Berusaha melupakan perkataan Mas Andra yang terus terngiang-ngiang di telinga Lupita. Gadis berkaca mata itu berangkat ke kampus dengan perasaan tak karuan. Memikirkan dirinya sendiri yang masih enggan berbucinan. Apakah normal? Tentu saja bagi sebagian orang, Lupita dianggap kurang normal bahkan tidak normal.
"Pit?"
"Lupita!?"
Lupita tersentak ketika namanya terpanggil dengan nada tinggi.
"Sudah sampai. Mau di mobil aja kamu? Nggak kuliah? Ayoo! Mas sudah telat ini.." kata Mas Andra sembari melepas sabuk pengaman mobil ini. Sedangkan, Lupita pun keluar dari pintu belakang.
Memang Lupita kerap berangkat bersama Mas Andra, menaiki mobil. Dan, nantinya ia akan memilih duduk di belakang. Persis seperti Mas Andra ini supirnya. Namun tak apa, bagi Mas Andra itu bukanlah masalah. Karena dia tipikal cowok yang tak peduli dengan pandangan orang lain terhadapnya. Bodo amat-an lah ya..padahal dirinya cukup terkenal dikalangan mahasiswa, karena tampang oke dan prestasi mumpuni.
Berbeda dengan Mas Pras. Dia tipikal lelaki jaim, sedikit buaya, namun cerdas. Kalau ngomong selalu nyablak. Tapi pas sasaran. Banyak juga gadis-gadis kampus ini yang menyukainya. Namun dirinya hanya sebatas tebar pesona. Selama ini Mas Pras juga belum benar-benar menemukan tambatan hatinya yang akan menghilangkan kebuayaannya. Haha!
"Lupita, kamu sudah dapat tempat mengajar?" tanya Arman. Lelaki yang selalu mencoba mengakrabi Lupita. Namun sayangnya selama ini Lupita bersikap biasa saja. Bisa terkategorikan cuek.
Namun, setelah ucapan Mas Andra yang panjang lebar semalam itu. Kini Lupita mencoba untuk ramah pada Arman.
"Iya Arman. Aku sudah dapat tempat ngajar kok. Sudah satu bulan aku ngajar di sana. Kamu gimana?" Senyum seolah tak pernah lepas ia tampilkan.
Hal tersebut justru membuat Arman mematung. Ia tak menyangka jika Lupita akan sangat manis ketika tersenyum seperti sekarang ini. Tak mau terlihat kentara menyukai gadis di depannya ini. Arman pun menjawab, "Syukurlah.. aku juga sudah dapat kok. Di sebuah Sekolah Dasar yang letaknya di kota. Lumayan dekat lagi dengan rumah."
Ya, Arman dan Lupita memang berbeda jurusan. Arman mengambil PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Bagi Lupita memang awalnya sangat aneh. Ketika ada seseorang dari jurusan lain yang mencoba mengakrabinya. Banyak dari teman-temannya, termasuk Angel yang selalu mengolok-ngolok. Perihal Arman yang sebenarnya menyukainya.
Apakah ini salah satu teknik pendekatan alias PDKT?
Lupita tak ingin memasuki gerbang kebucinan ini. Namun perilaku Arman padanya seolah tengah membukakan gerbang tersebut. Seperti sekarang ini..
"Pit, kamu tumben senyum. Manis hloo. Selama ini kamu nggak pernah senyum ke aku. Aku ganggu kamu banget ya Pit? Aku cuman pengen berteman kok sama kamu. Yaa kalau kamu nggak nyaman, nggak apa-apa. Aku akan menjauh." Arman menunjukkan senyumnya yang tak kalah manis.
Mereka berdua kini melewati koridor-koridor kampus. Tak begitu ramai, karena mungkin beberapa siswa tengah berada di kantin kampus.
Lupita menoleh, "nggak kok. Aku nyaman. Kamu baik. Berteman dengan kamu.. sepertinya bukan ide yang buruk. Iya 'kan?"
Arman mengangguk cepat. Sungguh di luar dugaannya. Sebenarnya ada apa dengan Lupita? Mengapa tiba-tiba sikapnya berubah 180°?
Tak mau memusingkan ini-itu. Keduanya berpisah ketika Lupita izin mendahului Arman dan hendak ke kelasnya. Mengingat jam kuliah sebentar lagi dimulai.
Baru saja Lupita mendudukkan dirinya di kursi. Angel langsung menyeret kursinya untuk mendekat pada Lupita. "Pit.."
"Hm." Lupita hanya berdehem lalu mulai mengeluarkan buku-bukunya. Tanpa menoleh dan tanpa ingin tahu ekspresi Angel yang devil itu.
Angel berkata, "Pit, aku mau kita taruhan."
Suara Angel yang biasanya begitu cempreng. Kini justru memelan. Mungkin karena perkataannya yang menyebut-nyebut taruhan dan mereka pun yang kini sedang berada di kelas yang cukup ramai.
"Maksudmu?" Lupita kali ini menatap Angel dengan tatapan tak mengerti. Sebenarnya apalagi ide gila dan konyol Angel. Temannya itu memang memiliki banyak sekali kekonyolan dalam hidupnya.
"Kita harus punya pacar dalam kurun waktu satu minggu ke depan. Nanti yang kalah...ada hukumannya."
Kedua bola mata Lupita membelalak dengan sempurnya. "Kamu nggak panas 'kan Ngel?" Tangan kanan Lupita memegang dahi Angel yang ternyata sedikit hangat.
"Ck! Pit. Serius. Kamu mau 'kan? Buktiin dong Pit, kalau penggemarmu banyak. Jadi nggak akan sulit kalau sekedar cari pacar aja...kecil." Dengan menyetilkan ibu jari dan jari kelingkingnya. Angel berucap begitu santai dan seakan meremehkan.
Masalahnya..ini bukanlah hal yang main-main. Bagi Lupita, berpacaran itu artinya tahap pertama. Tahap kedua, tunangan. Dan terakhir, tahap tiga menikah. Tapi semua itu tak akan bisa dimengerti oleh Angel. Hingga Lupita pun hanya ikut bermain saja dalam pertaruhan konyol itu. Tentu saja tanpa melibatkan perasannya.
Keesokkan harinya, jadwal Lupita hari ini adalah mengajar dan bermain dengan anak-anak kecil. Ia bisa berdiri di sini karena pemilik Taman Kanak-Kanak ini masih satu keluarga besar dengannya. Tepatnya sang kakak dari papanya.
Pukul sepuluh pembelajaran usai. Setelah lelah bermain dan belajar dengan anak-anak yang lebih suka bermain itu. Tenaganya benar-benar terkuras. Untung saja tadi ia membawa bekal berisi dua donat buatan sang mama. Satunya bertoping cokelat dan satunya hanya ditaburi gula bubuk. Nikmat sekali..
Namun Lupita merasa kurang. Ia lupa tak membawa minumnya. Akhirnya ia putuskan untuk keluar dari ruang kelas yang telah sepi ini. Di seberang Taman Kanak-Kanak ini terdapat sebuah minimarket. Sangat strategis bukan. Di sana Lupita membeli s**u kotak vanilla dua buah. Entahlah.. mengapa tumben sekali ingin dua?
Ia pun juga menyapa muridnya yang pergi ke minimarket itu bersama orang tuanya. Mereka tampak mengerumuni ice cream aneka rasa. Lupita menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. Anak-anak ini..
Ketika Lupita baru saja hendak membuka gerbang kecil Taman Kanak-Kanak ini. Matanya tertuju pada seorang murid laki-laki yang ia kenal. Dia adalah Brian.
"Brian? Kok belum pulang?"
"....."
Tak ada sepatah katapun yang Brian ucapkan sebagai jawaban. Padahal yang saat ini mengajaknya berbicara adalah Lupita--gurunya. Meski baru satu bulan ini mereka belajar bersama.
"Brian lagi nunggu jemputan ya?"
Lagi-lagi Brian tak menjawab. Anak kecil itu hanya menunduk dan memainkan kakinya di tanah. Membentuk garis-garis alas sepatunya.
"Brian masuk ke dalam yuk! Biar nanti mama yang ke dalam cari Brian. Di sini nggak aman Sayang.." kata Lupita. Ia tak menyerah untuk mencoba membujuk Brian agar masuk ke dalam. Dikarenakan akhir-akhir ini banyak sekali kasus penculikan. Dan, Lupita tak ingin hal itu terjadi pada muridnya sendiri.
Melihat sikap Brian yang pendiam, acuh tak acuh dan selalu menyendiri itu..Lupita kerap diselimuti rasa penasaran terhadapnya. Sebenarnya, Brian ini kenapa? Apakah ia merasa tak nyaman sekolah di sini? Padahal bagi Lupita, sekolah ini lumayan mahal dan elite untuk seukuran anak TK.
"Ya sudah kalau Brian mau di sini. Ini s**u kotak buat Brian. Nanti kalau ada orang nggak kenal, terus ajak Brian. Brian jangan mau ya.." Lupita memberikan salah satu susuk kotak yang baru saja ia beli.
Ajaibnya, Brian menerima itu. Lupita tersenyum.
Bruk!
Namun seketika senyumnya menghilang. s**u kotak itu dibuang oleh anak laki-laki ini. "Aku nggak kenal sama kamu. Kamu bukan guruku. Guruku Bu Lili."
Bu Lili, guru yang digantikan oleh Lupita. Karena beliau memilih pindah tempat mengajar. Ikut suami yang juga bekerja di kota tersebut, katanya..
Mencoba untuk sabar. "Brian. Bu Lili sudah tidak bisa lagi mengajar di sini. Tapi, jangan khawatir Bu Lupita akan menemani Brian belajar. Brian yang semangat ya!" .
Senyum cerah Brian terpampang jelas. "Ayah!!" serunya.
Lupita pun menoleh ke belakang dan mendapati sosok lelaki berjas hitam, kemeja putih dan berdasi merah. Wajahnya tak begitu jelas terlihat karena lelaki itu mengenakan kaca mata hitamnya.
"Anak Ayah sudah pulang. Maaf ya terlambat. Tadi Ayah masih meeting sama Kakek."
"Iya Yah. Lamaaaaa banget.." Brian tampak mencebikkan bibirnya. Melihat itu Lupita terkekeh pelan.
"Terima kasih sudah menjaga Brian. Saya permisi." Keduanya pergi begitu saja.
Lupita bergumam, "Memang ya..buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Tidak hanya putranya saja yang dingin dan cuek. Ayahnya pun juga."
***