Jadwal kuliah yang sering berubah dan kadang juga berbenturan dengan jadwal mengajarnya di TK. Membuat Lupita kadang kelimpungan. Seperti sekarang ini, dirinya tiba-tiba terpaksa nebeng Mas Prass yang juga berangkat pukul tujuh pagi. Sedangkan Mas Andra berangkat pukul sepuluh karena harus menemui klien pertamanya.
Ya, Mas Andra mencoba membuka praktek konsultasi. Baginya ini adalah yang pertama kali ia akan menjadi seorang psikolog yang menangani permasalahan seseorang. Kemarin ia mendapat sebuah panggilan suara dari orang yang mengaku sebagai ayah dari anak yang bermasalah. Intinya perihal perilaku sang anak yang bisa terbilang mengalami trauma.
"Ma, aku berangkat ya.." pamit Lupita pada sang mama. Karena Papa sudah lebih dulu berangkat ke kantor tadi.
"Iya hati-hati Pit. Eh, kamu berangkat sama siapa? Mas Andra 'kan berangkat siangan," tanya sang mama yang khawatir dengan putrinya itu.
Lupita mengarahkan kepalanya pada Mas Pras yang masih mengenakan kaos kakinya dan duduk di sofa. "Tuh! Sama anak Mama yang playboy cap kuda liar dan juga suka tebar pesona."
"Aku denger loh Pit kamu ngomong apa." Raut kesal Mas Pras tercetak jelas. Lupita dan sang mama justru terkekeh pelan mendengar kekesalan Mas Pras.
"Ya sudah. Hati-hati ya Mas. Jangan ngebut! Nanti adiknya jatuh. Dia 'kan biasanya enak naik mobil sama Mas Andra."
"Mama ngeraguin kemampuan Pras bawa motor? Hati-hati nyesel loh Ma.." Mas Pras menunjukkan senyum jahilnya. Entahlah..apalagi yang akan ia perbuat.
Dengan diantarkan oleh Mas Pras, keduanya membelah jalan yang cukup padat pagi ini. Mengendarai motor sport hasil dari tabungan Mas Pras sendiri, ini kali kesekiannya Lupita harus berkali-kali memukul pelan punggung sang kakak. Bagaimana tidak?
Mas Pras masih sama saja. Tak berubah sedikit pun. Caranya mengendarai motor di tengah keramaian, masih tak membuatnya mengurangi kecepatan. Lalu, mengerem dadakan. Sialan!
"Mas! Bisa nggak sih nggak usah berlagak kayak valentino rosi?" Lupita terpaksa membuka kaca helmnya agar teriakannya mampu terdengar nyaring tepat di telinga sang kakak.
"Nggak bisa Pit. Keburu krucil-krucilmu pada keluar gerbang nanti. Haha.."
Seusai menjawab demikian, Mas Pras lagi-lagi menancap gasnya lagi. Hingga keduanya tiba di depan gerbang masuk TK. Lupita dengan wajah kesalnya melepas helm hitam itu. Lalu, berkaca di spion membenahi rambutnya yang berantakan karena menaiki motor.
"Sudah cantik Pit. Emang kenapa sih pakai acara dandan segala? Emang krucil-krucilmu bakal muji kamu gitu?"
"Uhhh bu gulu antik angett.." puji Mas Pras dengan menirukan nada bicara anak kecil. (Uhhh Bu Guru cantik banget)
Bugh!
Satu pukulan melayang dan tepat mengenai pundak Mas Pras. "Mas Pras, stop panggil murid-muridku dengan sebutan krucil-krucil ya! Enak aja."
"Habisnya mereka kecil-kecil banget. Belibet kalau panggil murid-murid. Ntar disangkanya aku Pak Guru barunya." Mas Pras berakting bergidik ngeri.
Semakin ditanggapi maka akan semakin menyebalkan. Begitulah Mas Pras yang suka ngomong seenak jidatnya. Tapi kalau sama cewek yang bening dikit, ngomongnya manis banget. Es tebu lewat..
Dari kejauhan mata Lupita menangkap sebuah pemandangan mengharukan antar seorang ayah dengan putranya. Ya, mereka adalah Brian dan ayahnya. Kedua orang yang entah kenapa bersikap dingin. Namun menghangat ketika sedang pada zona mereka sendiri.
"Brian sekolah yang pintar ya. Ingat pesan Ayah!"
"Iya Yah! Nanti pulang tepat waktu terus tunggu Ayah di depan," jawab Brian sembari mengulang kembali perkataan sang ayah. Begitu Brian berjalan meninggalkan mobil sang ayah. Mobil itupun beranjak.
Lupita yang tak mau kehilangan kesempatan untuk menyapa Brianpun langsung bergegas meninggalkan Mas Pras. Setelah sebelumnya mengecup punggung tangan kanan kakaknya itu. Sebuaya-buayanya Mas Pras, lelaki itu tetaplah kakak Lupita. Dan, wajib dihormati juga.
"Pit!! Nanti dijemput nggak!?" teriakan Mas Pras melengking. Hingga membuat Lupita membalikkan badannya.
"Nggak usah dijemput! Sudah sana.." usir Lupita dengan mengibas-ngibaskan kedua tangannya.
Sementara itu, Lupita kini mencoba menyamakan langkahnya dengan Brian. Anak kecil itu berjalan dengan memegangi tas punggungnya dan hanya menatap tanah yang ia pijaki.
"Selamat pagi Brian.." sapa Lupita dengan senyum manisnya. Nyatanya Brian malah abai terhadap gurunya itu.
Tak kehabisan akal. Lupita masih saja mencoba mengajak Brian berbicara. Kali ini Lupita bertanya, "Brian sudah sarapan?"
Syukurlah kali ini Brian menjawab. Meski hanya dengan anggukan kepala. Mungkin juga karena ia merasa tak enak mengabaikan gurunya sendiri. "Sama apa? Pasti masakan Mama Brian enak ya.."
Keajaiban yang tak diduga oleh Lupita. Kali ini Brian berhenti berjalan. Ia mengangkat kepalanya dan menatap datar Lupita. "Nasi goreng dan kornet. Bukan Mama yang masak, tapi Ayah."
Mendengar jawaban Brian. Lupita masih tak mengerti mengapa tiba-tiba Brian menjawab pertanyaannya. Sedangkan tadi sapaan hangatnya menguap ke udara begitu saja.
"Ooh Ayah Brian pintar masak ya.. kalau di rumah Bu Lupita yang masak Mama. Tadi Bu Lupita sarapan pakai roti sama s**u aja." Lupita mencoba bercerita tentang dirinya meski nantinya mungkin Brian akan mengacuhkannya.
Akan tetapi agaknya, dugaan Lupita meleset. Lagi-lagi Brian menghentikan langkah kaki kecilnya. Ia menatap Lupita dengan tatapan dinginnya. "Terserah kamu. Aku sudah tidak punya Mama. Jadi, Ayah yang masak."
Usai berkata demikian, Brian langsung berlari kecil mendahului Lupita yang masih mematung di tempatnya. Tiba-tiba ia diselimuti rasa bersalah. Jadi, Brian sudah tidak punya Mama. Kemana Mamanya? Meninggalkah atau berpisah dengan sang Ayah?
Mendengar suara bel TK elite ini, Lupita segera menarik dirinya ke dunia nyata. Setelah berputar di dalam angannya yang terus menerka-nerka tentang Mama Brian. Lupita pun masuk ke ruang kelas dan memulai pembelajarannya.
Sesuai dengan pesan sang ayah. Brian pun kini sudah menunggu di depan sekolah. Lagi-lagi ia mengabaikan Lupita yang entah mengapa sedari tadi juga ikut berdiri di sampingnya.
Brian mengangkat kepalanya dan bertanya, "Ngapain kamu di sini? Nggak pulang?"
"Belum dijemput." Lupita menggelengkan kepalanya.
Sengaja berbohong demi menemani muridnya yang selalu mengabaikannya ini. Senyum tipis Lupita akhirnya terlukis. Bagaimana tidak? Ini kali pertamanya sengaja mendiamkan Brian dan lihat! Brian mengajaknya berbicara. Sebenarnya muridnya ini juga peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Namun, entahlah ada apakah gerangan selalu memasang wajah datar dan dingin. Dan enggan bergabung dan bermain dengan teman-temannya.
Brian memang tidak seceria anak-anak lain. Namun sikapnya ketika bersama sang ayah justru berbanding terbalik.
"Ayah!!" Brian sudah dijemput. Lupita pun beranjak dari sana. Ia sungguh tak ingin melihat anak dan ayahnya sama-sama bersikap dingin padanya seperti kemarin.
"Lupita!" Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara yang tak asing memanggilnya.
Di sana, Mas Andra baru saja keluar dari mobil yang dikendarai ayah Brian. Seketika itu juga Lupita berbalik badan dan mendekat pada sang kakak. Diciumnya tangan Mas Andra. "Mas, kok di sini? Ngapain?"
"Lagi mau kosultasi sama klien. Tadi Mas dijemput dari rumah sama Pak Dhika."
Lupita menaikkan sebelah alisnya, "Pak Dhika?"
"Iya-"
"Ini..." Tiba-tiba ayah Brian dan Brian yang sudah berada di gendongannya mendekat. Seolah bertanyakan siapakah Lupita ini? Bagaimana ia bisa mengenal psikiater Brian?
"Kenalkan Pak Dhika, ini Lupita. Adik saya yang paling kecil.." ucap Mas Andra mengenalkan Lupita.
Jadi, Pak Dhika yang dimaksud Mas Andra adalah ayah Brian. Dunia sesempit ini. Lupita sungguh tak menyangka, jika klien pertama kakaknya adalah Mas Dhika--Ayah Brian. Lantas, siapakah yang sakit di sini? Brian 'kah? Atau ayahnya?
"Brian ini muridmu ya Pit?" Mas Andra mengusap-usap punggung Brian yang berada di dekatnya itu.
"Iya Mas Andra. Brian ini murid Pita. Pintar sekali lhoo anaknya. Yaa, meskipun sangat cuek.." jawab Lupita sembari menatap Brian dengan senyuman mengembangnya.
Bukannya bermaksud menjelekkan Brian. Hanya saja fakta di lapangan memang seperti itu. Brian sangat kurang peduli dengan sekitarnya. Termasuk teman-temannya. Ia lebih suka menggambar sendiri dari pada berkelompok dengan temannya yang lain.
"Baiklah. Bisa kita pergi sekarang Pak Andra?" potong Dhika sembari berjalan ke belakang. Membuka pintu untuk mempersilahkan putranya duduk di kursi belakang.
Melihat perilaku klien pertamanya yang cukup serius dan dingin itu, Mas Andra hanya tersenyum kikuk pada Lupita. "Mas pergi dulu ya? Kamu pulang naik apa? Mau bareng aja-"
"Nggak usah Mas. Pita naik ojek online aja," tolak Lupita dengan nada pelan. Ia tak ingin menghancurkan praktek perdana Mas Andra.
"Mari Bu Pita.."
Begitulah akhirnya. Lupita disapa oleh Dhika--ayah Brian untuk yang pertama kalinya. Dengan senyum. Meskipun setelahnya wajah lelaki itu kembali datar. Sebenarnya ada apakah antara ayah dan anak itu? Mengapa agaknya menyimpan sesuatu yang begitu kelam di bola matanya? Hingga tak ada satu pun orang yang memecahkan kutub es didiri keduanya..
"Dunia memang sempit. Senyum ayah dan anaknyapun juga pelit," gumam Lupita sebelum akhirnya memainkan ponselnya guna memesan ojek online.
***