoda Dante. Aku tidak langsung membuka bajunya begitu saja, namun sedikit bermain-main dengan nafsunya yang sudah berapi-api.
Tanganku bergerak dengan sangat lambat saat mencoba membuka bajunya. Bahkan aku sengaja mengelus d**a bidangnya dengan sangat perlahan. Kulihat eskpresi Dante yang memejamkan mata.
“Cepatlah Ana. Aku sangat tidak tahan. Jangan mencoba bermain-main denganku jika tidak ingin kecewa nantinya” Ujarnya sambil melihatku.
Aku sedikit kecewa dengannya. Dia tidak bisa di ajak bermain-main. Karena ucapannya yang demikian, aku urungkan tanganku untuk membuka baju Dante dan menunduk.
Sontak Dante memegang tanganku.
“Please, jangan merajuk di saat seperti ini. Kamu sudah berhasil memancing nafsuku, jangan melepasnya begitu saja. Kamu tidak melihat adikku yang sudah tidak tahan untuk di lepaskan?” Ujarnya dan menuntun tanganku untuk membuka bajunya.
Ia tetap memegang tanganku bahkan saat membuka celananya. Memang benar, adiknya sudah sesak. Celana dalamnya yang ketat sudah membuktikan semuanya.
Dante menaikkan daguku. Semakin aku melihatnya, semakin menggelap matanya dan semakin aku terpancing olehnya. Tubuhku juga semakin memanas. Ini adalah malam yang bahaya!.
“Kamu sudah mengerti kan kenapa aku sudah tidak tahan? Dia sudah sangat sesak, dan penyebabnya adalah kamu” ucap Dante. Ia juga mencubit putingku yang sudah mengeras dan membuatku mendesah.
Dante langsung menciumku, kini lebih possessive dari sebelumnya. Ia juga meremas payudaraku bergantian. Ternyata tangan Dante tidak bisa diam di satu tempat. Setelah bermain dengan si gunung, ia beralih pada titik sensitivku. Semakin membuatku panas dan meminta sentuhan yang lebih.
“Jangan terlalu banyak bermain-main, Dante. Aku juga tidak tahan sama sepertimu” ucapku dengan sulit karena tangannya yang nakal.
Dante kembali mencubit putingku, kini aku berteriak sekaligus mendesah dan memeluknya saking tidak bisa menyeimbangkan badanku oleh kenikmatannya.
“Jangan panggil aku Dante. Panggil aku Culun saat kita berdua, Ana” bisik Dante.
Aku hanya mengangguk. Aku tidak sanggup untuk mengatakan apapun sekarang. Ini terlalu sulit, lebih sulit daripada belajar berenang.
“Ana, apakah aku satu-satunya?” Tanya Dante.
“iya, kamu satu-satunya dan pertama” ujarku dengan cepat seakan tidak diberikan hak untuk sekedar bernafas. Kepalaku selalu aku taruh di pundaknya pundaknya. Sudah ku katakana dari awal kalau ini terlalu nikmat dan membuatku meleleh seperti jelly.
Dante terus saja bermain-main dengan titik sensitivku. Aku menggigit bahu Dante saat merasakan sesuatu yang meledak dari dalam sensitivku.
“Hhhh… tolong jangan lepas tubuhku, aku masih lemas” bisikku pada Dante. Ia tertawa.
“Bahkan aku belum membuka menu utama. Ini hanya pemanasan saja” Ujarnya.
“Ha?. Aku tidak tahan, Culun. Aku tidak bisa menjelaskan yang aku rasakan ini” ucapku.
Dante kembali melumat bibirku. Aku semakin tidak bisa bernafas.
“Jangan terlalu sering menciumku. Aku tidak bisa nafas!” rajukku sambil menutup mata. Aku merasakan ia kembali membaringkanku.
Aku juga merasakan sesuatu yang menonjol, juga keras di pahaku. Jangan bilang kalau itu adalah adiknya?. Benda itu terasa besar, apakah muat di vaginaku?. Rasanya tidak mungkin!.
Dante semakin menggesek adiknya, membuatku semakin resah.
“Tenang Ana” Ucap Dante menenangkanku.
“Apakah bisa muat?” tanyaku.
“Apanya?” tanyanya sambil kembali mendusel di leherku. Bagaimana aku bisa tenang jika dia selalu mengganggu dengan cara seperti ini.
“Adikmu. Apakah muat?” ucapku dengan desahan yang semakin berat saja.
“Tentu. Meski dia seperti ini, akan membuatmu merasakan kenikmatan yang tiada tara. Aku bisa pastikan itu”
“Aku percaya padamu, pelan-pelan”
“Tenang saja. Aku tidak akan membuatmu merasakan sakit. Meski di awal akan terasa sangat sakit, tapi setelahnya kamu tidak bisa menyangkal kenikmatannya” ujar Dante.
Dante mencoba untuk memasukkan adiknya. Semakin adiknya masuk, semakin aku merasa kesakitan dan hampir membuatku berteriak saking sakitnya. Yang bisa aku lakukan hanyalah menggigit pundaknya. Mungkin saja pundaknya terluka, tapi rasa punyaku di bawah terasa sangat sakit, bahkan lebih sakit saat menstruasi.
“Tenang, Ana. Percayakan padaku” ucap Dante dan membuatku melihatnya. Ia tersenyum padaku dan melumat bibirku dan untuk kesekian kalinya aku terbuai oleh ciumannya.
“Aku percayakan hidupku padamu” ucapku.
Perlahan tapi pasti, Dante terus saja memaju-mundurkan adiknya. Awalnya terasa sangat sakit, tapi makin lama berubah dan menjadi nikmat sampai membuatku mendesah setiap kali mencoba menghirup pasokan udara. Satu hal yang membuat nafsuku semakin menaik adalah mendengar desahannya.
Dante tidak lagi pelan, ia semakin cepat dalam memompa. Tangannya tidak diam begitu saja, selain meremas payudaraku, sesekali ia meraba dan mengocok vaginaku. Perpaduan adiknya dan tangannya sangatlah luar biasa.
Aku sudah beberapa kali meledakkan cairan, tapi ia tidak pernah sekalipun. Dante semakin cepat dan cepat, bahkan aku bisa mendengar desahannya dengan jelas di telingaku. Tidak lama setelahnya, aku bisa merasakan sesuatu yang meldak di dalam dan sepertinya Dante sudah melepaskan semuanya.
Terasa hangat, tapi entah mengapa aku senang dengan hal itu.
“Thanks Ana. Sangat luar biasa!” ujarnya sambil tersenyum padaku.
Aku tersenyum juga padanya. Tidak lama, aku merasakan dia kembali mengerakkan adiknya.
“Sepertinya aku tidak bisa hanya sekali saja denganmu. Aku butuh berkali-kali dan sepertinya setiap hari” ucapnya berbisik setengah mendesah karena ia semakin gencar saja mengocok adiknya di titik sensitivku.
Malam itu, aku dan Dante melepaskan semuanya bahkan aku sendiri tidak bisa menghitungnya. Ia melakukannya dengan sangat semangat sampai membuatku lemas untuk sekedar saling tukar desahan dengannya. Meskipun begitu, malam pertamaku sangatlah indah, meski Dante adalah seorang pria yang memiliki istri.