Malam Pertama Pengantin Baru

1538 Kata
Dalam rencana Airish, dia yang akan berkuasa di dalam pernikahan itu. Namun, takdir kembali membolak-balikan keadaan, Airish yang nyatanya dikuasai oleh Alvaro. Hanya satu senjata yang digunakan lelaki itu, akan mengatakan yang sebenarnya kepada orang tua mereka tentang semua perjanjian yang sudah mereka sepakati. Dan itu sangat merugikan Airish. Seperti malam harinya, dengan terpaksa pula, dia harus tidur di sofa. Sedangkan Alvaro meringkuk nyaman di ranjang. Kebalik bukan? Memang begitu keadaanya, dia menderita karena perjanjian yang dibuatnya sendiri. Airish ngomel karena dia harus tidur di sofa, tidam tanggung-tanggung, di malam pertama itu, satengah jam dia gunakan untuk mengomantari tentang Alvaro yang tidak perhatian sama sekali, bahkan membiarkannya meringkuk di sofa sempit. "Kan gak ada di dalam perjanjian soal kamu tidur di ranjang sedangkan saya di sofa. Hanya tertulis tidur terpisah, kan? Ya, sudah! Nikmati saja sofa itu!" Dengan tanpa perasaan, Alvaro melenggang meninggalkan istrinya yang sudah keluar tanduk. Dia bersiul mengejek istrinya, sambil menepuk kasurnya yang empuk. Dengan ujung matanya, Alvaro bisa melihat gadis itu memandang penuh kebencian padanya. " Tapi kalau kamu mau ikut tidur di ranjang saya, boleh loh!" Alvaro menekan kata ranjang saya pada Airish. "Gak usah mimpi deh, Om!" Alvaro turun dari ranjang, dia mengambil ponsel dan remote AC, kemudian balik lagi menuju ke kasur. Ketika membalikkan badan dan berjalan ke atas ranjang, dia tersenyum puas. Tak lupa tangannya menurunkan beberapa derajat suhu ruangan. "Gak usah manyun, saya hanya mengikuti perjanjian kamu!" "Sialan kamu, Om. Gak ada perhatiannya jadi cowok. Ya memang gak ada, tapi gak gini juga kali!" Airish menendang sofa di sebelahnya dengan kekesalan penuh. Dia bolak-balik berbaring, bangun, duduk dan berdiri, mencari posisi yang nyaman agar bisa memejamkan mata. "Pantas saja kamu gak menikah sampai setua ini, ternyata empati terhadap wanita saja gak punya. Sial banget aku nikah sama Om-om menyebalkan dan gak punya hati!" lanjutnya. Airish menyambar jaketnya dan memakai ke tubuh untuk menghalu dingin. Alvaro tidak menanggapi omelan istrinya, meski dia mendengarkan penuh apa yang diucapkan Airish. Cara menahlukkan gadis itu hanya satu, membalikkan isi perjanjian dengan menyiksanya. Jangan dikira karena dia pihak kedua maka tidak bisa berkuasa, kalau hanya membalikkan keadaan saja dia bisa. Tunggu dulu, menyiksa di sini bukan dicambuk atau digantung terbalik, tapi membuat kesal Airish. Sampai dia berpikir jika senjata yang dia buat untuk membatasi diri malah menjadi bumerang untuknya sendiri. Salah siapa bermain-main dengannya. Dan senjata itu adalah surat perjanjian. Alvaro mulai memutar otak, mencari cara agar Airish bergantung padanya sedikit demi sedikit. Memang tidak mudah membuat gadis itu lebih lebih menghargai dia, tapi lelaki itu akan berusaha sebisanya. Dia sadar kalau sebelumnya Airish tidak pernah sama sekali mengenalnya, bahkan melihat wajahnya saja tidak pernah, mungkin pernah tapi tidak menghiraukan, dan sekarang malah mereka jadi suami istri. Remote AC yang diambilnya tadi dia jadikan senjata kedua. Dengan sadar, segera Alvaro menurunkan suhu di ruangan menjadi sepuluh derajat lagi. Dengan begitu, Airish pasti akan menyusulnya ke ranjang. Sempurna! Alvaro mulai berhitung dari satu sampai sepuluh. Dia menebak jika belum sampai sepuluh hitungan, Airish akan menyusulnya. Sudah dapat dipastikan itu. Satu. Terdengar keluhan untuk