Ali pov
Dalam beberapa bulan ini aku berkenalan dan semakin dekat dengan Aurora Sasmita, gadis kecil dan dia adalah adik sepupuku. Kami berdua menjadi saudara tiri karena sebuah silsilah yang mengharuskan itu. Sebelum bertemu dengannya, kedua orang tua kami seperti mempunyai rencana untuk menjodohkan kami, sungguh aku tak pernah suka dengan yang namanya perjodohan. Namun, aku dipaksa untuk suka karena sebuah ambisi dari Emak yang menginginkan Mita dan hartanya tidak jatuh pada orang lain.
Awalnya, aku bingung dan menolak perjodohan ini tetapi Emak menjelaskan bahwa jika aku menikah dengan Mita, maka kekayaan gadis itu akan jatuh padaku. Aku tak tau harus bagaimana dan juga tak tau harus menjawab apa atas paksaan yang Emak berikan. Sebab, aku sendiri sudah mempunyai kekasih yang memang niatnya akan aku nikahi. Kami bertemu baru dua kali dan rencananya pertemuan ketiga akan membawanya ke hadapan Emak, namun keadaan sekarang berbalik. Belum juga aku mengenali kekasihku pada Emak, sudah diminta menikahi gadis yang lain.
Emak hanya meminta hal yang menurutnya sepele, namun menurutku sangat berat sekali, pasalnya aku harus berpisah dengan kekasihku dan kedatangan Mita kelak itu adalah faktor terbesar aku dan kekasihku berpisah. Mulai dari awal pertemuan dalam acara halal bihalal itu, aku membencinya fan berjanji dalam hati bahwa aku akan membuat hidupnya menderita, perlahan tapi pasti ia akan mati karena kehidupannya sudah aku rebut dan genggam untuk sebuah kehancuran yang luar biasa.
Aku paling tak suka dengan drama, tapi kali ini harus bisa menjalani sebuah drama mendekati dan mengambil hati seorang gadis kecil yang jauh dari kata cantik dan seksi. Namun, lagi-lagi karena sebuah permintaan dari orang tua yang tak bisa kutolak, maka aku harus bisa bermain drama ini. Mendekati gadis kecil itu sungguh sangatlah susah, segala cara sudah kulakukan untuk menerobos masuk ke dalam kehidupannya namun seperti ada tembok besar yang dipasang agar tidak ada satupun lelaki yang bisa masuk meluluhkan hatinya.
Aku tidak tinggal diam dan merasa harus meluluh lantahkan hatinya agar mau dan bisa menerimaku masuk ke dalam kehidupannya dan kesehariannya. Kuterus memberikannya perhatian, dan terus mencoba mencairkan suasana tegang tiap kali menelponnya, pasalnya gadis itu selalu ketus tiap kali menjawab teleponku. Namanya batu karang, semakin disiram terus-menerus pecah juga, begitu juga dengan gadis kecil itu. Semakin diberi perhatian yang berlebih semakin ia luluh padaku.
Kali ini, aku mencoba menghubunginya kembali untuk mengutarakan maksud dan tujuanku menikahinya. Seakan tak ingin berlama-lama drama lagi, harus segera kulancarkan aksi untuk menikahinya agar lebih cepat aku membuatnya menderita secara perlahan. Perlahan kuberi ia perhatian, dan perlahan kumatikan hatinya untuk sebuah kehidupan yang baik nan bersinar, tak akan pernah ada kebahagiaan yang didapatkan selama hidup bersamaku. Itu adalah janjiku, janji Imam Hamdali.
Mita, tunggu aku masuk ke dalam kehidupanmu, keseharianmu dan duniamu maka akan aku hancurkan perlahan semua rasamu, kehidupanmu, keseharianmu dan duniamu yang penuh dengan kebahagiaan menjadi derita seumur hidup. Bersiap-siaplah untuk menerima lelaki yang akan membuatmu menderita bukan bahagia, membuatmu susah bukan senang, membuatmu mati bukan hidup dalam sebuah kebahagiaan.
Dendamku padamu dalam waktu dekat akan terbalaskan. Ini semua karenamu, karena kekayaanmu yang membuat Emak lupa, dan ini semua karena baktiku padanya maka akan kuturuti semua keinginannya termasuk menikahimu dan menguasai semua harta yang kau dan keluargamu miliki.
Datangnya dirimu ke kehidupan Emak justru membuatku tak bisa bersama Sinta-kekasihku-, jika Sinta tak bisa bersamaku maka kau juga tidak akan bisa bersamaku dengan sebuah kebahagiaan. Tunggu aku masuk dan menghancurkan apa yang kau punya!!
***
Beberapa minggu setelah kegalauan melanda kemarin, Mita mulai tenang dan tau kemana arah ia melangkah. Perlahan namun pasti ia mencoba selalu tenang dalam menghadapi hal apapun itu termasuk berkomunikasi dengan Ali. Sekarang, pikirannya kacau bukan karena lelaki itu lagi melainkan memikirkan kesehatan ayahnya yang semakin hari semakin menurun. Ia takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada sang ayah.
Weekend kali ini, Mita hanya berdiam diri dirumah. Menikmati waktu liburan dengan bermalas-malasan, ia baru saja kembali dari kamar sang ayah. Mita melihat kondisi ayah dan memijatnya. Ia membuka jendela kamar agar udara pagi hari ini masuk memberikan kesejukan. Tiba-tiba ponselnya berdering, dengan langkah gontai ia menuju ranjang dan mengambil ponsel di atas nakas sebelah ranjang tersebut.
Ali, ada apa ya? Menelpon sepagi ini? Kenapa dia ini kalau menelpon selalu tidak tepat waktu. Kadang maghrib, kadang malam terlalu malam dan pagi terlalu pagi. Heran, manusia terbuat dari apa dia ini, omel Mita pagi hari.
"Assalamualaikum gadis kecil, kenapa lama sekali angkat telponnya?"
"Waalaikumsalam, ada apa memangnya?"
"Coba sedikit saja kau ini berbicara yang lembut padaku, apakah susah melakukan itu? Selalu saja jutek."
"Memang apa untungnya buatku bersikap baik, manis dan lembut padamu?"
"Keuntungannya adalah kau akan semakin cantik dan manis jika bersikap seperti itu."
Blushhh
Pipi Mita dalam sekejap menjadi merah merona seperti tomat. Ia merasa malu sekali dipuji seperti itu oleh lelaki yang menurutnya sangat menyebalkan.
"Gadis kecil, hey! Apakah kau masih mendengarku?"
"Hm … iya masih. Maaf tadi suaramu tiba-tiba menghilang, Om."
"Masya Allah sudah berapa kali aku bilang? Berhenti memanggilku dengan sebutan Om, karena aku ini bukan Om mu!"
"Ah sudahlah! Malas berdebat denganmu, Om! Ada apa menelponku sepagi ini?"
"Ya sudahlah terserah dirimu ingin memanggilku apa. Aku hanya ingin mengetahui kabarmu saja pagi ini, memang enggak boleh?"
"Oh begitu. Kabarku pagi ini baik-baik saja sebelum menerima telepon darimu, tetapi setelah menerima telepon darimu membuat moodku hancur."
"Kau, selalu saja seperti itu, Mita."
"Mita, aku mau bicara serius," ucapnya tiba-tiba. Entah mengapa jantung Mita seperti berpacu lebih cepat dari biasanya.
Tidak seperti biasanya sikap Ali saat ini, biasanya selalu membully dan juga mengusili Mita namun kali ini mengapa suaranya begitu lembut, tenang bahkan penuh maksud. Mita masih diam belum membuka suaranya, ia masih sibuk dengan pikiran dan hatinya sendiri.
"Gadis kecil! Apakah kau masih disana? Mengapa hanya diam saja! Aku sedang bicara! Sangat tidak sopan sekali membuatku menunggumu menjawab obrolanku."
"Eh? Iya Maaf. Ada apa? Mau bicara serius mengenai apa?"
"Gadis kecil, maukah kau menikah denganku? Menjadi istri dan ibu dari anak-anakku? Hidup bersama denganku hingga maut memisahkan kita?"
"Apaaa??? Jangan bercanda, Om!" pekik Mita tak menyangka dengan permintaan lelaki yang berada di seberangnya itu.
"Sungguh, aku tidak bercanda gadis kecil. Aku sungguh-sungguh ingin menikahimu dari lubuk hatiku yang paling dalam."
"Aku tak bisa ambil kesimpulan sekarang."
"Baiklah, tak apa. Kapan kau akan memberikan aku jawaban?"
"Nanti, setelah aku mendapatkan jawaban dari keyakinanku. Beri aku waktu, dan aku akan mengadu dulu pada Gusti Allah, apakah kau pantas menjadi Imamku sekaligus suamiku untuk di masa depan."
"Baiklah. Aku akan menunggu hingga kau yakin dan berkata IYA AKU BERSEDIA MENJADI ISTRI DARI SEORANG IMAM HAMDALI."
"Kalau begitu, aku tutup dulu teleponnya, nanti kita sambung lagi. Wasalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
***
Mita pov
Kondisi ayah semakin hari semakin buruk, penyakit tua yang menyerang dirinya berhasil membuatku takut akan sebuah kehilangan. Tubuhnya yang mulai habis sangat membuat hatiku meringis, tawanya semakin hari semakin pudar, senyumnya semakin hari semakin mulai tak terlihat, matanya semakin hari semakin celong. Namun, kupaham sekali ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja dan sehat walaupun keadaannya justru sebaliknya.
Lelaki pertama yang sangat kusayang dan cinta, lelaki yang selalu tahu apa mauku, lelaki yang selalu tersenyum lembut saat menyambutku, lelaki yang selalu menginginkan anak-anaknya bahagia. Jika boleh, maka aku akan meminta pada Gusti Allah untuk menggantikan sakit yang dirasakan oleh ayah.
Saat kusentuh kaki keriputnya yang sudah mulai terlihat tulangnya, desiran darah mengalir sangat deras di dadaku. Rasa sesak di d**a seakan tak ingin melihat keadaan menyakitkan ini, sebisa mungkin dan sekuat hati menahan diri agar tidak terlihat sedih dan menangis. Kutanamkan keyakinan pada diri bahwa ayah pasti akan sembuh. Aku harus selalu terlihat tenang dan bahagia di hadapannya agar ia yakin, bahwa anaknya ini sudah besar.
Mengapa aku lebih memilih untuk menggantikan sakitnya? Sebab, lebih baik aku sakit tetapi masih bisa melihatnya bahagia, tersenyum dan senang hati maksimal merawatku daripada melihatnya sakit namun aku belum bisa maksimal dalam merawatnya. Tetapi, aku akan terus berusaha untuk merawatnya dengan semaksimal mungkin.
Dalam anganku, ingin sekali melihat kedua orang tua tetap sehat hingga nanti saatnya tiba aku menikah dan melahirkan mempunyai anak. Senyum indah mereka pasti akan lebih terlihat bahagia saat melihat cucu-cucu mereka sehat dan lahir dengan selamat. Semoga, anganku bisa terlaksana dengan berjalannya waktu.
Kuseka bulir kristal yang sejak tadi terus-menerus menetes membayangkan kondisi ayah di kamar. Kuhirup dalam-dalam udara segar yang masuk dengan bebas melalui jendela balkon yang sudah kubuka. Merentangkan kedua tanganku dan menengadahkan kepala ke atas, berusaha melepaskan beban yang menyesakkan d**a walaupun hanya sementara.
Sedang asik menghirup udara segar pagi hari, tiba-tiba ponselku berdering. Kubergegas masuk ke dalam dan penasaran siapakah yang menelepon sepagi ini. Ternyata itu adalah telepon dari lelaki menyebalkan bernama Ali. Kujawab telepon darinya cukup lama hingga ia mengutarakan maksudnya menelepon. Betapa terkejutnya diriku sangat mendengar maksud dan tujuannya, ia hendak menikahi diriku. Kuanggap ucapannya hanyalah candaan semata, namun ia berusaha menyakinkanku bahwa apa yang ia lontarkan itu benar-benar keinginannya.
Kutak langsung menjawab permintaannya, kumeminta waktu untuk berpikir dan menyakinkan diri bahwa ia pantas menjadi Imamku, suamiku dan ayah dari anak-anakku kelak. Kutak ingin salah memilih dalam kehidupan di masa depan, sudah terlalu banyak contoh nyata yang tidak bahagia dan aku menghindari semua itu. Memang jodoh tidak ada yang tau, namun tidak ada salahnya bukan jika meminta waktu untuk berpikir dan menyakinkan diri. Kali ini, Gusti Allah benar-benar sangat berperan penting karena keyakinanku dihadirkan oleh ridhonya Gusti Allah.
Awalnya, ia mempertanyakan berapa lama harus menungguku yakin terhadapnya, namun setelah kujelaskan akhirnya ia mengerti dan setuju memberi waktu untukku berpikir. Dan akhirnya, ia menyudahi obrolan di telepon. Kutarik nafas dalam-dalam, dan merasa gundah gulana lagi, bingung harus melakukan apa dan bagaimana. Memang, jalan akhir adalah meminta petunjuk dari Gusti Allah agar tidak salah jalan.