Malam yang Memabukkan

889 Kata
"Ugh!" Tubuh mereka saling terjerat di bawah sana, sama-sama terjebak dalam kabut mabuk. Rejandra Christian Daren menyatukan dirinya dengan seorang wanita asing, Arawinda Devya Jovanka, dalam kegelapan malam itu. Dengan keganasan yang mencekam, tubuh Devya terhentak keras oleh Daren, yang merasakan kenikmatan luar biasa dari setiap gerakan. "Oh my God! You look so amazing, Baby!" raung Daren, lelaki berusia dua puluh sembilan tahun, sambil terus menghentakkan tubuhnya dengan intensitas yang semakin memuncak. "Stop it! Ugh...," erang Devya, tubuhnya seperti disetrum oleh permainan liar yang dipaksakan oleh Daren. "Never stop, Baby. Kamu luar biasa. Aku ingin bermain lagi dan lagi denganmu, Sayang." Daren semakin menggila, dorongannya semakin kuat dan liar, mengabaikan erangan dan jeritan Devya. Satu jam berlalu, keduanya kelelahan, dan Daren pun menumpahkan seluruh hasratnya di bawah sana. Lalu ia terbaring tak sadarkan diri di samping Devya, keduanya masih dalam keadaan mabuk berat. Mereka tertidur pulas, tubuh mereka telanjang tanpa sehelai benang pun. Pagi harinya, jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Devya membuka matanya dengan perasaan pening dan tubuh yang terasa remuk. Dengan pelan, ia menoleh ke kanan dan kiri. “Aduh!” keluhnya sembari memegangi pundaknya yang terasa pegal. Tiba-tiba, tangan kekar menyentuh tubuhnya, membuat Devya tersentak kaget. “Aaaaaa!!” teriaknya saat melihat seorang lelaki asing tidur di sampingnya. “Siapa kamu?” teriaknya lagi, lalu menyadari tubuhnya yang tidak mengenakan apa pun. Cepat-cepat ia menarik selimut untuk menutupi dirinya. Daren membuka matanya dan mengucek pelan. “Heuh? Di mana ini?” tanyanya dengan suara serak. Ia menoleh ke samping dan mengerutkan kening. “Oh! Kamu yang disewa Anton buat nemenin saya di sini? Maaf, semalam saya mabuk dan belum kasih kamu tip.” “Hah? Gila kamu! Saya tidak pernah jual diri!” teriak Devya. Daren terkekeh pelan. “Kenapa, setelah saya pakai malah bicara seperti itu?” “Intinya kamu salah orang. Saya tidak pernah jual diri dan saya tidak berniat melakukan itu.” “Kalau begitu, kenapa kamu ada di sini, huh? Jangan mengelak lagi. Tunggu di sini, saya mau mandi dulu.” Daren beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi dengan langkah gontai, masih terpengaruh oleh sisa mabuk semalam. Devya menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan. "Nggak. Nggak mungkin. Aku nggak pernah berniat melakukan itu meskipun aku memang kesepian. Tapi, kenapa aku dan dia...?" Dia menatap tubuhnya yang telanjang, merasakan pegal akibat pergumulan semalam. Masih berusaha mencerna kejadian ini, dia bingung mengapa dia dan Daren ada di dalam satu kamar, telanjang bersama. "Haiissh! Semalam aku mabuk. Mana mungkin ingat kejadian itu," gumamnya pelan. Sepuluh menit kemudian, Daren keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya. "Berapa uang yang kamu butuhkan?" tanyanya sambil mengambil dompet di atas nakas. "Sudah saya bilang, saya bukan pelayan lelaki!" ucap Devya tegas. "Ini hanya kesalahpahaman. Mungkin kamu yang sudah menyeretku ke sini dan melakukan itu." Daren terkekeh pelan. "Jelas-jelas semalam saya sewa perempuan untuk melayani saya. Dan itu kamu. Kenapa kamu menyangkal seperti ini, hm?" "Karena saya tidak merasa jual diri. Saya punya pekerjaan yang lebih buat saya nyaman. Jadi, jangan pernah mengira saya pelayan laki-laki!" Daren menghela napas panjang. Dia kemudian menghubungi Anton, asistennya, untuk menanyakan tentang perempuan yang masih menyangkal bahwa dirinya adalah wanita panggilan. “Selamat pagi, Pak. Anda masih di kamar club?” tanya Anton melalui telepon. “Sepertinya iya. Wanita ini tidak mengaku kalau dia adalah wanita yang aku minta dari kamu, Anton.” “Hah? Kok bisa? Kamar nomor dua puluh, kan?” Daren menaikkan kedua alisnya, mengambil kunci pintu, dan melihat nomor yang tertera di sana. “Nomor sembilan belas, Anton. Kamu ini gimana sih! Terus, wanita yang ada di kamar ini siapa?” tanyanya sambil melirik ke arah Devya. “Waduh! Kurang tahu kalau begitu, Pak. Mungkin Anda salah masuk kamar. Sudah saya minta kan, ke Anda. Agar saya temani. Malah mau pergi sendiri.” “Ck!” Daren menutup panggilan tersebut, kemudian menoleh ke arah Devya yang masih duduk menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Daren mengatup bibirnya lalu meringis pelan. “Maafkan saya, karena sudah salah masuk kamar. Saya akan bertanggung jawab atas kejadian ini,” ucapnya dengan pelan, merasa bersalah. Devya menggelengkan kepala, kemudian beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri tanpa mengatakan apa pun kepada Daren. Sementara itu, Daren duduk di tepi tempat tidur, mengatup dagunya dengan kedua tangan. “Cantik,” gumamnya kemudian tersenyum tipis. “Dia mau nggak ya, dijadikan istri? Sepertinya cocok untuk kujadikan istri.” Tak lama kemudian, Devya keluar dengan pakaian lengkap yang ia pungut tadi sebelum masuk ke dalam kamar mandi. “Daren.” Lelaki itu mengenalkan dirinya kepada Devya. “So?” jawab Devya singkat. “Perkenalan diri. Nama kamu siapa?” tanyanya ingin tahu. “Kita nggak akan ketemu lagi dan sepertinya tidak perlu memberi tahu siapa nama saya. Hari ini saya ada acara grand opening di toko sahabat saya.” Devya kemudian mengambil tasnya dan pergi dari tempat itu tanpa memberi tahu namanya kepada Daren. Sebab, pertemuan itu cukup sampai di sana. “What? Dia... nggak tertarik sama sekali? Oh my God! Padahal sudah kuubek-ubek tubuhnya.” Daren tampak frustrasi. Ia kemudian mengusap wajahnya dengan pelan dan mengembuskan napas panjang. Sementara itu, di kediaman Devya, perempuan itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah tanpa rasa was-was sebab memang ia hanya tinggal seorang diri di sana. “Jam segini baru pulang!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN