Mita melangkahkan kakinya keluar kamar menunggu maghrib dan berniat bercengkrama dengan keluarganya di ruang keluarga. Saat ia sampai di depan ruang keluarga, sudah ada Bunda, Ayah dan Kak Anjani yang duduk manis menonton tv dan menikmati hidangan yang disediakan Mbok. Mita menghampiri mereka dan mendudukan tubuhnya di sofa besar yang menjadi tempat favoritnya.
"Dik, jangan lupa akhir pekan harus kosongkan jadwalmu," ujar Ayah tiba-tiba.
Mita menengok ke arah Ayahnya, tersenyum lalu mengangguk pasti. "Baik, Ayah. Sudah Mita kosongkan jadwal untuk menemani Kak Anjani dan Mas Rizky ke Tegal."
"Tapi Ayah, kenapa harus kami?"
"Lalu, Ayah mau minta tolong siapa, Nak? Anak Ayah 'kan cuma kalian berdua."
"Bukan begitu maksud Mita. Ayah 'kan tau, Mita paling tak suka tempat itu, terutama makanannya. Semua makanan disana itu manis dan itu membuat Mita mual."
"Kamu ini Mita, makanan aja terus yang dipikirkan," cibir Kak Anjani.
"Loh, harus dong, Kak. Mita itu kesana menemani Ibu hamil, nanti kalau ibu hamil kelaparan gimana?"
"Kakak makannya tidak rewel sepertimu, Mita!" pekik Kak Anjani. Skakmat deh Mita, memang benar kalau Kak Anjani itu tidak banyak memilih makanan beda sekali dengan Mita, ia akan lebih memilih makanan yang akan di makan.
"Sudahlah, Nak. Kalian itu kesana hanya sehari saja, lalu pulang. Tidak usah diambil pusing persoalan makanan, karena Bunda dan Mbok akan membawakan kalian bekal."
"Dengarkan Mita, usahamu sia-sia sayang. Semua kebutuhan kita sudah akan Bunda penuhi, terimalah keadaan ini sayang," ucap Kak Anjani mendramatisir dan terkekeh melihat adiknya tak bisa lagi berkutik dan beralasan.
"Lagian kamu kenapa sih, Dik? Kesana juga akan bertemu dengan keluarga, kenapa enggan sekali untuk bertemu?"
"Eh? Engga kok, Ayah. Bukan begitu, sungguh Mita hanya tak suka makanannya saja," ucapnya jujur. Ayah menaikan satu alisnya menatap gadis bungsunya itu bingung.
"Alasan yang tak masuk akal menurut Ayah," ucapnya lirih.
"Hm … baiklah baiklah, Mita akan menemani Kak Anjani dan Mas Rizky akhir pekan nanti. Ayah tak perlu khawatir, Mita akan menjaga mereka," ucapnya yakin dan tak akan membantah lagi.
"Gaya amat akan menjaga kami, Dik?" ucap Mas Rizky tiba-tiba datang menghampiri mereka semua. Kak Anjani tersenyum bahagia melihat suaminya datang.
"Masya Allah, Mas … bikin Mita kaget aja," dengusnya sebal.
"Haha, maaf ya Adik Mita yang bawel," ucapnya terkekeh.
"Kak Anjani, mengapa suamimu itu menyebalkan sekali heum?"
"Dia tidak menyebalkan, Dik. Justru dia yang akan menjaga dan melindungi kita kelak sebelum kau mempunyai suami." jawabnya yakin menatap lekat Mita dan tersenyum manis sekali.
"Masih lama aku punya suami, Kak."
"Jodoh tidak ada yang tahu kapan datangnya, Dik. Jodoh bisa datang cepat dan lama, tergantung Gusti Allah sudah meridhoi atau belum," sahut Mas Rizky tiba-tiba. Skakmat! Mita mendelik kesal dan terdiam setelah di sahuti oleh Mas Rizky.
"Kenapa kalian menyebalkan?" tanyanya mendramatisir.
"Kami hanya ingin yang terbaik untuk adik kami yang polos, lugu dan tak pernah mau mencoba mengenal lelaki lain." Kak Anjani berbicara dengan penuh arti. Mita menatap kakaknya heran, kenapa bicaranya seperti itu.
Setelah membahas sesuatu yang tak penting, banyak sekali yang mereka obrolan, oh bukan mereka melainkan ayah dan juga Mas Rizky, para wanita hanya mendengarkan cerita mereka berdua. Tertawa bersama keluarga sambil menunggu maghrib adalah hal yang selalu ingin di ulang bagi Mita. Seulas senyum tercetak jelas di wajahnya, ia memperhatikan satu persatu wajah keluarganya. Wajah yang selalu ia cinta dengan keteduhan hati yang luar biasa, kasih sayang yang membuat mereka harmonis dan sangat hangat.
***
Akhir pekan tiba, sejak selesai sholat subuh kedua anak dan menantu keluarga Dodo Sasongko sedang bersiap untuk berangkat ke Tegal. Saat adzan subuh berkumandang, Mita dengan langkah gontainya menuju kamar mandi untuk mandi dan wudhu lalu bersiap-siap. Setelah semua siap, ia segera melangkahkan kakinya menuju dapur, bersiap untuk membawa semua bekal yang sudah Bunda dan Mbok siapkan untuk mereka bertiga.
"Assalamualaikum Anak Bunda yang manja," sapa Bunda saat melihat anak bungsunya turun dan menghampirinya. Ia memeluk sang Bunda dengan erat sekali, dan Bunda mengecup kening Mita.
"Waalaikumsalam, Bunda sedang apa?"
"Sedang mempersiapkan semua makanan yang akan kalian bawa, Nak. Soalnya, anak bungsu Bunda tak bisa memakan masakan yang manis," ejek Bunda. Mita memanyunkan bibirnya karena di goda oleh sang Bunda.
"Assalamualaikum Bunda, Adik Mita," sapa Kak Anjani yang tiba-tiba datang bersama Mas Rizky.
"Waalaikumsalam," jawab mereka serempak. Kak Anjani segera duduk di kursi dan Mas Rizky mengikuti. Mas Rizky merasa bingung karena ia tak melihat Ayah sejak tadi.
"Bunda …," panggilnya.
"Iya, Mas? Kenapa?"
"Ayah kemana? Tumben belum ada di meja makan."
"Ayah kalian sedang tak enak badan. Selepas subuh tadi beristirahat kembali, mungkin sebentar lagi akan keluar kamar."
"Ayah sakit? Kalau begitu, Mita engga usah ikut dan disini saja menemani Ayah."
"Engga bisa begitu, Mita. Ini Ayah yang minta untuk kalian ke Tegal," protes Bunda.
"Kenapa sih, Bun? Ayah kasian loh lagi sakit," sergahnya.
"Kata siapa Ayah sakit? Ayah baik-baik saja, Mita. Sudah cukup menolaknya, Nak," sahut Ayah tiba-tiba nongol dan menghampiri mereka semua.
"Ayahhh," teriaknya dan berlari memeluk Ayahnya. Sang Ayah hanya tersenyum dan membalas pelukan anak bungsunya.
"Kau sudah besar Mita, tapi tetap saja seperti anak kecil. Bagaimana nanti jika Ayahmu ini sudah meninggal," ucapnya tiba-tiba membuat Mita diam mematung tak bergeming.
Tes, satu bulir kristal tiba-tiba jatuh membasahi pipinya. Dan makin deras membasahi pipinya. Menangis dalam diam dan tergugu membuat ayahnya curiga, langsung mengangkat kepala anaknya itu dan didapati Mita sedang menangis.
Tangisnya pecah, derai air mata semakin deras membuat Ayah bingung harus melakukan apa. Semua mata tertuju pada sepasang ayah dan anaknya itu seakan sedang menonton drama. Setelah sadar, Bunda hanya menggelengkan kepala saja, Kak Anjani terkekeh dan Mas Rizky tersenyum simpul.
"Adik Mita ini pintar sekali drama ya, Bunda."
"Hehe, Bunda engga paham tuh, Kak."
"Sudah ah, Mita jangan kayak anak kecil. Adik harus tetap berangkat ke Tegal, jangan karena menangis seperti ini berpikir bahwa Ayah akan berubah pikiran, karena itu tidak akan pernah!" tegas Ayah perlahan mengusap bulir air mata anak bungsunya yang hampir mengering tersebut.
"Engga kok, Ayah. Mita hanya sedih karena kata-kata, Ayah. Tenang aja, Mita akan tetap berangkat dan itu pasti," ucapnya yakin, Ayah mengelus kepala anaknya yang tertutup jilbab elegan itu dan merangkulnya berjalan ke meja makan.
"Bun, semua sudah siap?"
"Sudah suamiku. Mereka tinggal berangkat saja, semua makanan sudah Bunda persiapkan ini."
Mas Rizky mengambil dan membawa rantang berisikan makanan. Ia juga menggandeng Kak Anjani menuju ke pekarangan rumah, Mita dan kedua orangtua mereka mengekor di belakang. Mereka pamit dan segera masuk ke dalam mobil.
***
Selama perjalanan mereka bertiga lebih banyak diam, sesekali Mita berceloteh ria bersama Kak Anjani dan mengingat tempat-tempat yang sering mereka lewati dan juga kunjungi. Mas Rizky hanya mengulas tersenyum ketika mendengar kedua wanita yang ia jaga saling menimpal obrolan dan berceloteh.
Perjalanan yang ditempuh cukup lama, kurang lebih hampir 3 jam. Akhirnya mereka sampai di tempat yang dituju. Disana, sudah banyak sekali yang hadir, mungkin ratusan orang haha oke ini lebay. Mas Rizky dan Kak Anjani sudah lebih dahulu keluarga dari dalam mobil, namun Mita seakan masih enggan untuk menginjakkan kakinya di atas aspal kota tersebut.
"Mita, cepatlah turun!"
"Kakak mohon, jangan kebanyakan drama untuk kali ini saja. Jika kau lama, maka akan lama pula kita kembali ke rumah!" Kak Anjani secara tidak langsung mengancam Mita dan membuat gadis tersebut bergegas keluar mobil dengan terburu-buru.
"Nah begitu dong gadis pintar, jitu sekali caramu istriku," ucap Mas Rizky terkekeh. Mita memutar bola matanya malas, ia membereskan terlebih dahulu jilbab lebarnya yang berantakan lalu berjalan bersama kedua kakaknya.
***
"Mas Rizky," sapa seseorang. Mereka bertiga membalikkan tubuhnya dan memperhatikan lelaki tegap yang memanggilnya tadi. Merasa bingung membuat lelaki tersebut tersenyum simpul.
"Ini aku, Imam Hamdali. Anaknya Emak Juleha, aku sepupu kalian."
"Bukahkah lebih tepatnya, kau itu Om kami?" tanya Kak Anjani sarkas. Lelaki itu menggaruk kepalanya tak gatal dan terkekeh.
"Aku masih muda Anjani, jangan panggil aku Om, haha."
"Baiklah, ngapain kau kemari?"
"Main bola. Ya hadir acara halal bihalal, kau ini segala tanya," jawabnya kesal. Kak Anjani melirik suaminya dan mereka saling tatap seakan menyampaikan sesuatu satu sama lainnya. Berbeda dengan Mita, ia memperhatikan lelaki tegap tersebut dari atas hingga bawah dan merasa asing sekali. Pasalnya, Mita merasa tak pernah bertemu dengan lelaki itu.
"Eh, gadis kecil ini pasti Mita, ya?"
"Mohon maaf, tapi aku bukan gadis kecil, Om!" pekiknya.
"Masya Allah manisnya jika marah seperti itu, haha."
"Sudah sudah, ayo kita jalan. Sudah terlambat sepertinya," ajak Mas Rizky menggandeng dan menggenggam tangan istrinya. Kak Anjani menarik lengan Mita dan menggenggamnya, Ali mensejajarkan langkahnya dengan mereka. Mereka datang berempat sekarang.
Di dalam lubuk hatinya Kak Anjani yang paling dalam, ia mulai berpikir dan menerka-nerka apakah ini maksud dari kata-kata ayah ada hikmah di balik acara ini? Apa sebenarnya niat terselubung ayah? Aneh sekali.
Mereka mengikuti acara hingga selesai, dan akan segera kembali ke rumah. Namun dicegah oleh Ali, sebenarnya Kak Anjani merasa heran mengapa lelaki itu bisa berubah, karena menurut sepengetahuannya Ali itu orang yang sangat cuek dan juga bodo amat terhadap sesuatu.
"Mampir dulu ke rumah, bagaimana?"
"Bagaimana ya, aku sih terserah para wanita saja."
"Gimana, Dik?" tanya Kak Anjani. Mita terlihat berpikir sesaat.
"Mohon maaf, Om. Bukan bermaksud tidak ingin bersilaturahmi, tetapi hari sudah sore dan juga Kak Anjani sedang hamil besar. Aku tak ingin maghrib dan malam di jalan, jadi mampirnya lain kali saja. Kasian Kak Anjani kalau terlalu lelah," jelas Mita lembut, agar tak menyakiti hati Ali.
"Baiklah jika seperti itu, semoga lain kali bisa mampir ya." Mereka mengangguk, Mita dan Kak Anjani segera masuk ke dalam mobil dan Mas Rizky masih terlibat obrolan dengan lelaki itu. Setelah selesai, Mas Rizky segera masuk ke dalam mobil dan memacu mobilnya dengan kecepatan sedang agar segera sampai di rumah sebelum maghrib.
Selama perjalanan tidak banyak yang mereka obrolkan, hanya beberapa obrolan ringan dan juga rasa penasaran Mita yang entah mengapa ingin menanyakan siapa Ali sebenarnya. Kak Anjani hanya menjelaskan secara garis besarnya saja, bahwa Ali itu jika masuk dalam silsilah adalah Om mereka. Sebab, dulu Almarhum kakek mereka menikah dengan neneknya Ali yang ternyata janda beranak satu. Mita menganggukan kepalanya tanda ia memahami obrolan tersebut. Lalu ia menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata, berusaha untuk tidur dengan damai.
***