•••
Bulan mengernyit menyadari ada satu ruam kebiruan di bagian d**a saat gadis itu mandi tadi, ia yang masih mengenakan handuk itu pun kini diam memikirkannya seraya duduk di ranjang. Kalau diingat lagi semalam Bulan sekadar minta traktiran alkohol dari dua orang laki-laki, tapi apa iya dia sampai melakukan semua itu?
Bulan beranjak, ia menghampiri kaca oval yang menempel di almari dan kembali mengoreksi bagian dadanya, ia usap bekas itu dan makin kebingungan. Apa benar Bulan sampai melakukan perbuatan gila dengan dua orang sekaligus? Kalau iya kenapa bagian intimnya tidak sakit, pasalnya sekalipun Bulan sangat mengenal dunia malam—tak ada satu pun kekasihnya yang ia izinkan untuk merenggut bagian itu.
“Kemarin gue bangun-bangun ada di apartemen Naga, tapi masa iya sih dia yang begitu? Apa iya sih gue nggak perawan lagi!” gumam Bulan sebelum kembali duduk.
Gadis itu memutuskan bergegas mengenakan pakaiannya, pagi ini juga dia akan mulai mengajar Bahasa Inggris dengan anak panti sesuai kesepakatannya bersama Naga kemarin.
Setelah urusan membalut tubuhnya dengan baju selesai, segera Bulan keluar kamar dan berdiri di depan pintu seraya mengikat rambut pirangnya yang tadi tergerai bebas. Sayangnya penampilan Bulan terlalu mencolok dan aneh di mata orang lain khususnya anak panti yang tak pernah melihat seorang gadis berpakaian pendek seperti Bulan. Ia memakai hot pants dan kaus putih bergambar tweety di bagian depan, gadis itu mengernyit menyadari tatapan aneh anak-anak panti di sekitarnya.
“Kenapa lihatin gue kayak gitu?” tanya Bulan seraya berkacak pinggang, tapi satu pun dari mereka tak ada yang menjawab dan memilih pergi. Seseorang yang sedari tadi memperhatikan Bulan sejak gadis itu keluar kamar kini menghampirinya.
“Nggak ada baju lain?” tanya Naga to the point, ia menatap Bulan dari ujing kaki hingga kepala.
Bulan menggeleng, “Oh, jadi itu yang bikin gue aneh di mata anak-anak panti? Heran aja.”
“Karena lo udah bikin mata mereka tercemar, di sini nggak ada yang pakai baju begituan, ganti sekarang.”
“Gue nggak ada baju lagi, gimana dong?”
Naga berdecak, “Tunggu di sini sebentar.” Ia melenggang masuk ke salah satu kamar anak panti dan tak lama keluar membawa lipatan sebuah kain, ia mengulurkannya pada Bulan.
“Apa nih?” Bulan mengernyit.
“Sarung, lo bisa pakai buat tutupin celana pendek lo itu, jangan bikin mata anak kecil jadi rusak,” ujar Naga.
Bulan menganga, ”Sarung? Yang benar aja lo gue pakai beginian, lo waras enggak sih?”
“Seratus persen waras, buruan pakai. Lo nggak ada pilihan lain.”
Bulan merebut benda itu dari Naga seraya mengerucut, Bulan membuka lipatan sarung itu dan membelitkannya pada tubuh sebatas pinggang. Kini gadis itu terlihat cukup menggemaskan dengan perpaduan pakaian yang terlihat makin aneh, tapi memang menutupi bagian paha putihnya.
Diam-diam Naga membuang wajah seraya mengembungkan mulut menahan tawa, jika ia sampai tertawa bisa-bisa Bulan melepaskan sarung itu.
“Heh! Lo nggak lihat kalau gue makin aneh sekarang!” gerutu Bulan tak lagi menyukai penampilannya, ia tak nyaman.
“Daripada lo kotorin mata anak kecil, baik begini.” Setelahnya Naga melenggang pergi dan membuat Bulan ingin sekali mencakar wajah menyebalkan itu, pasti Naga senang di atas penderitaannya.
•••
Anak-anak panti itu memperhatikan apa yang Bulan ajarkan dengan seksama, semua materi yang ditulisnya pada white board pun dicerna dengan baik. Jika dipikir-pikir baru kali ini Bulan mengajar, ia mengambil kuliah jurusan hukum di Universitas Tarumanegara sejak lulus SMA setahun lalu, dan mungkin sebentar lagi Bulan akan mendapat surat Drop Out setelah tak masuk kuliah selama beberapa hari, dan ia memang berniat terus begitu hingga orang tuanya membatalkan keputusan mereka mengirim Bulan ke Jerman.
“Kak, jadi setelah kata the terus diawali huruf vocal dibacanya thi ya?” tanya Sena yang baru saja mengangkat tangan kanannya.
“Iya begitu kayak yang gue bilang tadi, eh maksudnya Kakak bilang tadi,” ralat Bulan mengganti sebutannya sendiri, ia memang masih kaku di depan anak-anak itu, bahasa yang digunakan terlalu spontan seperti kehidupannya di Jakarta.
Kinta diam-diam memperhatikan apa yang Bulan lakukan dari jendela kelas di bagian pojok, gadis itu tersenyum menyadari kalau Bulan benar-benar serius mengajari anak-anak panti Bahasa Inggris.
“Ta, aku ada urusan. Aku pergi dulu ya,” ucap Naga yang baru menghampiri Kinta dan berdiri di belakang gadis itu, tapi Kinta seakan tak mendengarkan dan sibuk mengamati Bulan. Naga pun mengikuti arah pandang Kinta dan membeku melihat apa yang Bulan lakukan sekarang.
Gadis yang berdiri di dekat white board itu baru saja menarik ikatan rambutnya hingga pirang itu tergerai bebas, Bulan menggelengkan kepala dan membuat rambutnya bergerak begitu indah, jika dibayangkan dengan adegan slow motion memang Bulan benar-benar mempesona.
“Ga? Kamu di sini? Sejak kapan?” tanya Kinta yang baru menyadari kehadiran Naga, tapi justru empunya yang berganti diam seakan tak mendengarkan, Naga masih sibuk menatap Bulan. Kinta pun meraup wajah itu dan menyadarkan Naga, ia berdeham. “Segitunya lihatin dia.”
“Aku nggak lihatin dia kok,” kilah Naga.
“Hm, ada apa?”
“Aku mau pergi dulu, ada urusan sebentar. Nanti aku ke sini lagi, nggak apa-apa, ’kan?”
“Iya nggak apa-apa.”
“Lagian kenapa kamu lihatin dia segitunya?” Giliran Naga balik bertanya.
“Ya aku suka aja lihat Bulan kayak serius gitu ajar anak-anak panti, aku pikir dia emang tipe cewek yang asal-asalan setiap melakukan sesuatu, nyatanya bisa serius juga.”
Naga manggut-manggut, ia menatap ke arah Bulan sejenak, gadis berambut pirang itu kini duduk di balik meja, dan penampilannya pun masih sama seperti terakhir kali Naga melihatnya—yakni mengenakan sarung sebatas pinggang.
“Oke, aku pergi dulu.” Naga pun melenggang menyusuri koridor menuju mobilnya di halaman panti. Sedangkan Kinta kembali antusias memperhatikan Bulan di balik jendela.
•••
“Intinya Papa sama mama nggak perlu cariin Bulan, anak Papa ini ada di tempat yang aman. Bulan nggak akan pulang kalau kalian belum batalkan keberangkatan Bulan buat ke Jerman, nggak usah lapor-lapor polisi buat cari Bulan. Kalau kalian sampai begitu, Bulan bisa lebih jauh lagi. Ini mutlak ya, jangan dikira Bulan nggak serius,” ucap Bulan panjang lebar seraya menempelkan ponselnya di telinga kanan, gadis itu pun mengakhiri panggilan secara sepihak dan mematikan ponselnya agar tak dihubungi balik.
Sore itu Bulan duduk sendirian di sebuah ayunan besi yang terletak di halaman depan kamar Elmira, ia menikmati kesunyian yang mendera saat anak-anak panti sedang mengaji di musala yang letaknya tak jauh dari tempat Bulan duduk sekarang. Angin sore berembus menggerakan rambutnya yang tergerai bebas, sejak beberapa hari kabur dari rumah—gadis itu tampak berbeda, ia tak lagi jadi Bulan yang terlalu manja meski beda lagi jika di depan Naga, Bulan yang urakan masih sama meski bisa mengontrol diri sesuai kondisi.
Diam-diam Kinta memang senang menjadi CCTV berjalan untuk gadis yang memutuskan tinggal sementara waktu di panti itu, Kinta yang sedari tadi berdiri di balik pilar depan kamar Elmira kini memberanikan diri menghampiri Bulan, ia duduk di depan Bulan begitu saja.
“Jadi, kamu emang kabur dari rumah?” tanya Kinta to the point.
Bulan mengernyit, ”Jadi, lo nguping gue tadi?”
Kinta mengatupkan bibir dan mengangguk, “Maaf, aku nggak sengaja dengar pas lewat. Benar, ’kan?”
“Kayaknya itu bukan urusan elo deh, nggak semua masalah berhak diumbar,” sungut Bulan tak suka dengan perilaku Kinta.
Gadis di depan Bulan menghela napas, dia perlu ekstra sabar menghadapi sikap menyebalkan Bulan. “Oke aku paham kok, intinya selama kamu ada di panti ini semoga nyaman ya. Makasih tadi udah ngajarin anak-anak Bahasa Inggris, nyari guru untuk itu susah.”
“Emangnya lo nggak bisa?”
“Bisa sih, tapi aku nggak ada waktu. Kuliah dan kegiatan lain itu udah jadi rutinitas, lagian sebulan lagi juga niatnya mau nikah sama Naga.”
Entah kenapa seperti ada sesuatu yang bercokol di hati Bulan mendengar pengakuan itu, terbesit gelanyar aneh yang seakan menyetrumnya untuk membeku sesaat. Ia melihat senyum tipis penuh arti di wajah Kinta, atau gadis itu segaja pamer? Toh, Bulan tak ingin peduli dengan urusan sepasang kekasih itu.
“Gue nggak nanya,” sahut Bulan tak acuh.
“Iya aku tahu, makasih juga udah bikin Elmira semangat lagi, dia itu ... aku nggak bisa bayangin kalau Elmira sedih terus-terusan, penyakit dia nggak mungkin sembuh.”
“Emang dia sakit apaan sampai semua orang fokus ngurus dia.”
“Thalasemia.”
Deg!
Bulan mematung, mendengar nama penyakit yang disebutkan Kinta benar-benar membuat Bulan merinding seketika, penyakit langka itu yang ternyata menjangkiti Elmira. Pantas saja wajahnya selalu pucat, kondisi tubuhnya pun tampak berbeda—tak senormal anak lain di usianya yang sudah delapan tahun, Elmira begitu kecil seperti anak berusia enam tahun.
“Jadi dia rajin tranfusi darah dong?” tanya Bulan tampak peduli.
Kinta manggut-manggut, “Iya. Uang sumbangan dari donatur yang bantu panti ini buat biayain pengobatan Elmira.”
“Oh, gue mau mandi sekarang.”
“Iya silakan, kalau perlu apa-apa jangan sungkan ya.”
“Hm.” Bulan beranjak meninggalkan Kinta yang masih duduk di ayunan, ia masuk kamar seraya memikirkan penyakit yang menggerogoti tubuh mungil Elmira, tiba-tiba rasa sesak menyelip ke d**a Bulan, ia merasa kasihan pada gadis kecil itu. Pantas saja Naga sampai repot-repot mencarinya, menuruti keinginannya demi Elmiar yang benar-benar tidak normal lagi. Hidup tanpa orangtua, tinggal di lingkungan panti dengan segala keterbatasan—lalu dihinggapi penyakit mematikan sejenis Thalasemia pasti membuat Elmira benar-benar menderita.
•••
Sejatinya manusia hanya memiliki sisa waktu yang terbatas
Berperilakulah sebaik-baiknya sebelum ajal datang menumpas.