Masa Lalu yang Kembali

2743 Kata
Seorang pemuda bertubuh porposional itu terlihat sedang memandangi foto seorang gadis. Gadis berambut sebahu yang sedang tersenyum, terlihat di belakangnya latar tempat yang merupakan sebuah taman. “Aku akan memilikimu, Fitri,” gumam pemuda itu, kemudian ia meraih sebuah buku yang terlihat seperti sebuah diari dari atas meja dan membuka benda itu sambil tersenyum-senyum saat melihat namanya tertulis di halaman pembuka. “Bahkan namaku saja begitu indah kamu abadikan di diarimu, Fit. Aku percaya kamu masih mencintaiku.” “Afash!” Suara seorang wanita memanggil pemuda itu dari luar. “Iya, Ma.” Pemuda itu berlari keluar, meninggalkan kamarnya. *** Dua bulan sudah Negeri Sakura berlalu, kini Fitri mulai kembali terbiasa dengan suasana kampung halaman. Tak ada hanami, tak ada musim salju, tak ia lihat lagi Jill yang sibuk melukis dengan ditemani sebungkus rokok atau sebotol alkohol dan tak ada lagi… “Takashi-san....” ujar Fitri lirih sambil membolak-balik album foto yang berisi foto-foto wisudanya dan juga foto-foto lain selama ia tinggal di Jepang. Tak terasa bulir hangat mengalir dari mata Fitri saat ingatan tentang pemuda bermata sipit itu masih mencoba mengusik perasaan. Tak bisa dipungkiri bahwa hatinya menyimpan rasa pada pemuda itu. Rasa yang sangat menyiksa. Kenyataan bahwa pemuda bermata sipit itu harus menikahi wanita lain sangat menyakitkan untuknya. Azan Zuhur berkumandang dari musala kecil di samping rumahnya. Album foto itu pun segera bergabung dengan buku-buku di atas rak. Gadis itu bergerak menuju kamar mandi. Wahai Zat Yang Maha Memberi dan mengambil kembali, yang Maha Menciptakan dan memusnahkan. Yang merajai, mengelola dan membolak-balik hati ini. Ya Allah, sungguh rasa ini tiba-tiba hadir dan hamba tak kuasa mengusirnya, yang tak peduli dengan kenyataan, hadir tanpa perencanaan, tanpa prediksi, tak terdefinisi. Rasa tenang, bahagia dan menyegarkan hati yang dahaga, telah menerobos kokohnya dinding hati. Getaran yang tersimpan untuk pemuda di seberang sana, si pemilik mata yang menjeratnya hingga terkurung di sanubari. Ya Rabbi, apakah ini? Cintakah? Jika memang benar ini adalah cinta yang telah Kau amanahkan, maka berikanlah hamba kekuatan dan kesabaran untuk menanti sampai kehalalan mengantarkannya. Namun, bila hanya akan menjadi debu yang mengotori sucinya hati, maka hamba mohon agar Kau menyapunya dari hati hamba. Ya Illahi Rabbi, tak kan hamba rayu dirinya. Sungguh pun hasrat ini bergelora, izinkan hamba merayu-Mu. Kau yang menciptakannya, Kau pula pemilik hatinya. Ya Allah, ya Rabb, jika ia adalah jodoh yang Kau pilihkan untuk hamba, maka jagalah dirinya, hatinya, dan bimbinglah langkahnya. Bisikkan padanya tentang seorang gadis yang menunggu ia dalam kehalalan, yang mencintainya dalam diam, yang senantiasa menjaga kesucian cinta dan yang menyimpan semua gelora sampai waktu datang menghalalkan semua rasa. Namun, jika ia bukanlah jodoh yang Kau pilihkan untuk hamba, maka berikanlah hamba kekuatan untuk bisa menerima kenyataan tersebut. Hapuslah segala rasa yang hamba simpan untuknya dan datangkanlah seseorang yang benar-benar telah Kau pilihkan sebagai jodoh hamba. Hamba mohon pertemukanlah kami dalam kehalalan. Sesungguhnya hamba tak ingin rasa ini membuat hati hamba berzina. Amin ya rabbal alamin.... Fitri menyeka bulir pengharapan yang ikut serta mengaminkan doanya. Mukena berwarna putih dengan motif bunga-bunga kecil berwarna biru muda itu ia tanggalkan dan digantungkannya kembali. Diraihnya tisu yang teronggok di atas meja berwarna cokelat pekat yang terhampar sangat dekat dengan jendela kamar dan refleks ia memeras air yang ikut keluar dari hidungnya. Tiba-tiba pintu kamarnya berderik. Ia memutar kepala untuk mengetahui siapa yang baru saja memutar handle papan tebal itu. “Ibu.” Fitri mendapati ibunya berdiri di ambang pintu. “Sudah Salat Zuhur?” Ibu berjalan mendekati Fitri dan meletakkan piring berisi pisang goreng di atas meja. Terlihat di tangan kiri ibunya memegang sebuah ponsel. “Baru aja selesai, Bu.” “Ini ada telepon dari Makdang Burhan.” Ibu memberikan ponsel pada Fitri. “Assalamualaikum, Makdang. Apa kabar?” “Waalaikumussalam, kabar baik. Oya, Fit, kapan lu balik ke sini?” tanya Makdang Burhan dari seberang sana. Makdang Burhan adalah kakak dari ibu Fitri yang sudah tiga puluh lima tahun tinggal di Depok , tepatnya di sebelah rumah keluarga Fitri di Depok. Fitri dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke Padang, kampung halaman mereka setelah ia lulus sarjana. “Mmm ... Fitri belum ada rencana balik ke sana, Makdang,” ujar Fitri terlihat ragu. “Lu, pan, udah kelar kuliah, ngapain di kampung? Lu ke sini, dah, gua ada berita penting buat lu,” pinta Makdang Burhan. “Berita penting apa, Makdang?” Fitri penasaran. “Makanya lu ke sini. Gua perlu ngomong empat mata sama lu. Lagian rumah lu udah kagak keurus, nih” “Ng ... nanti Fitri kabarin lagi, ya, Makdang.” “Jangan lama-lama! Salam sama ibu lu, ya, Assalamualaikum.” “Insyaallah, Makdang. Iya ... wa-waalaikumussalam.” Fitri menutup pembicaraan dan mengembalikan ponsel pada Ibu. Ia terlihat bingung saat itu, membuat ibu ikut bingung dengan tingkahnya. “Makdang Burhan menyuruh ke sana ya, Fit?” tanya Ibu. “Iya, Bu.” “Ya udah. Tapi, kok, kamu kelihatan bingung gitu?” “Soalnya Fitri enggak pengin ke sana lagi. Pengin di kampung aja, Bu.” “Loh? Bukannya dulu paling enggak betah di kampung? Kenapa sekarang betah banget, ya? Atau jangan-jangan ada hubungannya sama Afash?” Ibu menebak. “Ibu. Kok, bawa-bawa Bang Afash, sih, Bu? Fitri udah lupa, kok, malah diingetin lagi?” Fitri memberengut. “Ya udah, kalo udah lupa jangan galau terus, dong. Ibu lihat sejak kembali dari Jepang, kamu enggak ceria gitu. Atau jangan-jangan ...?” “Udah, Bu. Jangan diterusin jangan-jangannya. Pasti Ibu udah bosen liat Fitri,‘kan?” Fitri cemberut. “Bukan gitu, Nak. Ibu cuma enggak pengin liat anak ibu jadi monoton di sini. Tiap hari ngelamuuun aja. Terus kalo kamu kembali ke sana, rumah kita jadi ada yang huni lagi. Udah tiga tahun, loh, kita tinggalin.” Ibu tersenyum kemudian mengelus pipi Fitri penuh kasih sayang, kemudian bergerak keluar dari kamar anak sulungnya itu. Fitri bergeming, mencoba mempertimbangkan perkataan ibunya barusan, kemudian ia mengambil sesuatu dari dompet, kartu nama King Iswandi pemuda yang bertemu dengannya di pesawat saat akan berangkat ke Jepang. Sejenak ia kembali tercenung seperti sedang memikirkan sesuatu. “Ya, aku akan ke Jakarta. Aku tidak boleh terus menerus seperti ini,” gumam Fitri mantap sambil memasukkan kembali kartu nama yang ia ambil barusan, kemudian bergerak meninggalkan kamar menuju dapur untuk menemui ibu. Ia dapati ibu sedang fokus mengiris bawang sehingga tak menyadari kehadirannya. “Ibu,” panggil Fitri. “Eh, kamu, Nak. Ada apa?” Ibu menghentikan kegiatannya dan menarik dua buah kursi yang bersandar di meja makan. “Ayo duduk dulu.” Ibu mendorong satu kursi ke arah Fitri. “Makasih, Bu.” Fitri duduk di kursi tersebut. “Fitri cuma mau lanjutin yang tadi, Bu. Mmm ... Fitri setuju buat balik ke Depok lagi, Bu.” Fitri terlihat sangat yakin. “Alhamdulillah. Akhirnya kamu mau. Ng ... jadi, kapan rencananya?” “Kapan, ya, Bu? Mmm ... secepatnya aja, Bu.” “Ya udah, coba rencanakan dan segera pesen tiket.” “Oke siap, Bu.” *** Bandara Soekarno-Hatta. Tempat yang sudah beberapa tahun ini tak disinggahinya. Fitri keluar dari tempat tersebut. Terlihat ia mengelap keringat yang mengalir di keningnya sambil menarik koper berwarna biru—koper yang sama dengan yang dibawanya ke Jepang—kemudian bergerak mencari transportasi yang akan mengantarnya. Dengan sedikit berlari ia mendekati bus dengan merk Hiba Utama yang akan menuju Depok. Ponsel Fitri berdering setelah baru saja dirinya mengenyakkan tubuh di atas tempat duduk, sebuah panggilan masuk dari ibunya. “Assalamualaikum. Iya, Bu. Ini Fitri udah di bus menuju Depok. Oke Bu, waalaikumussalam.” Bus yang ditumpanginya mulai bergerak meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta. Fitri memperkirakan akan terlambat sampai di Depok karena padatnya lalu lintas. Ia yakin akan sampai di sana dalam waktu lima sampai enam jam ke depan, padahal jarak Tangerang menuju Depok sebenarnya hanya menghabiskan waktu dua jam. Beberapa kali Fitri terlihat menguap dan berusaha untuk tidur. Namun, ia tak kunjung tertidur, mungkin karena suasana yang terasa membosankan saat itu, ia mengambil headset dari dalam tas dan memasang benda itu di telinga, berharap lagu yang didengar bisa menjadi pengantar dirinya menuju alam mimpi. Tak terasa waktu enam jam berlalu. Fitri yang baru menyadari bahwa dirinya berhasil mengalihkan rasa bosan dengan bertualang ke dunia mimpi terlihat mengucek-ngucek mata, membersihkan kotoran di sana. Fitri memperhatikan keluar jendela dan menyadari bahwa kendaraan yang ditumpangi itu sudah berada di kawasan kota kelahirannya, serta sudah dekat dengan rumahnya. “Masyaallah. Akhirnya aku ke sini lagi.” Fitri menghapus bulir air bening yang tiba-tiba terbit dari matanya. Apalagi saat kendaraan itu lewat di depan sebuah rumah yang sangat dirindukannya. Bus itu berhenti tepat di depan rumah minimalis bercat putih—di halamannya terdapat pohon rambutan yang sedang berbuah lebat—rumah keluarga besarnya. Ia turun dari bus tersebut dan menarik kopernya dengan ekspresi berbinar-binar, ia telihat sangat bahagia, terlebih saat kedua kakinya melangkah masuk ke pekarangan rumah yang sudah lama ia tinggalkan. Dari kejauhan Fitri melihat Makdang Burhan dan istrinya sedang bercengkerama di depan teras rumah keluarganya, tentu saja mereka sedang menunggu kedatangan Fitri. “Assalamualaikum!”sapa Fitri sedikit berteriak dan melambaikan tangan. “Waalaikumussalam!” Mereka terlihat senang dan membalas lambaian Fitri. Fitri yang masih larut dalam kerinduan pada bangunan serta halaman yang pernah menjadi tempat dia dan keluarga kecilnya—Ayah, Ibu, Aisyah dan Fitri berbagi kasih—tak langsung mendekati Makdang Burhan dan istri. Ia ingin sejenak bertamasya ke masa lalu. Saat Ayah mengambilkan rambutan dan dirinya berebut buah itu dengan Aisyah sampai Aisyah menangis, sehingga Fitri diomeli ibunya. “Ya Allah. Aku benar-benar rindu saat-saat itu,” gumam Fitri sangat terharu. Fitri tak menyadari bahwa Makdang Burhan sedang mendekat ke arahnya. Ia masih terhanyut dalam kenangan masa lalu. “Lagi apa lu? Lagi nostalgia? Ayo masuk dulu, nanti disambung lagi. Sini koper lu gua bawa,” Makdang Burhan membantu membawakan koper, sementara Fitri mengikuti sang paman dari belakang. Etek Maryam, istri Makdang Burhan terlihat sedang mengisi cangkir yang sudah dipersiapkannya di atas meja dengan teh hangat. “Sepertinya kedatangan Fitri ditunggu-tunggu, nih.” Fitri senyum-senyum. “Geer lu! Duduk, dah,” pinta Makdang Burhan. “Oh ya, Makdang ada berita penting apa, sih?” Fitri duduk di samping Makdang Burhan dan meraih secangkir teh hangat yang baru diisi oleh Etek Maryam. “Mau dikasih tahu sekarang? Lu, pan, baru nyampe.” “Iya, ga apa-apa, kok, Makdang. Cerita aja.” Fitri terlihat sangat penasaran. “Sebenarnya gini. Gua mau kasih tau kalo temen lu yang dulu suka main di mari itu loh, sejak lu pulang kampung, terus lu ke Jepang dan sampe sekarang, dia selalu ke sini nanyain elu. Dia demen ama lu, Fit.” Makdang Burhan mulai bercerita. “Si-siapa, Makdang?” Fitri mengedutkan dahi. “Siapa lagi temen laki-laki lu yang suka main di mari?” Makdang Burhan melirik Fitri. “Ba-bang Afash?”tebak Fitri. “Siapa lagi kalo bukan si Afash? Dia demen banget sama lu, Fit. Sampe-sampe batal kawin dan bela-belain nungguin lu.” “Nungguin Fitri, Makdang? Selama tiga tahun?” Fitri sangat heran. “Iya. Gua udah bilang kagak usah nungguin, tapi dia maksa banget. Keukeuh banget anaknya,” lanjut Makdang Burhan. Memori masa lalu kembali menyemburat. Tak terasa air matanya menitik, tetapi Fitri segera menyadari dan berusaha menetralkan kembali perasaannya. Ia tak mengerti apa yang seharusnya dirasakan saat mendengar kenyataan bahwa orang yang pernah ia predikatkan sebagai cinta pertama juga menyimpan rasa padanya. “Bagaimana, Fit?” Pertanyaan Etek Maryam mengagetkan Fitri. “Ba-bagaimana apanya, Tek?” “Lu suka enggak sama dia?” sambung Makdang Burhan. “Oh ya, Fitri mau beres-beres dulu.” Fitri masuk ke rumahnya meninggalkan Makdang Burhan dan Etek Maryam—di teras rumah. “Ni anak ya, tadi kagak sabaran pengin diceritain, sekarang malah kabur.” Makdang Burhan menggerutu. *** Usai Salat Magrib, Fitri merebahkan tubuh di atas kasur. Entah kenapa perasaannya tak tenang. Bayangan Afash terus mengganggu pikiran, membuat jantungnya berdegup kencang. Perasaan bercampur aduk, dan memori kembali memutar kisah manis dengan Afash. Entah bagaimana tiba-tiba ia merasa merindukan kisah manis itu. Masih cintakah dirinya pada pemuda itu? Bang Afash mencintaiku? Benarkah itu? Jika iya, apa yang harus kulakukan? Fitri tercenung. Jantungnya terasa berdegup kencang. Ia benar-benar tak tenang. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya. Terdengar suara Etek Maryam memanggil dari luar. “Fit, ada si Afash, noh, di luar!”teriak Etek Maryam. Ba-bang Afash? Dia datang? Ya, Allah. Bagaimana ini? Fitri benar-benar gugup. Ia belum siap untuk bertemu Afash. Diraihnya jilbab cokelat yang tergantung di pintu kamar dan bergerak menuju teras, menemui pemuda masa lalu itu. Gemuruh jantung semakin menderu saat Fitri kembali melihat Afash, pemuda yang sudah sekian tahun tak pernah ia temui itu kini berada di rumahnya. Pemuda itu terlihat sedang bercengkerama dengan Makdang Burhan dan Etek Maryam. “Fi-Fitri.” Afash terlihat salah tingkah saat gadis yang ia tunggu sudah berada di hadapannya. Begitu pun sebaliknya. Fitri yang ingin bersikap biasa-biasa saja, ternyata juga salah tingkah. “Ng ... ma-maaf lama menunggu, Bang.” Fitri membuka pembicaraan. “Tidak masalah, Fit.” “Wong tiga tahun aja ditungguin.” Makdang Burhan menimpali. Wajah Afash dan juga Fitri terlihat merona karena gugup. Etek Maryam yang duduk di samping Makdang Burhan terlihat cekikikan karena melihat sepasang muda-mudi yang sama-sama salah tingkah. “Fit, lu kenapa cuman berdiri? Sini duduk,” pinta Makdang Burhan. Fitri segera duduk di samping Etek Maryam. “Lama tidak bertemu, ya. Kamu terlihat lebih cantik dengan berjilbab. Oh ya, bagaimana kabarmu sekarang, Fit?” Afash berusaha mencairkan suasana. “Terima kasih. Kabar baik, Bang. Bang Afash sendiri?”tanya Fitri gugup. “Beginilah.” Afash mencoba mengeja senyum. “Oya, kalian ngomong bedua dulu, ya, biar ngomongnya lebih enak, gua mau masuk.” Makdang Burhan menarik tangan Etek Maryam untuk meninggalkan Fitri dan Afash. “Tapii ... Makdang. Enggak baik membiarkan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berduaan, apalagi di tempat gelap seperti ini,” ujar Fitri. “Iya, sih. Ng ... gini aja, dah, lu bedua ngomong di dekat TV di ruang tengah. Gua ama etek lu duduk di meja makan, pan, kagak terlalu jauh, tuh, lagian di sono juga terang, kok. Kalo gua ikutan nimbrung di sini berasa jadi obat nyamuk.” Makdang Burhan melanjutkan langkahnya meninggalkan teras. Etek Maryam, Fitri dan Afash bergerak mengikuti. Seperti yang disarankan oleh Makdang Burhan, Fitri dan Afash melanjutkan pembicaraan mereka di tempat duduk di depan TV, sementara Makdang Burhan dan Etek Maryam menuju meja makan yang letaknya tidak terlalu jauh dari ruang TV—setiap gerak-gerik yang dilakukan di depan TV, maupun di meja makan akan sama-sama terlihat oleh satu sama lain. “Mmm ... Fit, ng ... gimana kuliah S2-nya?” “Alhamdulillah lancar, Bang.” “Syukurlah. Ng ... ka ... kamu ....”Afash menghentikan kalimatnya, ia terlihat sangat gugup untuk melanjutkan. “A-apa, Bang?” Fitri tak kalah gugupnya saat itu. Ia merasakan jantungnya berdegup sangat kencang. Akankah Afash mengungkapkan perasaannya? Fitri benar-benar belum siap jika hal itu benar. “Eh ... ngomong-ngomong kamu masih nulis, Fit?” Afash seakan-akan sedang mengalihkan suasana. “Alhamdulillah masih, Bang.” Fitri melirik Afash—yang terlihat sedang bergeming—cukup lama. Afash sepertinya sama sekali tak memedulikan jawaban Fitri barusan. Ia terlihat sedang berpikir keras. “Oh ya, bo-boleh aku nanya sesuatu?” “Si-silakan, Bang,” jawab Fitri dengan suara gemetar. Kali ini jantungnya semakin berdegup tak keruan. “Ng ... mmm ... ka ... kamu sudah punya pasangan?” Afash terlihat gugup setelah melontarkan pertanyaan itu. “Be-belum, Bang,” ujar Fitri dengan ekspresi tegang seakan menyadari apa tujuan Afash bertanya demikian. Tiba-tiba ponsel di saku celana Afash bergetar. Ia menjawab panggilan itu. Terdengar dari jawabannya ia sedang berbicara dengan atasannya. “Fit, aku pamit dulu, ya. Barusan atasan bilang bahwa beliau sedang menunggu di kontrakanku. Ng ... ngomong-ngomong, aku boleh minta nomor ponselmu, ‘kan?” Afash menyodorkan ponselnya pada Fitri. “Oh iya, bo-boleh, Bang.” Fitri meraih benda tersebut dan mengetikkan nomor ponselnya. “Makasih, Fit. Aku permisi dulu.” Afash bersiap-siap meninggalkan rumah Fitri. “Makdang, aku permisi, ya.” Afash melambai pada Makdang Burhan yang masih duduk di meja makan. “Loh, kok buru-buru?” Makdang Burhan bangkit dari meja makan mendekati sepasang muda-mudi yang sama-sama memasang wajah gugup itu. “Ditelepon atasan, Makdang.” Afash menyalami Makdang Burhan dengan takzim. “Etek mana, Makdang?” tanya Afash. “Barusan ke kamar mandi.” “Titip salam, ya, Makdang.” Afash bergerak meninggalkan rumah Fitri. Tak lama kemudian terdengar deru mobilnya menjauh dari tempat itu *** Makdang : Paman dalam bahasa Minang etek : Bibi
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN