Abel, Zaki dan Ridho masih bertahan di kantin. Mereka bercerita heboh, bahkan tidak tanggung-tanggung. Isi obrolan mereka tidak jauh-jauh dari skripsi. Ya beginilah nasib anak semester tua. Harap dimaklumkan.
Ponsel Abel tiba-tiba bergetar, awalnya ia tidak tertarik dan membiarkannya saja. Tetapi getaran itu datang berulang-ulang kali. Dengan kemalasan yang sampai di ubun-ubun, Abel mengambil ponselnya. Awas aja getaran itu berasal dari pesan operator atau bahkan pesan penipuan.
Mata Abel melotot, ternyata pesan itu dari dosen pembimbingnya. Abel mencuri-curi pandang pada orang yang berada di belakangnya. Tidak ada hal aneh, Edgar masih seperti awal Abel pertama kali melihat keberadaan. Berfokus pada laptop dan entah apa yang dikerjakannya.
Abel membuka pesan itu dengan bibir mengerucut. Sejak beberapa hari yang lalu, baru kali ini sang dosen menghubunginya. Wahhhh!!! Apakah Abel berharap untuk di hubungi? Oh no Abel langsung mengenyahkan pikiran tersebut. Abel harus tersadar, jangan sampai ia terbelenggu dalam lautan rasa yang hanya berujung pada kesakitan.
WhatsApp
Pak Edgar : Ke ruangan saya
Pak Edgar : Abel, ke ruangan saya sekarang
Pak Edgar : Abel
Abel : Maaf Pak, saya nggak niat bimbingan hari ini.
Pak Edgar : Kamu mau lama selesai?
Abel : Tidak Pak
Pak Edgar : Ke ruangan saya sekarang
Abel melihat ke belakang, ternyata dosennya sudah tidak ada lagi.
"Gue mau bimbingan dulu," ujar Abel tergesa-gesa. Zaki menatap bingung, padahal Abel mengatakan bahwa ia tidak mood untuk bimbingan hari ini. Dasar wanita, bisa berubah dalam sepersekian detik.
"Tadi nggak mood katanya," sindir Ridho.
"Mumpung si dosen baik, gue pergi dulu ya. Calon suami jangan lupa bayar, Makasih."
Abel langsung pergi meninggalkan Zaki yang menatapnya dengan malas. Calon suami, calon suami. Zaki sampai sakit telinga mendengar kata-kata gila dari teman-temannya itu. Zaki tahu hanya Diba yang waras dan normal, selebihnya aneh bin ajaib.
Abel Meninggalkan kedua temannya di kantin, ia harus berjuang menghadapi dosen pembimbingnya sendiri. Abel membuka kertas catatan yang sudah dibuat tentang optimasi yang akan di pakai pada penelitiannya. Sudah yakin, ia melihat penampilannya. Apakah sopan atau tidak? Oke semua masih sopan.
Ets, Abel melihat ke bawah. Ada yang tidak beres.
"Ya Allah, gue pake sendal," ringis Abel tertahan. Bisa-bisanya ia ke kampus memakai sandal begini. Abel baru ingat jika ia meninggalkan sepatu di ruangan kerjanya.
Ia kalut, waktu sudah mepet. Jika ia tidak jadi datang menemui sang dosen, Abel takut kedepannya ia akan susah untuk bimbingan. Kalau datang dengan penampilan sekarang pasti kena semprot lagi. Jujur saja Abel tidak mau cari masalah.
Abel langsung berlari secepat kilat ke kantin.
"Woi pinjem gue sepatu dulu," ujar Abel heboh. Zaki dan Ridho yang sibuk main game langsung kaget.
"Jantungan dah gue lama-lama Bel," sahut Zaki jengah. Kapan Abel bisa waras? Zaki menantikan hal itu agar hidupnya kembali normal.
"Sorry, pinjem sepatu!" ujar Abel sedikit memohon.
"Gila ya lo? Niat bimbingan kagak sih! Bisa-bisanya ke kampus pakai sandal jepit kek gitu, warna hijau lagi. Nggak ngerti dah gue Bel," omel Ridho menyerocos seperti mercun yang menyambar-nyambar.
Abel tidak perlu crocosan sang teman, ia hanya perlu meminjam sepatu karena situasi mendadak. Jika tidak mana mau Abel meminjam. Pasti sepatu mereka bau-bau semua karena kaos kaki dicuci hanya sekali seminggu atau bahkan sekali sebulan. Memikirkan hal itu membuat Abel ingin mual. Oke tenang Abel, ini situasi terpaksa. Ingat terpaksa.
"Ngomelnya ntar aja, buruan elahh pinjamin!"
Zaki langsung melepaskan sepatunya, tentu saja sepatu itu kebesaran untuk Abel.
"Macih calon suami, gue cabut dulu."
Abel kembali ke ruangan sang dosen dengan penampilan aneh. Siapapun yang melihatnya pasti tahu jika sepatu yang dipakai kebesaran. Abel mengetuk pintu dan mengucap salam dengan sopan. Seperti biasa, Bapak Edgar terhormat langsung menyuruhnya untuk masuk.
"Kenapa lama?" tanya Edgar langsung. Abel saja belum duduk. Ingat ya, dia belum duduk tapi sudah ditanya seperti itu.
"Saya duduk dulu ya Pak, baru habis makan nanti nasinya nggak mau turun!" balas Abel. Ia masih bisa mengontrol dirinya. Sekarang mereka adalah dosen dan mahasiswa, jadi Abel harus sopan tanpa menyinggung masalah pribadi. Wah!!! Abel bercerita seperti ada hal membahana saja yang terjadi antara keduanya. Sadar Abel, sadar.
"Kenapa tidak menghubungi saya dulu kalau mau bimbingan?" tanya Edgar dengan wajah datar. Abel sudah merasakan aura aneh di sekelilingnya. Ia harus menyiapkan diri. Oke Abel hadapi dengan santai.
Abel mencoba mengangkat kedua ujung bibirnya ke atas, "Saya tidak punya alasan untuk itu Pak."
"Kamu niat bimbingan atau tidak?"
"Niat Pak!" sahut Abel langsung. Semua orang tahu kalau ia sudah sangat niat untuk menyelesaikan skripsinya. Ralat, oke Abel ralat tidak semua orang.
"Kalau mau bimbingan hubungi saya. Tanya saya dulu ada waktu atau tidak. Jika hari ini saya tidak ada di kampus, atau sudah pulang bagaimana?"
Abel terdiam, benar juga apa yang dikatakan oleh dosen di depannya ini.
"Baik Pak, saya mengerti. Kedepannya sebelum bimbingan saya akan menghubungi Bapak dulu," balas Abel pasrah.
"Saya minta maaf Pak," lanjut Abel lagi.
Terdengar helaan nafas, Abel memilih untuk diam. Membiarkan sang dosen memberikan instruksi atau wejangan selanjutnya.
"Sudah berapa persen pemahaman kamu terhadap optimasi?" tanya sang dosen. Abel mengingat-ingat, perasaan ia sudah cukup paham. Tetapi tunggu dulu, Abel mencoba menyusun kembali pemahaman tentang optimasi di kepalanya. Wajar jika manusia lupa, apalagi mahasiswa tua begini. Ya itu hanya alasan klasik yang Abel buat.
"Sudah lebih dari 70 persen Pak, tinggal saya pahami untuk di codingannya nanti," jawab Abel mantap.
Sang dosen memain-mainkan pulpen di tangannya, terlihat lihai sama seperti ia memainkan hati dan pikiran Abel. Azik, ets tunggu dulu Abel tidak serius mengatakan ini.
"Kamu bisa cari referensi coding dari github, metode optimasi Adam dan MGD sudah banyak yang memakainya. Jika masih tidak mengerti bisa bertanya kepada saya. Oh iya, pembahasan teori tentang optimasi kamu tambahkan di bab 1 sampai 3 ya. Kamu bisa menambahkan di sini," ujar sang dosen sambil mencoret-coret kertas laporan skripsi Abel.
Abel melihat dengan jeli, ia tidak marah laporannya dicoret karena sang dosen memberikan instruksi kemana saja letak pembahasan tentang optimasi.
"Ada yang tidak kamu pahami dari penjelasan saya?"
Abel menggeleng dengan sedikit ragu.
"Setelah kamu revisi Bab 1 sampai 3, kirimkan ke sistem bimbingan online. Setelah itu, kamu bisa fokus membuat program."
Abel merasa ada angin segar yang masuk ke dalam pikirannya, setidaknya ia tidak berkutat pada pembahasan itu-itu saja. Pembuatan program adalah yang paling penting dalam skripsi Abel bahkan teman-teman satu jurusannya yang lain. Jika program tidak ada maka skripsi pun tidak akan.
"Baik Pak,"jawab Abel semangat.
Abel langsung bersiap-siap untuk pulang karena bimbingan sudah selesai. Ia akan mulai belajar tentang coding program yang akan dibuat. Mungkin butuh waktu lama, tetapi Abel akan berusaha.
"Ada yang ingin ditanyakan lagi terkait penelitian?" tanya sang dosen.
"Tidak Pak, saya sudah cukup paham. Terima kasih banyak Pak," jawab Abel sopan.
"Oke bimbingan hari ini selesai, semoga skripsi kamu bisa kelar semester ini."
Abel tersenyum dengan menampilkan deretan giginya. Ia mengaminkan ucapan sang dosen.
Ketika Abel ingin pamit keluar, Edgar langsung memanggilnya.
"Abel!"
"Iya Pak, Ada tambahan lagi?"
"Bimbingan selesai, saya ingin membahas masalah kita."
Abel terdiam, ia kira sang dosen tidak akan membahas masalah pribadi mereka.
"Kita hentikan saja semuanya ya," ujar Edgar langsung. Abel melotot, iris hitam matanya menatap tajam.
"Wah, apa saya harus bertepuk tangan Bapak?" ujar Abel tidak minat.
"Setelah Bapak datang ke rumah saya secara tiba-tiba, berbicara baik dengan Mama saya. Endingnya Bapak mau menghentikan semuanya? Wah saya nggak tahu harus bicara apa," lanjut Abel lagi.
"Kamu tidak perlu masuk ke dalam hidup saya, sampaikan maaf saya kepada Mama kamu."
Abel benar-benar marah saat ini. Dosennya ini laki-laki atau tidak si? Bisa-bisanya kemaren ngomong A sekarang malah ngomong B.
"Saya pengen ngumpat tapi takut dosa Pak, saya nggak bakal komen panjang kali lebar. Bapak sudah membuat Mama saya berharap, jangan mentang-mentang saya bilang suka sama Bapak. Terus Bapak jadi seenaknya gini," oceh Abel mencoba menenangkan dirinya.
"Bukan begitu Abel, saya minta maaf!" elak Edgar.
"Minta maaf? Lucu kadang. Anda sudah cukup usia buat bertanggung jawab. Jika memang ingin membatalkan semuanya, datang ke Mama saya dan bilang baik-baik," balas Abel jengah. Ia langsung pamit dengan sopan, memutuskan pembicaraan tanpa ada titik terang. Edgar terdiam, menatap punggung mahasiswanya yang menghilang di balik pintu.
Biarlah, kenapa malah Abel yang kesal? Bukankah bagus jika masalah ini selesai? Setidaknya Abel tidak perlu linglung 7 hari 7 malam lagi. Ia memilih untuk segera pulang, tanpa mengembalikan sepatu Zaki. Ia takut jika Zaki ataupun Ridho tahu ada yang tidak beres antara dirinya dengan dosen pembimbingnya.