“Karena aku ingin melihatmu bahagia...”
Arata
♫ ♫ ♫
“... Arata benar...”
“Aku memang selalu benar.”
“Eh? Bukannya itu Botak?” tanya Mila sembari menunjuk anak lelaki yang memakai topi dan tengah bermain gitar di sebelah mobil. Anak itu kemudian beralih ke mobil berikutnya yang masih berhenti jalan karena lampu merah.
“Yah, itu Noval. Dia lagi ngamen,” balas Arata cuek.
Mila seketika menoleh ke Arata. “Jangan-jangan Arata sudah tahu sejak dulu?”
“Begitulah.” Arata berpura-pura main ponsel, padahal melirik Noval yang akan segera sampai ke mobil mereka.
Ketika Noval benar-benar berdiri di sebelah mobil mereka, Mila menunggu aksi lelaki itu selama beberapa detik. Tepat sebelum Noval pergi ke mobil selanjutnya, Mila membuka kaca mobil dan tersenyum lebar. “Botak! Aku nggak tahu kalau kamu bisa main gitar. Eh, tapi suara kamu nggak enak, lebih bagus suara Atlan. Kalau main gitarnya lebih bagus kamu.”
Noval memejam sejenak ketika mengembuskan napas. “Berisik!” serunya sembari mendorong wajah Mila yang keluar kaca mobil itu agar kembali ke dalam mobil.
“Eh? Sudah mau pergi? Aku belum membayarmu.”
“Nggak butuh,” balas Noval.
“Botak, kenapa kamu harus mengamen?”
Noval seketika berhenti jalan, mengepalkan tangan ketika melirik Mila yang memandangnya dengan iris berbinar. Dia kembali ke dekat Mila, menampar badan mobil gadis itu. “Kamu pikir aku suka banget ngamen? Kalau aku terlahir kayak kamu, aku juga nggak perlu ngamen.”
“Aku harap nggak ada yang terlahir kayak aku,” balas Mila cepat.
Noval menyesal telah mengatakan kalimat pengandaian barusan. Entah mengapa, dia mendapati kesedihan dalam mata dan nada suara Mila. Dengan perasaan campur aduk, Noval meninggalkan mobil Mila tanpa berniat lanjut mengamen.
“Apa kamu nggak bisa berhenti mencampuri urusan orang lain, La?” komentar Arata, kemudian menutup jendela mobil di sebelah Mila.
Tersenyum kecil, Mila berkata, “Ada rasa kesepian yang terpancar di wajahnya, jadi, aku nggak bisa diam saja.”
Arata melirik Mila yang bertopang dagu, masih menatap ke luar jendela mobil. Dia megembuskan napas pelan. Setelah dua puluh menit perjalanan dengan mobil, Mila tiba di rumah, dan Dean menyambutnya bersama beberapa mainan robot dan rubik di tangan. “Kak Mila sudah pulang? Nggak sakit lagi?” tanyanya. Anak lelaki itu kemudian mengendus bau dari badan Mila. “Kak Mila bau pesing.”
Mila mengangguk. “Tadi Kakak terkencing di celana. Ini mau mandi. Oh, ya, Deden sendirian di rumah? Ibu mana?”
Dengan menutup hidung, Dean berkata, “Namaku Dean, Kak, bukan Deden. Ibu masih di restoran. Dean sendirian di rumah. Tadi Mbak Asih buru-buru pulang, anaknya sakit.”
“Oke, Kakak masuk dulu.”
Dean menghentikan Mila dengan menarik ujung jaket Arata yang melilit pinggang gadis itu. “Habis mandi, kita main, ya?”
Mila memutar badan menghadap Dean, kemudian mengelus pucuk kepala anak itu. “Kakak capek, mau istirahat setelah makan.”
Wajah Dean terlihat kecewa, rubik di tangannya terjatuh dan menggelinding ke kaki kakaknya. Mila hanya melirik sekilas ke rubik lalu meninggalkan Dean yang memungut mainannya. Ketika mendongak, iris cokelat Dean bertemu tatapan dingin Arata. Tanpa kata, abangnya pun meninggalkannya.
Berbicara dengan robot di tangannya, Dean berkata, “Kayaknya kita cuma bisa main berdua lagi sampai ayah atau ibu pulang.”
Tepat setelah mengatakan itu, pintu rumah kembali terbuka. Dean pikir itu ibunya, dan segera berlari ke pintu dengan wajah ceria. “Ibu sudah pulang?” teriaknya, tapi seketika dia diam saat sosok Mahiro yang justru dia dapati.
Mahiro tersenyum. “Ini Abang, bukan ibu.”
Dean mengangguk, mencengkeram kuat mainan robotnya. “A-abang cepat pulang hari ini?”
“Hemm... Dean sudah makan siang?” tanya Mahiro ketika masuk ke rumah.
“Sudah, tadi sebelum kembali ke restoran, ibu masakin buat Dean.” Anak itu mengikuti Mahiro sampai ke paling belakang rumah, karena kediaman Mahiro memang terletak di luar, terpisah dari rumah utama. Ada bangunan lain yang tidak terlalu besar setelah kolam renang. Bangunan itulah markas Mahiro, tempat semua peralatan medisnya tersimpan. Bangunan itu sudah mirip rumah sakit versi kecil. Bahkan fasilitas medis canggih yang ada di sana didatangkan Mahiro khusus dari luar negeri untuk Mila. Hanya Mila yang diizinkan ke bangunan itu karena harus melakukan pemeriksaan badan secara menyeluruh setiap minggunya. Kazuo saja tidak pernah diizinkan ke sana.
“Hemm... Baguslah. Kenapa mengikuti Abang?” tanya Mahiro ketika tepat di dekat kolam renang.
“Hah?” Dean mendongak, menggerakkan mainan robot dengan gestur gelisah, lalu keningnya berkerut. Dia mengalihkan pandangan ke jejeran bunga di taman samping kolam renang ketika bertanya, “Abang akan istirahat di kamar, ya?”
“Iya. Abang capek banget.”
Dean menunduk. “Baiklah,” katanya, kemudian balik badan dan kembali masuk ke rumah utama.
♫ ♫ ♫
Mila rebahan di kamarnya, menatap plafon berhias lampu gantung kerlap-kerlip bentuk bintang kecil. Usai mandi dan makan malam, dia hanya membaca n****+ dan beberapa komik, sampai akhirnya hanya rebahan di kasur. Tatapannya menerawang, seolah menembus atap rumah, lalu dia tersenyum kecil. Beberapa detik kemudian, kakinya mengentak-entak, dan kepalanya menggeleng-geleng pelan. Dia tertawa, lalu duduk. Mengembuskan napas, dia berkata, “Jangan gila, Mila,” kemudian keluar kamar, menuju kamar Arata di seberangnya.
Tanpa permisi, Mila membuka pintu kamar Arata, berteriak, “Ara─” Mila langsung menutup pintu lagi saat melihat abangnya hanya mengenakan handuk dan dalam proses memakai pakaian dalam.
“Kebiasaan ya, La,” kata Arata kemudian saat membuka pintu. Dia sudah memakai celana pendek dan kaus putih gambar tengkorak.
“Hihi, maaf,” kata Mila, yang langsung masuk ke kamar minimalis bernuansa abu-abu itu. Banyak tertempel tulisan-tulisan tentang pelajaran di dinding, ada gambar tabel unsur periodik dan segala macam jenis materi pelajaran pula. Di satu rak khusus dekat nakas dan tepat di depan lemari, berjejer banyak kacamata berbingkai sama, bahkan lensanya pun sama. Mila selalu saja takjub setiap kali melihat ke sana, tak lupa kalimat, “Wah, maniak kacamata,” selalu dia ucapkan sebelum duduk atau tiduran di kasur Arata seperti sekarang.
“Kamu selalu bilang kayak gitu tiap kali lihat koleksi kacamataku.” Arata duduk di kursi depan meja belajar yang sudah dia putar agar menghadap ke kasur. “Terus, mau ngapain ke sini?”
“Nggak ngapa-ngapain. Aku suntuk di kamar.”
Arata sudah menduga itu, maka dia meninggalkan sang adik dan mengambil buku pelajaran. Kalau sudah begini, Mila biasanya akan bercerita banyak tentang n****+ atau manga yang dia baca, atau tentang pasien yang dia lihat di rumah sakit, atau apa saja yang bisa dia ceritakan. Setelah menunggu lima menit, malah tidak ada suara apa pun di kamar itu. Arata melirik sekilas, mengira sang adik ketiduran.
“Kamu tidur, La?” tanya Arata.
“Enggak.”
“Tumben diam saja?”