perubahan suhu yang tiba-tiba menjadi dingin seperti di kutub selatan. Meski dia belum pernah ke sana, tapi Airish menebak jika kamar ini sama dinginnya dengan rumah tempat pinguin itu tinggal. "Ini di luar hujan atau emang rumah pindah ke atas gunung es sih?" Dua Airish bangun dari posisi berbaringnya, dia loncat-loncat mencari keringat. "Gila! Ini AC-nya rusak apa ya? Dingin banget sih, Om!" Alvaro masih diam, dia pura-pura tidur. Dalam hatinya tertawa jahat. Tiga Airish mengomel panjang sambil berjalan ke ruang wardrobe, dan membuka semua almari milik suaminya, mencari selimut di sana. Tidak ada sama sekali, atau dia yang tidak tahu di mana menaruh benda yang paling dibutuhkan sekarang itu. "Gila! Orang kaya gak punya cadangan selimut. Heran kali uangnya buat beli apaan sih, kalau selimut aja gak punya." Empat Langkah Airish terdengar keluar dari wardrobe room. Omelan terus saja keluar dari mulutnya. Alvaro menyembunyikan romote yang dia bawa ke bawah nakas kecil di samping ranjang. Takut omelan Airish jadi makin panjang kalau tahu dia yang membuay suhu ruangan sedingin ini. Lima "Om, jangan pura-pura budeg deh! Kamu ngerjain aku, ya? Mantang-mentang tidur di sofa trus seenaknya aja pake nurunin suhu! Aku mati tahu rasa kamu. Setiap malam aku hantui sampai gak bisa tidur dan nyusul ikut mati!" Buset, ancaman Airish seram juga, ya! Mana disumpahi mati lagi. Sepertinya Airish keturunan cenanyang, dia bisa tahu kalau Alvaro yang menurunkan suhu ruangan itu. Benar-benar keren. Bisa buka jasa prakten dukun nih. Enam Tidak kuat lagi dengan dinginnya, Airish berjalan mengendap-endap ke ranjang. Dia memanggil Alvaro dari suara paling kecil sampai teriak, berharap bisa membangunkan buaya yang sednag tidur lalu dia bisa meminjam selimut. Namun percuma, Alvaro tidur seperti orang mati. Atau memang benar-benar mati? Airish melihat d**a suaminya, dan bernapas lega setelah tahu kalau lelaki itu masih bernapas, dadanya naik turun, aman. Lelaki itu tidak mati karena omelannya. "Tunggu pembalasanku besok pagi, Om!" Setelah memastikan suami pura-puranya sudah tidur, dia naik ke atas ranjang dan menarik selimutnya sampai menutup seluruh badan dan kepala. Alvaro tersenyum, rencanya berhasil. Meski kupingnya perlu dibawa ke THT besok pagi. Kini dia harus berterima kasih pada remote AC yang membantunya menarik Airish sampai mau tidur di sebelahnya. Malam pertama pengantin baru itu diawali perdebatan, dan diakhiri tidur bersisihan meski salah satunya dalam keadaan terpaksa. Tapi cukup bagus untuk rencana pertama yang bisa dibilang berhasil. Alvaro dilawan! 'Besok mau balas dendam? Saya akan lebih dulu maju selangkah!' Alvaro berkata dalam hati. Alvaro tetap pura-pura tidur, sampai beberapa saat, suara dengkuran dari Airish terdengar, pertanda gadis itu sudah mengarungi mimpi. Dia membalikkan badan setelah sebelumnya mengembalikan suhu ruangan menjadi dua puluh derajat. Dilihatnya tubuh kecil yang ditutupi selimut tebal di sampingnya. Debaran di jantung terasa lebih kencang. Satu tangannya terulur, ingin menyentuh wajah wanitanya, tapi dia mengurungkan karena takut Airish jadi terganggu. Lelaki itu menarik kedua ujung bibirnya. Setelah penantian beberapa tahun, akhirnya Airish bisa menjadi miliknya. Dia pantas bersyukur karena bisa menjadikan dewi penyelamatnya itu pendamping hidupnya sekarang. Alvro ingat, beberapa tahun silam dirinya pernah ditolong oleh gadis kecil yang sekarang berbaring di sebelahnya. Dia selalu ingat itu, meski Airish sendiri sudah tidak mengingatnya. Ketika itu, dia menjadi korban perampokan. Meski semua barang-barangnya diambil, Alvaro juga terkena sabetan pisau di kaki dan tangannya ketika melawan. Beruntungnya, para perampok itu tidak membunuhnya. Hanya saja mereka meninggalkannya sendiri di tempat yang cukup sepi di pinggiran kota. Di sekitarnya masih berupa tanah kavling yang belum ada rumah warga. Dia juga lupa kenapa bisa sampai di sana ketika membuka mata, kemungkinan dibius sebelumnya. Dan saat dia ingin mencari bantuan, datanglah anak kecil dengan tas punggung dan kotak P3K. Dia pikir anak itu melihat perampokan yang baru saja terjadi padanya, tapi ternyata salah. Gadis berkepang tersebut baru pulang dari ekstrakulikuler PMR dan tidak sengaja lewat di sana. Dia mencari jalan pintas yang sepi karena lebih cepat sampai ke rumah sebelum terlalu larut malam. "Loh, Om ngapain di situ?" Gadis kecil yang Alvaro ketahui bernama Airish itu menghentikan laju sepedanya dan menghampiri Alvaro yang duduk di bawah tiang lampu. "Ya Tuhan, darah!" Dia panik, terlihat sekali shock dengan yang baru dilihatnya. Alvaro tersenyum. Malaikat penolongnya ternyata seorang gadis kecil baik hati. Dia bertanya nama, tapi si gadis tidak menjawab, dia sibuk mengambil kotak yang dibawanya. Airish segera membuka kotak P3K yang dia letakkan di keranjang depan sepedanya. "Maaf, ya, Om kalau nanti sakit. Aku baru ikut PMR lima kali sih, seringnya bolos. Tapi kalau bersihin luka aja bisa kok." Dia mulai bekerja. Dituangnya alkohol ke kain kasa dan membersihkan darah di luka Alvaro. "Wah harus segera dijahit ini, lukanya dalam." Gadis itu membalut luka dengan kain kasa, meski masih terus keluar darah dari luka tersebut. "Om, tunggu di sini, aku cari bantuan dulu!" Airish segera mengayuh sepedanya menjauh dari sana. Kotak P3K dia tinggal di samping Alvaro. Alvaro kembali sadar dari lamunan saat ponselnya berdering. Kenangan waktu pertama bertemu Airish dia lupakan sejenak. Ia menoleh dan menyunggingkan senyum untuk istrinya. Lalu mengangkat panggilan teleponnya. "Ya?" Dia mengangkat panggilan yang masuk. "Kamu pasti tahu kalau ini sudah hampir tengah malam!" jawabnya dingin. "Maaf, Pak. Tapi ini penting. Paman Pak Varo pergi diam-diam ke luar negeri tadi sore jam lima. Saya baru saja mendapat info dari anak orang-orang saya." Alvaro mengepakan tangannya. Ternyata diam-diam bungsu mamanya itu sudah kabur. Menyesalnya, dia tidak tahu. Benar-benar mengajak perang dia. "Cari tahu ke mana dia pergi!" Setelah mengatakan itu, panggilan dia tutup sepihak. Di saat kasus penggelapan uang perusahaan baru masuk ke pengadilan, tersangkanya melarikan diri. Benar-benar kecolongan dia. Hanya karena fokus dengan pernikahan ini, lalu orang itu memanfaatkan untuk melarikan diri, keren sekali. Patut diacungi jempol gajah. Tidak mau mengulang kesalahan yang sama dengan dua tahun silam, Alvaro juga mengerahkan semua orang-orangnya untuk membawa kembali Amer kembali. Dia harus menghukum lelaki itu. Harus! Bagaimanapun caranya. "Tunggu saja! Aku akan membuat kamu membusuk di penjara, Paman!" Dia tersenyum sinis. Karena setelah diselidiki, dia juga tahu bahwa kematian Kakeknya juga ada hubungannya dengan Amer. Sebagai cucu yang paling dekat, Alvaro tentu saja tidak terima itu. Hanya karena ingin mendapat warisan dengan cepat, dia tega membunuh ayahnya sendiri. Benar-benar bukan manusia lelaki itu! "Aku pastikan, kamu membalas semua yang sudah kamu lakukan pada Kakek dan saudara-saudaramu yang lain!" Dendam membara di dadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN