Kemesraan Ini Janganlah Cepat Berlalu

1383 Kata
Bunda memberikan kabar baik tersebut pada Ayah, betapa bahagianya beliau mendengar kabar baik tersebut. Dan berharap agar Ali segera menemui keluarganya untuk meminang. Beliau merasa sudah sakit-sakitan, takut jika nanti tak sempat melihat anaknya menikah. Keinginan terbesarnya adalah bisa menikahkan anak bungsunya maka setelah itu tugasnya selesai dan jika memang sudah diharuskan pergi selamanya dengan cepat maka beliau bisa pergi dengan tenang. "Kira-kira kapan Ali akan kesini, Bun?" "Bunda belum tau, Ayah. Tapi, tadi katanya secepatnya akan segera ke rumah, Ali ambil cuti dulu, begitu katanya." "Mudah-mudahan secepatnya ya, Bun." "Memang kenapa, Yah?" "Ayah takut tidak bisa mendampingi Adik Mita di saat pernikahannya." "Ayah, kenapa bicara seperti itu?" ucap Bunda parau. "Bun, lihatlah kondisi Ayah sekarang. Ayah sudah sakit-sakitan dan takut tak sempat melihat Adik menikah." "Ayah tuh sehat dan baik-baik saja. Ayah pasti bisa menjadi wali dan melihat Adik Mita menikah. Ayah yang tenang, semua akan baik-baik saja. Ada Gusti Allah yang akan membuat Ayah sehat kembali, semangat." "Aamiin, mudah-mudahan Ayah terus sehat dan bisa bersama kalian semua hingga cucu-cucu kita lahir ya, Bun." "Pasti Ayah. Sekarang, Ayah harus semangat dan rajin minum obat ya." Ayah mengangguk patuh. Saat ini, sepasang suami istri itu sedang membaringkan tubuhnya di atas ranjang dan matanya menatap atap dan lampu. Keduanya masih sibuk dengan pikiran masing-masing. Bunda merasa sangat takut jika harus kehilangan suaminya secepat itu, ia tak akan sanggup menjalani kehidupan sendiri tanpa suami yang ia cintai. Dan Ayah merasa hidupnya sudah tidak lama lagi karena penyakit yang tidak juga sembuh. Beliau hanya ingin melihat keluarganya bahagia dan tidak lebih dari itu. "Bun …." "Iya Ayah, kenapa?" "Ayah punya ketakutan paling besar," ucapnya parau. "Apa itu?" "Pergi meninggalkan kalian semua dalam waktu dekat." "Ayah, jangan pernah bicara seperti itu." "Biarkan Ayah bicara, Bun." "Ayah merasa kalau tubuh ini tak sanggup lagi untuk berdiri tegak lebih lama. Ayah merasa hidup tak lama lagi dan akan meninggalkan kalian semua. Jujur, Ayah tak sanggup jika harus meninggalkan kalian dalam waktu dekat, namun entah mengapa kesehatan seakan tak berpihak pada Ayah, Bun. Hari demi hari, minggu demi minggu dan bulan demi bulan, Ayah bukannya sembuh justru semakin parah." "Bun, jika nanti Ayah lebih dulu pergi meninggalkan kalian, titip kedua putri kita ya, Bun. Walaupun mereka sudah berkeluarga nantinya, tetap Ayah menitipkan mereka pada Bunda. Ayah yakin mereka aman jika bersama Bundanya. Bukan berarti Ayah tak percaya pada suami mereka, tetapi seseorang itu bisa saja berbuat kesalahan dan meninggalkan namun seorang Ibu tak akan mampu meninggalkan sekalipun anaknya banyak kesalahan." "Ayah titip Mita, Bun. Ingatkan dia untuk melanjutkan kuliahnya setelah menikah, jangan pernah putus kuliahnya. Ayah ingin nanti jika sudah pergi terlebih dahulu, melihat Adik Mita menjadi sarjana walaupun hanya melihat dari atas langit." "Ayah, kita jaga anak-anak bersama ya. Kita ingatkan kebaikan pada mereka bersama-sama, kita jaga anak bungsu kita juga bersama. Berdua bersama seperti awal dulu kita selalu menghadapi semuanya berdua." "Meninggalkan dan ditinggalkan itu pasti Ayah, tapi untuk saat ini sungguh Bunda belum sanggup dan belum mampu jika harus ditinggalkan oleh Ayah. Walaupun, sanggup tidak sanggup, mampu tidak mampu ya harus sanggup dan mampu. Tapi, apa bolehkah untuk saat ini kita membicarakan sesuatu yang bahagia saja dulu? Seperti rencana pernikahan anak bungsu kita akan dibuat seperti apa dan bagaimana, dalam beberapa waktu lebih baik kita kesampingkan pikiran negatif mengenai kehidupan dan diisi dengan sebuah pikiran positif." "Bunda betul, saat ini ada yang lebih penting yaitu rencana pernikahan Mita yang harus kita susun dengan sebaik mungkin dan selayak mungkin. Maafkan Ayah ya Bun, maaf karena sudah putus asa." "Jangan minta maaf suamiku, kau yang terbaik untukku dan kedua anak-anak kita. Mari berikan yang terbaik untuk mereka berdua." Ayah mengangguk dan mereka berdua mulai membicarakan mengenai pernikahan Mita yang akan dibuat seperti apa dan bagaimana konsepnya. Mengesampingkan sejenak keadaan yang membuat sedih dan menangis, lalu merubahnya menjadi sebuah keadaan yang positif. Bunda memang wanita yang sangat luar biasa. Beliau mempunyai 1001 cara untuk keluarganya bahagia. Walaupun di dalam hatinya memang ada sebuah ketakutan luar biasa jika harus kehilangan dan ditinggal oleh suaminya. Setelah puas membicarakan banyak hal, Ayah tertidur pulas karena lelah. Bunda memandang sendu wajah suaminya yang sudah mulai berkerut namun masih terlihat tampan. Bunda mulai menggerakan tangannya untuk membelai wajah dan rambut Ayah. Tanpa terasa ada bulir kristal yang menumpuk di pelupuk mata dan rasanya ingin sekali keluar. Suamiku, kau tau ketakutan luar biasa yang tertanam di hatiku? Aku takut kehilanganmu untuk selamanya. Sungguh, aku merasa belum mampu jika harus kehilanganmu. Dalam hidupku, tak pernah sedikitpun terbesit sebuah pikiran bahwa aku akan kehilanganmu untuk selamanya. Sebab, dalam hati dan pikiranku selalu kutanamkan bahwa kita akan hidup bersama, menua bersama dan melihat kebahagiaan anak-anak bersama cucu-cucu kita, gumamnya. Dalam hidup, meninggalkan dan ditinggalkan itu sudah pasti. Jika kita meninggalkan, maka tak pernah pusing lagi memikirkan mereka yang masih hidup dan rasanya sudah tenang. Namun, jika ditinggalkan itu artinya yang ditinggalkan harus bisa berdiri di kaki sendiri, dengan sekuat hati dan ketegaran hati yang luar biasa. Harus bisa selalu terlihat bahagia walaupun rasanya sakit, rasa sakit akan sebuah kehilangan itu sangatlah luar biasa. Suamiku, sungguh aku tak sanggup jika harus ditinggalkan olehmu. Izinkan aku untuk tetap bisa merawatmu hingga aku puas merawatmu. Ya Allah, tak banyak permintaanku, hanya meminta suamiku bisa bertahan hingga anaknya menikah. Permintaan yang cukup sederhana, namun dampaknya luar biasa untuk anakku, doanya menengadahkan kedua tangannya ke atas. Bunda menyeka bulir kristal yang terus-menerus turun membasahi pipinya, ia merasa tak sanggup menahan tangis. Dan tangisnya pun pecah, ia bangkit dari ranjang dan menyingkir agar tangis tergugunya tak terdengar oleh suami tercintanya. Beliau membuka balkon kamar, dan duduk di teras balkon memandang jauh ke depan. Menenangkan kembali hatinya yang rapuh dan harus dikuatkan kembali. Menanamkan semangat luar biasa dalam hatinya. *** Komunikasi Mita dan Ali mulai normal kembali setelah beberapa minggu yang lalu mereka komunikasinya terbatas karena memberikan waktu pada Mita untuk berpikir. Sudah satu bulan semenjak permintaan Ali di iyakan oleh Mita dan kedatangannya sangat ditunggu dirumah, namun belum juga kunjung datang. Ali selalu beralasan bahwa ia belum sempat atau belum bisa mengambil cuti mengingat akan mendekati semesteran dan liburan. Mita bingung harus menjawab apa setiap kali Ayah dan Bundanya menanyakan keseriusan Ali untuk datang meminang. Apakah lelaki itu benar-benar serius atau hanya bermain-main saja. Namun, Mita tetap meyakinkan dirinya bahwa Ali sungguh-sungguh atas ucapannya dan tidak ada niat untuk main-main. Bunda dan Ayah sekarang seakan sudah tak gencar lagi menanyakan perihal yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Sekarang mereka hanya fokus pada persalinan Kak Anjani sebab sebentar lagi akan melahirkan. Mita juga sudah mulai tidak terlalu memikirkan kapan Ali datang, ia sudah pasrahkan semuanya pada Gusti Allah. Mita tidak terlalu berharap sekarang, jadi ia hanya berpikir jika Ali datang mungkin mereka berjodoh namun jika Ali tak datang ya berarti mereka tidak berjodoh. Mita sudah cukup berharap hampir dua bulan namun belum juga ada kepastian. Ia merasa sudah tak akan lagi berharap pada manusia karena sudah pasti akan merasakan namanya kecewa tetapi sekarang berharap pada Gusti Allah yang inshaa Allah jauh dari kata kecewa. Sebab, Gusti Allah tau dan paham yang terbaik untuk hambanya. Mungkin menurut Mita, Ali adalah lelaki yang baik, namun mungkin menurut Gusti Allah, Ali bukan lelaki yang baik, bisa saja seperti itu bukan? Tiga bulan berlalu, persalinan Kak Anjani semakin dekat namun sakit Ayah semakin parah. Dua keadaan yang menerpa keluarga Sasongko membuat anggota keluarga tersebut bingung harus bahagia dan sedih. Tetapi, ayah mereka justru merasakan bahagia yang luar biasa karena akan bertemu dengan cucu pertamanya. Seulas senyum selalu terlihat di bibirnya dan raut wajahnya bahagia sekali. Senyum bahagia yang sudah jarang sekali terlihat karena sakit yang menggerogoti tubuhnya seringkali membuatnya meringis kesakitan dan senyuman itu berubah menjadi tangisan. Dalam seminggu atau dua minggu kedepan akan ada anggota baru di keluarga Sasongko seorang malaikat kecil yang sangat diharapkan oleh keluarga tersebut. Rona bahagia terlihat jelas dari sepasang suami istri itu, Kak Anjani terlihat sangat bahagia sekali begitu juga dengan Mas Rizky. Suatu saat nanti, aku akan sebahagia ini juga, ucap Mita dalam hati. Saat ini mereka semua sedang berkumpul di ruang keluarga, bercanda dan tertawa bersama. Mita sekarang lebih banyak menghabiskan waktunya bersama keluarga tercintanya. Bahagianya adalah bersama orang-orang tercinta dan terkasih. Ia mulai lupa akan kehadiran Ali di dalam hidupnya dalam beberapa bulan ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN