4. Dia Orangnya?

1332 Kata
Aku memegangi perutku yang terasa lega bukan main. Genap tiga hari sudah, aku susah buang air besar, dan baru sore ini akhirnya aku bisa menuntaskannya. Apa ini ada hubungannya dengan aku yang menyumpahi laki-laki muka batu malam itu? Kalau iya, aku berjanji tidak lagi menyumpahi sembarang orang. Ya... meski sebenarnya bukan tanpa alasan kenapa aku marah pada laki-laki itu. Bayangkan, dia meninggalkanku begitu saja, padahal aku belum selesai bicara. Keterlaluan sekali, kan? Aku tidak peduli seberapa tampan wajahnya. Tampan juga, kalau fakir ekspresi, buat apa? Lebih baik dia lepas wajahnya, lalu dilaminating buat pajangan dinding. “Dean! Mami masuk, ya?” Aku mendengar gedoran pintu kamar, dan beberapa detik kemudian, Mami masuk dengan bibir mengembang lebar. “Ada apa, Mi?” “Nanti jam tujuh kita berangkat, ketemuannya di restoran dekat sekolahmu dulu.” “Mi, aku sakit perut. Izin, deh, enggak ikutan— argh! Mi!” jelas aku meringis ketika dengan semena-menanya, Mami memukul lenganku kuat. “Jangan bikin Mami malu! Tanggalnya udah fix!” “Ya...” “Kamu dengerin Mami enggak, sih?” “Denger, Mi, denger!” “Udah chat-an belum, kalian?” Aku menggeleng. “Belum, males.” Ngomong-ngomong, Mami memberiku nomor baru. Kata beliau, itu nomor milik laki-laki yang akan dijodohkan denganku. Sayangnya, aku tidak peduli. Aku tidak akan memulai lebih dulu. “Ya udah, nanti juga ketemu.” “Bentar, deh, Mi, emangnya dia udah pasti mau sama aku? Masa iya, dia mau gitu aja dijodohin?” “Mami enggak tahu detailnya, tapi selagi orang tuanya enggak bilang apa-apa, berarti aman, dong?” “Kalau kami enggak cocok, jangan dipaksa, loh, Mi!” “Mami yakin kalian cocok.” Aku menghela napas panjang, lalu meraih ponselku yang tergeletak di dekat bantal. “Mi, ngomong-ngomong nama dia siapa, sih?” “Calon suami kamu?” “Anggap aja gitu,” balasku sekenanya. “Dilan, tapi Mami lupa nama lengkapnya.” Mendengar nama itu, seketika aku bangun dan bersandar di kepala ranjang. “Namanya Dilan, Mi? Sejak kapan nama Dilan jadi pasaran banget?” “Maksud kamu?” “Enggak, kemarin Sisil bilang kalau mantan Presma univ-ku dulu ada yang namanya Dilan. Yang ketuker kopernya sama aku namanya Dilano. Ini yang mau dijodohin sama aku, Dilan juga namanya. Semua aja, laki-laki di dunia ini namanya Dilan.” “Nama kamu aja pasaran, Dean kan banyak?” sahut Mami yang membuatku langsung memutar bola mata malas. “Dan apesnya, nama Dean itu rata-rata cowok, Mi. Aku doang kayaknya, cewek punya nama Dean.” “Unik, dong!” Aku mencebik. “Mana ada unik, yang ada bikin orang salah paham mulu!” “Udah, ah! Habis ini kamu mandi, ya? Terus nanti siap-siap, dan jangan lupa dandan yang cantik.” “Hm!” Mami hanya geleng-geleng kepala, sebelum akhirnya beliau keluar dari kamarku dan menutup pintu. *** Aku menarik napas panjang berulang kali begitu mendongak menatap ke arah restoran megah yang menjulang tiga lantai di depanku. Sejak Papi mengehentikan mobilnya, jantungku mulai berdetak tidak karuan. Akhirnya, malam ini juga aku dipertemukan dengan laki-laki yang akan dijodohkan denganku. Aku tak berani berekspektasi tinggi dengan calonku ini, karena takut kecewa. Tahu kan? Semakin tinggi ekspektasimu, semakin besar pula peluang kecewamu. Sebenarnya, ‘tidak berani berekspektasi’ yang aku maksud adalah, aku tidak mematok standar yang terlalu tinggi. Setidaknya, calonku ini memenuhi standar minimal kriteriaku. Seperti contoh, wajahnya harus relatif tampan—dalam artian cukup enak dipandang, memiliki pekerjaan tetap, dan terlihat meyakinkan dalam sekali lihat. “Ketemunya di lantai berapa, Pi?” tanyaku begitu kami bertiga masuk restoran berurutan. “Lantai dua, kita pesan ruang private di sana, ruangan nomor lima.” “Mereka udah datang?” Papi mengangguk. “Udah. Barusan Pak Aji ngirim pesan ke Papi kalau mereka udah datang.” Begitu tiba di lantai dua, Papi langsung berjalan menuju ruangan nomor lima, yang kebetulan letaknya ada di ujung. “Bentar, Mi!” Aku menahan tangan Mami ketika tiba-tiba perutku terasa mules. Sepertinya, obat sembelit yang aku minum masih belum tuntas seratus persen. “Kenapa, De?” “Perutku mules lagi, masa?” “Jangan bohong! Bilang aja kalau kamu mau kabur!” Aku buru-buru menggeleng. “Enggak, Mi, serius! Dari tadi siang aku diare, padahal kemarin-kemarin aku sembelit. Obat yang aku beli kayaknya terlalu manjur.” “Kamu ini ada-ada saja! Ya udah, cepet! Ingat, nomor lima.” “Iya, Mi.” Aku buru-buru berlari ke kamar mandi yang letaknya langsung bisa kutemukan karena tanda panahnya cukup besar. Kurang lebih lima menit kemudian, aku sudah merasa lebih baik. Sebelum keluar, aku merapikan rambut juga bajuku yang sedikit berantakan. Namun, tepat ketika aku baru saja keluar beberapa langkah dari pintu, tiba-tiba aku terpleset. Aku yang reflek menjerit sambil memejamkan mata, seketika kembali menegakkan badan begitu sadar ada orang yang menahan kedua pundakku dari belakang. “Hati-hati! Itu lihat, ada pengumuman lantai sedang licin.” Kali ini aku mendengar suara berat, yang disusul pegangan di pundakku terlepas. “O-oh iya, makasih. Saya enggak baca, soalnya buru-buru,” sahutku sambil mengusap d**a beberapa kali. “Sekali lagi makasih banyak,— loh, Masnya?” Mataku seketika mengerjap begitu melihat siapa laki-laki yang saat ini berdiri di depanku. Ini laki-laki malam itu bukan, ya? Itu loh, yang main pergi gitu aja! “Kenal saya?” tanyanya dengan sebelah alis sedikit terangkat. “Kenal sih enggak, tapi Masnya apa enggak ingat saya? Masih muda kok pikun!” “Pikun?” “Serius enggak ingat?” “Wajah kamu pasaran, jadi saya enggak ingat.” “Apa? P-pasaran? Wajah secantik ini dibilang pasaran?” aku menutup mulut, merasa tak percaya wajahku dikata pasaran oleh laki-laki ini. “Saya salah? Bukannya penilaian orang itu relatif?” Seketika, aku tertawa sumbang. “Tahu enggak, Masnya adalah orang pertama yang bilang wajah saya pasaran. Jangan salah, wajah ini pernah ditawarin iklan kosmetik terkenal. Saya tolak, karena saya enggak minat jadi brand ambassador produk kecantikan.” “Oh, oke...” “Ah, udah! Percuma ngomong sama manusia patung kaya Masnya ini. Sekali lagi, terimakasih buat pertolongannya. Saya duluan!” ucapku sambil menunduk sesaat, lalu berjalan meninggalkannya. Serius, nasib sial apa lagi hari ini? Kenapa aku harus bertemu dengan orang yang membuatku kembali ingin menyumpahi? Dan... apa katanya tadi? Wajahku pasaran? Matanya rabun, kali, ya! Ngomong-ngomong, aku tidak membual tentang aku yang pernah mau dijadikan BA kosmetik terkenal. Tawaran itu bermula ketika wajahku terpampang di baliho depan kampus untuk promosi. Sejak saat itu, aku sering sekali dihubungi orang untuk bergabung dengan beberapa produk kecantikan. Mulai dari yang biasa saja, sampai yang cukup terkenal, mereka pernah menghubungiku. Jelas semuanya aku tolak, karena aku tidak suka wajahku terpampang di mana-mana. Urusan terpampang di baliho kampus, kasusnya jelas beda, karena terpampang di sana adalah kebanggan tersendiri. Wajahku ada di sana setelah aku sukses mengikuti program pertukaran mahasiswa di Jepang. Aku di sana bukan karena wajahku, tetapi karena prestasiku. Oke, kembali ke posisiku saat ini, aku semakin mempercepat langkahku menuju ruangan nomor lima. Akan tetapi, langkahku kembali terhenti ketika merasakan laki-laki yang tadi, membuntutiku. Aku balik badan, lalu menghampirinya yang juga ikut berhenti. “Apa?” tanyanya ketika aku berjalan mendekat. “Masnya ngikutin saya?” “Ngikutin kamu? Buat apa?” “Terus, ini?” mataku memicing, menatapnya tajam. “Saya juga makan malam di sini.” “Di ruang mana?” “Memang penting, saya kasih tahu kamu?” Mendengar itu, aku hanya bisa menggeram kesal. “Ya udah, sana, Masnya duluan.” “Terimakasih.” Setelah laki-laki itu berjalan melewatiku, aku jongkok sebentar untuk membenarkan pengait sepatu. Begitu aku kembali berdiri, aku sudah tidak melihat ke mana laki laki itu pergi. “Ke mana dia? Kok ngilang?” aku celingukan sebentar, lalu bergidik, sebelum akhirnya setengah berlari menuju ruang nomor lima. “Dean! Kok lama banget, sih?” suara Mami langsung terdengar begitu aku masuk. “Iya, Mi. Tadi ada kendala— LOH, KOK MASNYA DI SINI?” “Sebentar... jangan bilang, kamu yang namanya Deana?” Seketika itu, aku merasa otakku mendadak blank. Serius, DIA ORANGNYA? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN