9.

1402 Kata
••• Kinta mengernyit melihat Bulan yang baru pulang ke panti sekitar pukul sebelas malam, gadis itu lebih terkejut lagi saat melihat Naga yang mengantarnya hingga masuk melewati gerbang panti. Kinta memang sengaja menahan kantuk setelah tahu Bulan pergi dari panti sejak sore, gadis itu selalu mengkhawatirkan kondisi Elmira jika Bulan tak ada. “Ini maksudnya apa? Kok Naga bisa sama Bulan? Mereka ada hubungan apa sih?” Hati Kinta bercokol melihat dua manusia yang kini berbicara di dekat gerbang itu, Kinta memang mengintip lewat jendela kamarnya yang kebetulan letaknya berdekatan dengan area gerbang. “Lo serius ’kan ada kerjaan buat gue, Ga? Ini benar-benar penting buat gue.” Raut Bulan memang kentara serius, dan Naga bisa membacanya. Naga mengangguk, “Besok gue antar lo ke sana, gue mau pulang sekarang.” “Oke, makasih udah diantar ke sini.” Seulas senyum tipis terbit di wajah Naga tanpa ia menyadarinya, kenapa kinerja otak itu menyuruh otot-otot wajahnya menyungging senyum? Ada apa? Ucapan terima kasih yang Bulan berikan ternyata membuat sesuatu dalam kepalanya memerintah refleks. “Gue nggak salah lihat lo senyum?” tanya Bulan yang memergoki lengkungan manis itu, “oh iya gue lupa, sekarang udah malam. Pantas aja lo berani senyum-senyum di depan gue, kesurupan ya?” Bulan terkekeh cukup keras mendengar penghinaannya terhadap Naga. Beda halnya dengan Naga yang tampak biasa saja meski sesuatu yang lain perlahan mengusik, Naga tak tahu apa, tapi gelenyar itu masih asing baginya. Senyum tipis Naga pudar kala menyadari kehadiran Kinta yang kini berdiri di belakang Bulan, gadis pirang itu masih saja terkekeh garing. “Naga!” Bulan menghentikan tawanya seketika, ia memutar arah dan menemukan Kinta di sana. “Eh elo, ya udah gue mau langsung masuk ya, mau mandi terus tidur, bye.” Bulan melenggang begitu saja dan tak acuh dengan apa yang mungkin saja terjadi antara sepasang kekasih itu, setelah Bulan berlalu pun tatapan Naga juga berbeda. “Sekarang jam berapa, Ga?” tanya Kinta seraya bersidekap, ia meminta penjelasan paling tepat, kerutan di dahinya menandakan kalau Kinta sedikit curiga. “Sebelas,” singkat Naga. “Kamu dari mana sama dia, hm?” “Jakarta.” Kinta makin terkejut, “Jakarta? Ngapain kalian sampai jauh-jauh ke sana, dan itu cuma berdua?” Perkataan itu disetujui oleh anggukan Naga, dan Kinta menganga tak percaya. “Kamu ada hubungan apa sama dia sampai rela antar orang asing yang baru dikenal beberapa hari. Bukannya kamu paling anti sama orang asing yah?” “Bukannya kamu yang nyuruh aku?” Pembawaan Naga setenang air, dan tak bisa diprediksi. Kinta meraup wajahnya, “Aku nyuruh apa sih, Ga? Aku cuma minta kamu cari Bulan aja, bukannya temenin dia ke mana-mana.” “Dan keputusan kamu itu berdampak ke mana-mana, aku ikutin mau dia biar dia bisa bertahan di sini, biar dia bisa temenin Elmira. Bukannya itu tujuan aslinya?” Bahu Kinta merosot, secara tidak langsung ia sudah membuat kecerobohan besar, ia yang membuat Bulan akan dekat dengan Naga, ia yang membiarkan Naga tak punya pilihan selain menuruti keinginan Bulan demi Elmira. “Terus kamu dari mana aja sama dia tadi?” “Jakarta.” “Iya, ke mana!” Kinta mulai emosi saat Naga masih saja mempertahankan perasaan tenangnya itu meski di sisi lain kekasihnya gelisah luar biasa. “Dia pulang, dia mau ambil uang. Aku suruh dia kerja.” “Kerja?” “Kerja lebih baik daripada dia bolak-balik ke Jakarta buat ngambil uang di rumah, sama aja maling.” “Kamu nggak bohong ’kan sama aku, Ga?” Naga menggeleng, Kinta menghampirinya dan merengkuh tubuh Naga, ia membaui aroma parfum Naga yang khas dan menenangkan. Berada di pelukan Naga benar-benar membuatnya begitu damai. “Aku mau pulang, Ta. Udah malam,” ujar Naga saat Kinta enggan melepas pelukannya. “Sebentar lagi aja.” ••• “Kak Bulan nanti mau pergi lagi yah?” tanya Elmira memasang raut cemasnya, semalam Bulan juga memergoki gadis itu belum terlelap saat ia baru pulang dengan alasan kalau Elmira menunggu Bulan, Elmira takut Bulan kenapa-kenapa. Meski alasan sederhana tapi perhatian gadis itu perlahan membuat dinding kokoh yang dibuat Bulan mulai retak, ada rasa tak tega yang membingkai wajah Bulan malam itu. Bulan yang baru saja menyisir rambutnya itu pun duduk di tepi ranjang dan menatap Elmira yang berdiri di depannya, wajah pucat Elmira kini sudah biasa mewarnai pagi Bulan sebagai seseorang yang pertama kali akan Bulan lihat wajahnya kala ia bangun pagi, seulas senyum selalu terpatri di wajah Elmira. “Nanti gue mau kerja, kalau lo ngantuk langsung tidur aja, nggak usah nunggu gue pulang,” ucap Bulan seraya menatap wajah sayu Elmira. “Mauku setiap tidur ada Kak Bulan yang temenin?” “Kenapa? Bukannya selama ini lo selalu sendiri sebelum gue datang, kenapa nggak biasain kayak dulu aja. Gue mau kerja, mau cari duit—bukannya main.” Tanpa sadar sisi kedewasaan Bulan mulai terbentuk. Elmira menunduk, ia benar-benar sedih. “Emangnya salah yah kalau Elmira mau ada teman yang selalu ada di samping Elmira kalau mau tidur? Anak lain juga begitu.” “Gue kerja.” Elmira menengadah, “Kenapa harus kerja, Kak Bulan?” “Gue mau cari duit, gue butuh duit banyak. Kalau gue cuma diam aja di panti ini mana dapat duit, kecuali tiap malam lo mau berdoa supaya ada pesawat yang jatuhin duit semilyar buat gue.” Perkataan Bulan sontak membuat Elmira tertawa—tawa kecil yang membuat relung Bulan merasa hangat, tawa yang meredakan rasa sakit, tawa yang selalu menipu banyak orang, dan tawa yang akan berakhir memilukan. “Paham, ’kan?” Tiba-tiba saja Bulan menarik Elmira dalam rengkuhannya, dan gadis kecil itu membeku tak percaya. Benarkah itu sosok Bulan yang memeluknya? Bukankah selama ini Bulan sama sekali enggan memedulikannya dan cuek. Bulan mengurai pelukan itu. “Udah ya, pokoknya gue nggak mau tahu—setiap gue pulang ke sini—lo harus udah tidur, gue nggak suka sama orang yang suka bohong.” Elmira mengangguk cepat, “Kak Bulan cuma kerja, ’kan? Enggak tinggalin Elmira kayak waktu itu, ’kan?” Bulan menggeleng, “Enggak, gue masih betah di sini. Mending sekarang lo mandi terus sarapan, gue mau siap-siap ngajar.” “Iya, Kak!” Elmira berseru riang, ia meraih handuk di ranjang dan berlari penuh semangat keluar kamar, setidaknya Bulan sedikit mendorong gadis itu untuk menikmati sisa-sisa hidupnya. Benar saja, setelah selesai mengajar dan istirahat sebentar ternyata Naga datang, laki-laki itu mengajaknya untuk datang ke tempat yang sempat ia janjikan pada Bulan. Kinta pun terpaksa merelakan Bulan dan Naga pergi berdua lagi meski hatinya dongkol bukan main, selama ini tak ada gadis yang dekat dengan Naga karena laki-laki itu memang tak mudah ditempel, baru Bulan-lah yang sanggup membuat Kinta benar-benar cemburu. Kini mobil Naga sudah melaju meninggalkan halaman panti yang akan membawa mereka ke tempat tujuan. “Lo mau suruh gue kerja apaan sih?” tanya Bulan penasaran, sejak semalam ia benar-benar memikirkan perkataan Naga. “Apa aja yang penting halal.” “Gajinya berapa? Lima juta apa sepuluh juta?” Naga mengernyit, “125ribu buat sehari, dan lo bakal terima gaji seminggu sekali.” Bulan menganga mendengar semua itu, nominal yang disebutkan Naga benar-benar kecil dan jauh dari ekspektasinya. “125ribu itu buat apaan sama gue coba? Kok kecil banget sih, lo nyuruh gue ngamen apa gimana?” tuduh Bulan mulai kesal. “Jadi, lo maunya ngamen aja?” “ENGGAK LAH!!!” Naga tersenyum miring, “Ya udah, jangan banyak ngomong, yang penting elo bisa kerja, ’kan?” “Tapi nggak segitu juga kali! Duit yang gue butuhin itu banyak.” “Buat apa butuh duit banyak-banyak?” “Nggak usah sok pengen tahu!” Naga tak menanggapi ocehan Bulan lagi dan memilih fokus pasa jalanan. Mereka tiba di depan sebuah rumah makan yang menyajikan aneka kuliner khas Bandung, tempat itu terlihat cukup besar dan megah—jauh berbeda dari rumah makan yang biasanya dapat dijumpai. Bulan dan Naga pun keluar dari mobil, gadis itu mengernyit menatap tempat yang baru dipijaki kakinya. “Lo mau ngajak gue makan di sini?” tanya Bulan. “Enggak, lo bakal kerja di sini.” Bulan mendelik, “Yang benar aja! Gue harus jadi tukang cuci pirimg di sini? Hello, gue ini anak kuliahan dan gue—” “Kerja apa ngemis?” Bulan kicep, ia mengerucut dan memutuskan mengikuti Naga yang kini melangkah masuk ke tempat itu. Keadaan di dalam benar-benar luas dengan dekorasi yang cukup apik menggunakan tatanan bambu bercat cokelat yang dibuat menjadi meja kursi. Suasana di dalam pun tampak asri karena banyak pot bunga yang sengaja diletakan pada sudut-sudut ruangan, beberapa anggrek bulan juga menempel di dinding serta setangkai mawar putih di tiap-tiap meja, dekorasinya lebih mirip ruang tamu yang ditata menjadi tempat makan. Bulan mengedar pandang seraya terus mengikuti Naga yang kini tiba di halaman belakang tempat megah itu. Banyak sekali pengunjung yang datang dari berbagai kalangan, dan Bulan merasa beberapa orang memperhatikannya. Di bagian belakang ternyata juga diposisikan sebagai tempat lesehan yang nyaman, ada sebuah kolam ikan cukup besar berada di bawah jembatan buatan yang menghubungkan antara lesehan sebepah kiri dan kanan, lesehan pun khusus dibuat dengan bambu yang dipernis sedemikian rupa. Ada yang khas dari karyawan laki-laki karena mereka memakai udeng alias kain yang dililitkan pada kening seperti di Bali. Tangan Bulan meraih bagian belakang baju Naga dan membuat empunya menoleh. “Lo serius nyuruh gue kerja di sini?” tanya Bulan skeptis. “Kenapa? Ini salah satu cabang rumah makan khas kuliner Bandung punya bunda.” “Bunda?” Bulan memperjelasnya. “Iya, Bunda gue.” ••• Kau merasa ada yang mengetuk tidak? Jika iya tolong buka pintunya dan biarkan aku masuk, aku adalah rasa yang siap merasuk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN