♫ ♫

1144 Kata
“Bahkan, Mei, aku dengar Kak Nada sering dibentak-bentak sama Kak Rena, loh.” Anggrek juga menambahi. “Lihat saja itu sikap Kak Rena yang masa bodoh, kayak nggak punya malu gitu sudah jadi tontonan semua orang. Yah, nggak heran, sih, dia emang nggak punya malu juga sudah jalan sama om-om.” Mila memerhatikan cowok pembanting kursi yang mulai marah-marah karena baru saja ditolak Rena. Terdengar teriakannya, “Aku udah kasih semuanya buat kamu. Tas, sepatu, kalung. Itu semua nggak murah...” “Lihat, kan?” Anggrek merasa puas. “Dia suka memanfaatkan cowok lain. Pas sudah dapat yang dia mau, cowok itu malah ditinggalkan begitu saja. Itu mereka belum jadian loh, padahal. Rena cuma mau barang-barang bagus.” Mila masih mengamati keadaan di seberang sana. “Apakah Kak Rena yang meminta semua barang-barang itu? Kalau Kak Rena top model, bukannya dia bisa beli semua barang yang dia mau?” tanyanya tanpa sadar. Ketiga pendengar di sana terkejut mendengar pertanyaan Mila barusan. “Bukannya Kak Rena sudah berbaik hati menerima pemberian orang lain meskipun dia bisa beli sendiri? Tentang dia yang menolak cowok itu, berarti kalau mau dibilang baik, Kakak itu harus menerima cinta semua cowok yang nembak dia? Bukannya itu malah membuat dia jadi kayak play girl? Bukankah perlu mempertimbangkan perasaan Kakak itu juga?” Mila mengatakan semua itu masih sambil memandang Rena di seberang sana. “Tentang pertemanan itu, kupikir kalau Kakak itu nggak cukup baik, Kak Dana nggak akan betah berlama-lama dengannya, kan? Kalau hanya Kak Dana yang menjadi teman dekatnya, bukankah artinya orang lain nggak ada yang bisa memahami sifat Kakak itu? Orang lain mungkin mendengarkan gosip murahan itu, makanya Kakak itu nggak mau menjalin pertemanan dengan banyak orang. Terlebih dengan orang yang belum tahu kebenaran gosip, tapi malah menyebarkannya. Bukankah Kakak itu sangat keren, hanya berteman dengan orang yang dia percaya dan memercayainya?” Ketiga pendengar terlihat kesal mendengar penuturan Mila. Sebelum mereka protes, tiba-tiba seseorang yang duduk di belakang meja keempat siswa itu berdiri, lalu mendatangi meja mereka. Gadis dengan name tag Nada Ayunda memberikan setangkai lolipop untuk Mila. Kehadirannya menyita perhatian keempat siswa. “Salam kenal, Mila, aku Nada, teman si gadis yang suka jalan sama om-om itu,” kata Nada setelah dia membaca name tag Mila di d**a kiri seragamnya. Sepertinya gadis itu mendengar penuturan Mila. “Wah, Kak Dana!” teriak Mila kegirangan setelah menerima lolipop. “Kak Dana yang pernah ikut lomba piano ke luar negeri itu, kan? Pak Suyuf kemarin cerita tentang Kak Dana, loh.” Nada terkejut dengan sikap Mila, tapi dia menyukai antusias gadis itu. “Hemm, benar. Tapi namaku Nada, bukan Dana. Kamu kayaknya suka musik juga, ya? Ayo kita bicara di mejaku saja. Sekalian aku kenalkan dengan Ezio, ketua PMC (PHS Music Club).” Mata Mila berbinar, dalam sekejap dia mengangkat bekal dan berpindah meja. Anggrek kesal melihat itu, dua temannya di sana cuma bisa saling pandang sambil mengedikkan bahu. Sementara Mila berbincang dengan Nada, Rena yang semula bungkam menerima cacian si lelaki pembanting kursi, akhirnya mendongak. “Hei, b******n, apa aku pernah memintamu membelikan barang-barang itu?” “Apa kamu bilang? b******n?” “Kalau bukan b******n, lalu apa namanya? Aku sudah bilang nggak perlu membelikan tas, tapi besoknya kamu malah membelikan sepatu, sekarang kamu memintaku menerima cintamu dengan alasan murahan begitu.” Rena menyeringai, tidak sadar telah menyulut emosi lawan bicaranya. “Aku bisa mengembalikan semua yang kamu berikan bahkan lima kali lipatnya. Tenang saja, akan kubeli harga dirimu yang jatuh akibat penolakanku.” Emosi, lelaki itu langsung meraih mangkok bubur Rena dan menuangkan isinya ke kepala gadis itu. “Dasar sombong.” Rena mengepalkan kedua tangannya di meja, menunduk menatap mangkoknya yang sudah dalam posisi terbalik pasca isinya tumpah semua membasahi seragam. “Minta maaf,” ujarnya. “Aku nggak sudi!” kata si lelaki, lalu menendang meja. Seorang siswa dari meja yang tak jauh akhirnya bangkit, mendekati meja Rena. Sayang, langkahnya berhenti karena si lelaki pembanting kursi mengancam, “Aku anggota BBC. Coba saja ikut campur.” Nyali si siswa yang hendak membantu Rena pun menciut begitu saja, dia kembali ke tempatnya. “Kamu─” tepat sebelum Rena menerjang kerah seragam si lelaki biang onar, Arata yang ternyata makan di kantin itu juga berdiri dari tempatnya yang bersebalahan tepat dengan meja Rena. Dia lantas menyampirkan seragamnya ke bahu Rena, menutupi pakaian dalam gadis itu yang mulai transparan karena basah akibat tumpahan bubur. “Beraninya kamu ikut campur!” teriak si lelaki, hampir melayangkan tinju ke wajah Arata andai Altha tidak menahan tangannya. “Sudah, sudah, Senior, jangan buat semuanya semakin kacau,” kata Altha sembari menepuk-nepuk bahu si lelaki biang onar. Sementara itu, Arata membawa Rena ke bagian dalam kantin tanpa mengatakan sepatah kata pun. Rena sendiri hanya menurut ketika kedua bahunya dipegang Arata dan dia digiring menuju toilet yang berada di dalam kantin. “Siapa kamu, hah?” teriak si lelaki ketika Altha malah merangkulnya dengan gaya bak sahabat dekat. Altha menyeringai. “Remi, X IPS 1. Aku sepupu Rey.” Si lelaki terbelalak, menelan ludah. “Re-Rey?” Menyeringai, Altha mengangguk. “Benar. Rey Adjie Raksa, ketua BBC saat ini. Rahasiakan dari orang lain, ya? Rey nggak suka sepupu tersayangnya ini terekspos, tapi kayaknya Rey lebih nggak suka kalau ada anggota gengnya yang mengamuk hanya karena ditolak cewek. Ah, ya, tentu saja dia paling nggak suka sama orang yang ngaku-ngaku sebagai anggota geng BBC.” Si lelaki mengepalkan tangannya yang gemetar. “Maaf,” cicitnya, nyaris tak terdengar. Noval yang melintasi area itu, dan tak sengaja mendengar perkataan Altha, hanya berdecak sebal. “Pembohong,” lirihnya saat menyenggol bahu Altha dengan sengaja. Sementara itu, Rena dibawa Arata ke kamar mandi dalam kantin. “Terima kasih sudah membantu, tapi sebenarnya aku nggak butuh bantuanmu,” kata Rena, berjalan di lorong menuju toilet. “Aku nggak membantu Kakak Kelas, aku membantu cowok tadi.” Rena berhenti melangkah, menatap Arata. “Apa maksudnya itu?” “Kakak Kelas kayaknya bisa bela diri kalau aku lihat dari cara melompati tembok kemarin, jadi, kasihan cowok tadi kalau seandainya harus melawan Kakak Kelas.” Rena refleks menyikut perut Arata, membuat si kacamata mengaduh kesakitan. “Kamu lagi ngajak berantem, ya?” Arata tertawa setelah berdiri normal kembali, apalagi melihat Rena sudah bersiap dengan kuda-kuda dan kepalan tangannya. “Hahaha... Tuh, kan, benar. Kakak kelas bisa mematahkan hidung cowok tadi kalau saja aku terlambat sedikit.” Rena mengernyitkan dahi, sebal dengan tawa Arata yang mengejeknya, tapi kemudian dia mengembuskan napas, dan ikut tertawa pelan. “Kamu itu, ya, menyebalkan.” Arata tersenyum kecil melihat Rena tertawa. “Kakak Kelas memang lebih cocok tersenyum daripada sok galak.” “Hah?” Rena mengalihkan pandangan, merasa panas di pipinya. Mencegah canggung, dia lantas berkata, “Aku akan pinjam bajumu dulu sampai ke kelas. Aku ada baju ganti di tas.” “Pakai saja, setelah ini kelas kami jam olahraga.” “Aku nggak mungkin pakai baju yang ada name tag kamu-nya. Eh?” Rena terkejut saat melihat tidak ada nama Arata di sana. “Belum ada name tag-nya. Sebagian anak kelas sepuluh memang belum kebagian name tag dari pihak sekolah. Maaf kalau bajunya bau keringat, dan mungkin seragamku akan sedikit kebesaran kalau Kakak Kelas yang pakai.” Rena menunduk, merasa malu karena salah sangka. “Kamu tiba-tiba jadi banyak bicara, nggak kayak kemarin.” “Kalau merasa penting, aku pasti bicara. Oh, ya, Kakak Kelas nggak mau segera berganti? Sebentar lagi bel masuk.” Rena mendongak, lalu menendang kaki Arata. “Memangnya siapa yang mengajakku mengobrol di depan toilet?!” teriaknya, lalu masuk ke toilet wanita. Arata tertawa pelan melihat tingkah Rena. “Kakak Kelas, aku tinggal, ya?”   ♫ ♫ ♫
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN