Menjelang malam, Mita benar-benar terlihat semakin lesu. Tubuhnya merasakan lelah yang sangat luar biasa, tulang-belulang seakan lepas dari tempatnya, kepalanya pusing dan payudaranya merasa sakit sekali. Ia mulai berpikir mungkin ini karena ulah Ali yang sudah menerjangnya berkali-kali. Mita memijat pelipisnya berharap rasa pusing itu hilang, ia ingin kembali merebahkan tubuhnya namun teringat belum memberi makan suami. Ia bangkit dan berjalan ke arah pintu penghubung antara rumahnya dan paviliun. Ia mengambil beberapa makanan yang memang sudah disediakan oleh Mbok lalu membawanya dan diberikan pada suaminya.
Mita merasa lapar namun nafsu makannya entah mengapa mendadak hilang dan lebih memilih untuk merebahkan tubuh kembali.
"Dik, kamu enggak makan?" tanyanya saat melihat Mita terbaring, ia menatap aneh suaminya tumben sekali menanyakan hal yang selama ini tidak pernah ditanyakan.
"Malah diam saja! Apa kamu enggak makan?"
"Enggak Mas, entar saja."
"Kenapa?"
"Enggak pa-pa, sedang tidak nafsu makan."
"Oh begitu, yasudah. Kalau sakit tanggung sendiri dan jangan merepotkan, Mas! Mas tak suka direpotin olehmu apalagi harus mengurusmu dalam keadaan sakit karena seharusnya kamulah yang mengurus Mas!" bentaknya. Mita tak memperdulikanya, ia memejamkan matanya dan mulai tertidur kembali.
Tengah malam Mita terbangun dan merasa lapar, ia melihat meja ternyata masih ada makanan yang disimpan oleh Ali. Ia memandang heran karena tumben sekali suaminya itu bersikap agak manis. Mita beranjak ke kamar mandi, mengambil air wudhu terlebih dahulu, karena ia belum sholat isya. Menggelar kembali sajadah indah yang menjadi saksi di setiap keluh kesah yang dirasakan olehnya, menjadi saksi semua curahan hatinya, menjadi saksi setiap tetes demi tetes bulir kristal yang jatuh membasahi pipinya.
Ia kembali mengadukan apa yang dirasakan olehnya selama ini, dia menangis dalam diam, namun hatinya terus-menerus mengadu. Bulir kristal satu persatu jatuh membasahi pipinya, semakin deras dan semakin basah pipi merah itu dengan air mata. Ia segera menyelesaikan doanya dan menyeka air matanya, khawatir Ali bangun dan melihatnya menangis. Mita sungguh tak ingin terlihat menangis dan lemah di hadapan lelaki itu, ia akan selalu mengangkat kepalanya dan menarik bibirnya untuk tersenyum.
Ia melanjutkan untuk makan dan segera menyelesaikannya untuk kembali tidur kembali. Tertidur dengan lelapnya hingga subuh tiba-tiba tubuhnya merasa berat sekali, ia terbangun dan mengerjapkan matanya berkali-kali. Betapa terkejutnya ia melihat suaminya saat ini sudah berada diatasnya dan siap menerjang, Mita ingin sekali menolak tapi ia tak kuasa dan tak punya tenaga untuk menolaknya sebab tubuh mungilnya merasa terlalu sangat lelah sekali.
Ali melakukannya lagi berkali-kali, bahkan Mita seakan tidak dapat kesempatan untuk beristirahat. Ali terus menerjang dan menyemprotkan lahar panas berkali-kali di dalam tubuh inti Mita. Wanita mungil itu sudah meminta untuk beristirahat sejenak, namun ditolak. Menurut lelaki itu, serangan fajar lebih menggairahkan daripada malam hari sebab tak lelah dan malas memandang lebih lama istrinya yang masih dalam keadaan flat dan belum montok. Mita memang sering kali merindukan belaian dari Ali sebab ada candu tersendiri di dalam belaiannya tersebut. Penyatuan beberapa kali dalam tiga bulan ini membuatnya candu ingin terus merasakan melayang di udara. Walaupun hingga saat ini Mita belum pernah merasakan sampai pada puncaknya.
Ali hanya memikirkan diri sendiri, ia lebih sering memilih untuk sampai puncak sendirian tanpa bersama-sama setelah itu ia pasti langsung memilih untuk tertidur lebih dulu dan meninggalkan Mita dengan nanggung. Tapi entah mengapa walaupun selalu diperlakukan seperti itu Mita dengan senang hati menerimanya sebab ia merasa sangat kecanduan dan selalu ingin menikmatinya kembali. Terkadang, saat Mita yang meminta terlebih dahulu tidak pernah direspon dan terkesan seperti wanita gatal, padahal jelas meminta pada suaminya, jadi ya mau tidak mau menunggu sampai suaminya yang meminta.
Siang harinya, saat ia berjalan melewati sebuah kalender yang bersandar dengan santainya di dinding tembok mulai menghentikan langkahnya. Lalu ia mulai melihat kalender dan mengingat jadwal datang bulannya. Ia mengingat sudah dua bulan sepertinya belum datang bulan dan bahkan sampai Ali datang belum juga datang bulan. Ia merasa aneh namun ragu, mulai berpikir apakah hamil? Masih belum ada keyakinan dalam dirinya. Lalu ia berinisiatif untuk pergi ke apotik dan membeli tespek. Walaupun takut, ragu dan malu saat membelinya, meyakinkan hati harus berani beli. Ia langsung membeli dua agar mendapatkan jawaban yang pasti.
Satu hari itu tidak ada kejadian ataupun apapun drama yang dilakukan oleh Ali. Keesokan harinya setelah mandi Mita langsung mencoba untuk tes di tespek yang kemarin ia beli. Ragu, deg-degan dan banyak lagi rasa yang mendera hatinya, tangannya bergetar menunggu hasil yang muncul. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat dua garis merah tegas banget di alat tersebut. Ia membelalakan mata tak percaya dengan hasil tersebut, rasa syukur tak henti-hentinya terucap dari bibir mungilnya itu. Ia langsung keluar kamar mandi dan menghampiri Ali untuk memberitahu kabar bahagia itu.
"Mas," panggil Mita.
"Kenapa?"
"Mas, coba lihat ini," ucapnya memberikan hasil tespek tersebut. Ali menaikan satu alis dan dengan raut wajah yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Mita melihatnya sungguh bingung dan heran, sebab raut wajah suaminya seakan tak ada kebahagiaan di dalamnya.
"Hamil?" Mita mengangguk cepat, seulas senyum tertarik indah dari bibirnya.
"Oh selamat ya, kamu mau punya anak," ucapnya datar. Mita melongo tak percaya dengan respon dari suaminya yang sangat datar seakan ini adalah anak hanya anak Mita sendiri.
Mita diam, tubuhnya mendadak lemas dan lemah. Ia terdiam kaku, tubuhnya menegang dan lidahnya terasa kelu. Ia menunduk, pandangannya mendadak berbayang, bulir kristal seakan memenuhi kelopak matanya namun semaksimal mungkin ia tahan agar tak jatuh membasahi pipi. Ia mulai berpikir mengapa suaminya berbicara seperti itu, seakan-akan anak yang di dalam kandungannya hanya anaknya saja dan respon yang ditunjukkan oleh suaminya seperti memberikan selamat pada orang lain bukan istrinya.
Lagi-lagi dan untuk yang kesekian kalinya lagi hatinya hancur mendengar perkataan yang terlontar dari bibirnya. Entah mengapa Mita merasa semakin sensitif karena ia sedang mengandung atau suaminya yang memang mengatakan sesuatu yang salah dan bersikap biasa saja. Mita berpikir suaminya akan sangat bahagia saat mengetahui dirinya saat ini sedang hamil. Mita beranjak masuk ke dalam kamar, dia menatap atap kamar dalam diam, menahan bulir kristal agar tak jatuh membasahi pipinya.
Mas, kenapa kau bersikap seperti itu? Apa kau tak merasa bahagia dengan kehamilanku? Apa kau tak ingin punya anak yang lahir dari rahimku? Mengapa responmu sungguh menyakitkan seakan anak ini hanyalah anakku dan bukan anak kita berdua.
Nak, apa kau tak diinginkan oleh ayahmu? Jika memang kau benar-benar sungguh tak diinginkan olehnya, bolehkah ibu menggugurkanmu, Nak? Apa kau tak akan menangis jika Ibu bunuh? Nak, tapi ibu tak ingin menjadi pembunuh. Ibu harus bagaimana? Bingung sekali.
Apakah Mas Ali belum siap untuk mempunyai anak? Atau memang benar-benar tak ingin mempunyai anak karena tak ada kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. Sorot matanya pun tak menunjukkan kebahagiaan, sorot matanya seakan mengejek kehamilanku ini.
Nak, jika Ibu tetap mempertahankanmu takut ayahmu tak menerimanya, Nak. Takut ia merasa tak bahagia dengan kehadiranmu dan takut menganggapmu menjadi sebuah beban untuknya. Dan lagi, ibu takut kita berdua menjadi bahan siksaan dia, Nak.
Nak, jika kau lahir ke dunia ini, apa mungkin ayahmu akan menyayangi dan mencintaimu, Nak? Karena, hingga saat ini saja ayahmu tidak menyayangi dan mencintai ibu dengan tulus. Mungkin, ia terpaksa hidup bersama kita, Nak.
Begitu banyak pikiran yang berkecamuk di otak Mita membuatnya merasakan pusing yang sangat luar biasa. Ia ingin berkata namun mulutnya seakan terkunci setiap kali ada Ali di sampingnya, mulutnya ingin sekali protes dan mencurahkan semua apa yang dirasakan namun terasa sangat kelu, mulutnya seakan ingin memberitahu bahwa apa yang dilakukan Ali selama ini padanya itu benar-benar sudah sangat salah dan seenaknya namun lagi-lagi ia hanya bisa diam karena takut dosa sudah melawan ucapan suami.
Mita merasa lebih baik Ali tak pulang menemuinya karena pasti akan merasakan sakit hati kembali karena sebuah ucapan yang menyakitkan. Tetapi, jika suaminya tak pulang ada rindu ingin bertemu yang mendera hatinya dan memintanya untuk bertemu. Namun, setiap kali suaminya pulang maka Mita akan menjadi pribadi yang beda bahkan kesannya seperti orang lain. Ia menjadi wanita yang lebih diam dari biasanya agar tidak ada kata-kata yang terlontar dari bibir Ali yang akan menyakiti hatinya, walaupun Mita sudah berusaha menjadi yang terbaik di matanya tetapi tetap saja tidak menjadi baik dalam pikirannya.
***
"Mas, mumpung masih dirumah, bolehkah aku minta tolong?"
"Minta tolong apa? Jangan yang ribet-ribet!"
"Bolehkah aku minta antar ke bidan untuk memeriksakan kehamilanku ini?"
"Ah, aku sibuk Mita. Jadwal mengajarku sudah sangat padat sekali, barusan aku di telpon oleh Kepala Sekolah untuk kembali ke Bogor secepatnya. Dan sekarang ini aku akan bersiap-siap. Seharusnya kau itu menyiapkan semua keperluan suami untuk pergi mengajar! Bukannya malah manja minta antar ke bidan!"
"Tapi Mas--"
"Enggak ada tapi-tapian Mita! Sekarang, kau bantu aku berkemas untuk kembali ke Bogor dan pergilah sendiri ke Bidan untuk memeriksakan anakmu itu!"
"Anakku? Mas ini bukan hanya anakku! Tapi anakmu juga!" ucap Mita lantang. Entah mengapa ia merasa muak dengan mata anakmu seakan itu hanya anak Mita seorang.
"Plakk!!! Berani sekali kau meninggikan suaramu di hadapanku! Aku ini suamimu! Tidak layak kau meninggikan suaramu seperti itu! Istri tidak patuh!" bentaknya menampar pipi Mita.
Mita terkejut dengan perlakuan suaminya itu, ia menahan rasa sakit di pipinya dan menahan diri untuk tidak menjawab ucapannya sebab Mita paham betul pasti akan ada tamparan selanjutnya jika ia berbicara. Mita menahan sesak di d**a dan berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis walaupun rasanya ingin menjerit menangis dan berteriak sepuasnya. Ia mulai membantu suaminya berkemas tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Setelah selesai berkemas, Mita mengantarnya sampai stasiun. Di salah satu supermarket kecil di sekitaran stasiun, Ali masuk dan membeli sesuatu.
Jam keberangkatan keretanya sudah mulai diumumkan, ia masih memberi uang seratus ribu rupiah dan masih dengan ucapan cukup tidak cukup harus cukup dan harus bisa mencukupi kebutuhan hidup Mita. Lalu memberikan bungkusan yang tadi dibelinya, Mita membuka bungkusan tersebut dan melihat ada s**u kental manis beberapa renteng. Mita menaikan alisnya, bingung dan heran untuk apa s**u tersebut.
"Untuk apa ini, Mas?"
"Itu s**u bisa kau konsumsi setiap hari saat hamil."
"Kok? Kenapa s**u kental manis, Mas? Kenapa bukan s**u untuk ibu hamil?"
"Sudahlah minum saja s**u itu! Lagi pula, s**u ibu hamil itu hanya akal-akalan dokter saja. Mereka bekerja sama dengan pabrik s**u agar bisa bagi hamil. Sudahlah tak usah banyak protes, lagi pula di dalam bungkusan itu ada madu dan madu lebih baik untuk ibu hamil dari pada s**u ibu hamil." Mita mengangguk patuh walaupun dalam pikirannya mulai menerka-nerka, masa iya pabrik s**u kerjasama dengan dokter untuk bagi hasil, sangat tidak masuk akal sekali cara Ali membohongi Mita. Tapi Mita hanya diam saja daripada ia mendapatkan perlakuan yang tidak baik di tempat umum.
"Dan jangan lupa, kau minum s**u itu hanya satu sachet dalam sehari! Jangan kebanyakan! Nanti cepat habis dan tidak baik untuk anakmu!" Mita membelalakan matanya, sudah hanya diberi s**u kental manis dan hanya boleh di minumnya sehari satu. Suaminya itu punya otak tidak sebenarnya. Namun lagi-lagi Mita hanya mengangguk patuh saja. Ia sudah malas dan tak ingin berdebat dengan Ali.
Akhirnya Ali pergi dan Mita kembali ke rumah dengan perasaan yang campur aduk. Ada rasa sakit yang perlahan pudar karena Ali sudah pergi, ada rasa rindu karena harus berjauhan kembali dengan suami, dan ada rasa yang tak bisa dijelaskan kata-kata karena kehamilannya itu. Ia melajukan sepeda motornya dengan perasaan tak menentu dan terlalu banyak melamun sehingga beberapa kali mendapatkan teguran dari pengendara lainnya.
***