Sudah seminggu lebih Abel bekerja, sejauh ini masih lancar jaya tidak ada kendala yang berarti. Jangan salah, Abel juga pernah di marahi karena ceroboh dan tidak teliti. Namanya dunia kerja, segalanya tidak semudah dunia pendidikan.
Abel juga sudah pernah magang di sebuah perusahaan yang cukup besar, sehingga ia hanya perlu menyesuaikan diri saja. Hari ini Abel akan menjalankan bimbingan tetapi pada pukul 5 sore. Awalnya Bapak Edgar tidak setuju, karena jam kerja dia hanya sampai pada pukul setengah lima sore. Abel menjelaskan bahwa ia sudah bekerja sehingga sang dosen memakluminya. Abel dapat bernafas lega.
Ia sudah bersiap untuk menuju ke kampus. Meskipun lelah, Abel tidak pernah menganggurkan skripsinya. Di waktu malam hari, ia selalu menepatkan waktu untuk mempelajari lebih jauh terkait penelitian yang dia angkat. Abel terpaksa melakukan itu, Ayahnya selalu merepet agar ia menyelesaikan pendidikannya. Abel bisa apa? Sang Ayah punya hak untuk itu karena biaya semester kuliah Abel di tanggung oleh sang Ayah. Abel tekankan hanya setengah nya saja. Bukankah lazim ayah kandung membiayai pendidikan anaknya walaupun sudah berpisah dari sang ibu? Abel malas membahas soal Ayahnya. Ia punya masa lalu yang cukup buruk, bahkan melihat wajah Ayahnya saja kilasan bayangan masa lalu selalu hadir di pikirannya.
Kadang Abel ingin menangis, tetapi rasanya buang-buang tenaga dan waktu saja. Ia di tuntut menjadi perempuan tangguh dan juga kuat bukan perempuan lemah yang tertindas dan selalu mengeluhkan nasib. Terkadang orang yang selalu bertingkah konyol, tertawa lebar ada kesakitan yang ia simpan sendiri yang tidak ingin orang lain ketahui.
Abel memijit kepalanya sejenak, rasa pusing itu kembali hadir. Sudah beberapa bulan ke belakang Abel mengkonsumsi obat pereda sakit yang ia beli dari apotek. Harganya lumayan murah yaitu 8000 saja.
Abel memilih untuk segera ke kampus, ia tidak mau mengecewakan sang dosen. Apalagi sudah lebih satu minggu mereka tidak berjumpa. Abel senyum-senyum sendiri, di balik hiruk pikuk dunia setidak nya ia masih bisa melihat ciptaan tuhan yang bisa membuat dirinya tersenyum. Haha.
Ingat teman Abel yang bernama Diba? ya dia sosok perempuan baik. Sering kali Diba menegur Abel agar tidak berlebihan. Abel bisa apa jika pesona sang dosen kelewat batas. Tetapi tenang saja, Abel masih bisa berpikir waras. Di depan Bapak Edgar ia hanya menjadi puteri malu yang menunduk. Menjawab apa yang perlu di jawab, berbicara apa yang perlu di sampaikan tanpa ada nada godaan yang selalu Abel katakan kepada teman-temannya.
Larut dalam pikirannya sendiri, Abel ternyata sudah sampai di parkiran kampus. Ia mengendus bau badannya, kali saja bau karena bekerja seharian ini. Di rasa tidak ada bau, Abel melangkah ke ruang sang dosen. Padahal masih ada sepuluh menit lagi sebelum jam lima sore, lebih baik cepat datang dari pada terlambat.
Kertas skripsi serta jurnal-jurnal referensi sudah ia bawa. Pantas saja hari ini ransel Abel terasa berat. Abel duduk di ruang tunggu, ia masih menggunakan setelan pakaian hitam putih. Sudah seperti mahasiswa yang tengah ujian saja. Abel langsung mencari kontak sang dosen, menanyakan keberadaannya agar tidak menunggu yang hampa lagi seperti tempo hari yang lalu.
Tidak sampai 1 menit, pesan itu sudah terbalas tetapi tidak dengan hati Abel yang nyunsep ke selokan haha. Ternyata Bapak Edgar sudah berada di ruangannya, Abel langsung berjalan ke dalam ruangan. Sebelum itu ia melihat penampilan terlebih dahulu, kali saja pakaiannya ada yang terlilit.
"Assalamu'alaikum Pak," salam Abel sambil mengetuk pintu.
"Wa'alaikumsalam, Masuk."
Abel tertunduk, aura dingin mulai menyelimutinya. Tingkat kebucinan Abel belum terlalu tinggi, buktinya sekarang nyalinya ciut hanya karena mendengar suara sang dosen. Percayalah siapa pun yang mendengarkan suara itu akan merinding sendiri.
Mata Abel membulat ketika melihat minuman gelas seharga lima ratus perak berada di depannya. Kedua ujung bibir Abel sedikit terangkat ke atas, hanya sedikit mungkin tidak akan ada yang sadar.
"Minum dulu," ujar Bapak Edgar. Abel tanpa rasa malu langsung meneguk minuman itu. Rasa haus nya otomatis langsung hilang, ternyata sang Bapak ganteng peka sekali. Bolehkan Abel berharap sekarang? Walaupun mustahil. Jika teman-temannya tahu, pasti mereka menyoraki Abel karena sang Dosen hanya memberikan minum tetapi responnya sudah seperti di beri sekumpulan bunga mawar. Dasar Abel.
"Coba jelaskan ke saya bagaimana kerja optimasi di penelitian kamu ini!"
Hati Abel langsung meredup, tidak bisakah sang dosen bertanya kabarnya lebih dulu baru membahas tentang penelitiannya. Abel belum menyiapkan mental apabila penjelasan yang keluar dari mulutnya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan sang dosen.
"Ja-jadi gini Pak, proses op-timasi pada prediksi saham ini untuk meningkatkan akurasi model yang sudah terbentuk. Beberapa ju-nal yang saya baca, optimasi itu banyak tetapi yang sering di pakai itu Adam."
Abel diam, Bapak Edgar mengangkat satu alisnya. Abel tahu sang dosen tidak puas dengan penjelasannya. Ya Allah, Abel jadi mumet sendiri.
"Hanya itu?" tanya Edgar dengan alis gelap yang menukik tajam.
"I-iya Pak," jawab Abel terbata-bata. Ia takut kalau di semprot habis-habisan lagi. Abel merapalkan doa dia dalam hatinya agar sang dosen bisa memaafkannya kali ini.
"Jujur saja, sudah satu minggu lebih waktu yang bisa kamu gunakan untuk belajar tetapi apa? pemahaman kamu hanya segini? Saya minta dua buah metode untuk optimasi tetapi yang kamu bilang ke saya hanya satu. Kamu jauh dari ekspetasi saya, jika saja hari ini kamu bisa menjelaskan dengan lebih detail maka kita akan langsung masuk Bab 4. Kalau begini, saya bisa apa?"
Abel menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia benar-benar sudah belajar dengan sungguh-sungguh.
"Ma-maaf Pak," balas Abel tertunduk lesu.
"Kamu di luar ruangan saya bisa bicara lancar dan ceplas ceplos sana sini, tetapi di depan saya kamu tergagap ketika di tanya. Saya pusing ngadapin kamu, dari 3 orang yang saya bimbing di angkatan kamu. Hanya kamu sendiri yang telat lulus."
Abel mencengkram baju kemejanya dengan erat. Ia harus diam, tidak boleh lepas kontrol apapun yang di katakan oleh sang dosen. Siapa yang mau telat lulus? hanya orang yang tidak normal yang mau. Abel dengan lantang mengatakan ia ingin lulus tepat waktu, tetapi apa? Hilal kelulusan nya saja belum muncul-muncul.
"Apa seminggu ini kamu belajar?"
"Belajar Pak," cicit Abel pelan. Perlukah ia membuat video dokumentasi tentang proses belajar yang ia laluin. Mungkin memori ponselnya tidak akan cukup karena Abel belajar tidak hanya satu jam tetapi beberapa jam setiap harinya.
"Kalau belajar apa yang kamu dapat? Anak sd saja tahu jawaban itu jika mereka membaca jurnal. Bukan jawaban itu yang saya mau Abel, saya pusing."
Bapak Edgar memijit pelipisnya. Abel bisa apa? Ia tidak bohong, selama ini Abel menyempatkan untuk belajar walaupun badannya sudah sangat lelah.
"Skripsi kamu saja belum kelar dan malah kerja, saya nggak yakin kamu bisa selesai semester ini," ujar Pak Edgar lagi dengan wajah serius. Ini kenapa pekerjaan Diba di bawa-bawa? Salahkah ia bekerja saat tekanan ekonomi mulai mengusik kehidupannya. Abel bukan anak kecil lagi, ia sudah bisa menghasilkan uang sendiri.
"Saya kerja buat kebutuhan saya Pak," jawab Abel memberanikan diri.
"Kamu mau ganti pembimbing?"
Abel terdiam, lidahnya keluh. Tubuhnya melemah, apa maksud dari perkataan dosennya ini. Abel berusaha menguatkan dirinya agar tidak menangis, pantang baginya menangis di depan laki-laki. Siapa pun itu.
"Ti-tidak Pak, saya akan berusaha untuk memahaminya lagi Pak. Tolong jangan minta saya untuk ganti pembimbing Pak," balas Abel memohon.
"Oke, besok sore kamu ke sini lagi. Jelaskan kembali kepada saya. Ada satu hal yang harus kamu ingat Abel, saya hanya membimbing dan mengarahkan kamu. Selebihnya kamu sendiri yang berusaha. Kalau kamu nggak sanggup dengan cara bimbingan saya, silahkan ajukan surat penggantian pembimbing ke prodi. Saya nggak masalah."
Abel sadar benar, skripsi tidak semudah kata-kata. Mental nya memang di uji sekali. Lihat saja, sudah sampai sejauh ini malah sang dosen mengancam dirinya untuk mengganti dosen pembimbing. Abel bisa apa? adakah yang senasib sama seperti dirinya.
"Baik Pak, saya mengerti."
"kamu boleh pulang."
Abel mengucapkan terima kasih dan langsung keluar ruangan dengan suasana hati yang buruk. Sepanjang jalan pulang ia tidak henti-hentinya menangis.