3. How

984 Kata
“Aku suka musik, karena dia nggak akan pernah meninggalkanku...” Althafa ♫♫♫   "Ya, ampun, kamu ini cerewet banget, ya?" Lelaki itu tertawa. "Sebenarnya kamu sakit apa?" Dia kemudian membuka lebar pintu kamar rawatnya, bermaksud mengundang Mila masuk ke ruang VIP itu. "Sakit? Hahaha... Aku nggak sakit, dan nggak akan pernah merasakan sakit." Mila kemudian memegang kepalanya. "Ah, kepala, ya, ini gara-gara kebentur batu. Si botak yang mendorongku tadi pas di sekolah." Lelaki itu mengernyit, lalu mengedikkan bahu. Masa bodoh saja walau sebenarnya dia agak terusik dengan kalimat Mila. "Kenapa kamu pengen banget mendengar biolaku?" Mila duduk di lantai rumah sakit dalam kamar rawat VIP milik si lelaki, menunggu resital biola dadakan. "Pas tadi aku mendengarmu menggesek biola dan memainkan lagu Twinkle Little Star, tempatku berdiri tiba-tiba berubah menjadi pasir putih di pesisir pantai, terus debur ombaknya menabrak kakiku, dan ada jutaan bintang di langit malam. Walau cuma pernah satu kali ke pantai saat kecil, aku kayak kembali ke waktu itu saat mendengar biolamu. Itu sangat keren." Gadis itu menunjukkan dua jempolnya, sembari tersenyum lebar. Lelaki dengan rambut kuncir satu tersebut mendengus. "Pembohong,” lirihnya. "Aku nggak bohong," balas Mila. "Aku bahkan bisa mendengar suara angin pantai." "Angin nggak punya suara. Yang bisa kamu dengar itu hanya gesekan dedaunan karena tertiup angin." "Enggak! Itu beda. Suara angin itu, ya ... eum ... bagaiamna aku bilangnya ya... kayak... eum... bisa seperti bisikan. Wuus ... begitu." Mila menggerakkan tangannya seperti garis lurus yang lambat, bibirnya sampai mengerucut lucu. "Atau wuzz..." Kali ini dia menirukan gerak lurus yang cepat. "Kadang juga seperti zreet ... zreeet ... begitu." Mila menirukan kedua tangannya seperti memeras sesuatu yang kasar. Si lelaki menutup mulut, badannya bergetar karena menahan tawa. DiIa pikir gadis di depannya cukup aneh. "Oke oke, baiklah. Aku mengerti." "Kadang juga suaranya seperti—" "Iya, aku mengerti. Kamu masih mau membicarakan angin atau mendengar biolaku?" "Biola." Mila menyeringai lebar. Lelaki itu berdeham, "Kalau begitu, dengar." Dia pun mulai menggesek biola. Setiap nada lembut yang tercipta, membuat Mila tertegun. Dia sesekali memejam, tersenyum kecil, dan tanpa sadar mulai bertepuk tangan sembari menggerakkan kepala mengikuti melodi. Ketika gesekan biola berakhir, Mila langsung berdiri dan bertepuk tangan meriah, dia sampai melompat-lompat kecil karena bahagia. "Apa judul lagu tadi?" tanyanya. "Gift of friend." "Oh, aku tahu lagu itu. Bisa mainkan sekali lagi? Sambil bernyanyi." Lelaki biola berdecak sebal. "Kamu meminta terlalu banyak." Mila menangkup kedua tangan di depan d**a, matanya penuh permohonan. "Aku mohon." Lelaki itu menyeringai kecil. Dia pikir semua manusia sama saja; serakah dan tak pernah merasa puas. Mengalihkan pandangan, dia membereskan biola dan bersiap mengusir Mila dari ruang rawatnya. Mila menghentikan langkah si lelaki dengan berdiri di depan pintu. "Maaf, aku terlalu banyak meminta. Jangan usir aku dulu, sekarang giliranku." "Giliranmu?" Sebelah alis si lelaki terangkat. Mila mengangguk. "Aku janji memberikan pertunjukan sulap tadi. Eum, apa kamu punya benda tajam? Pisau, mungkin?" Perkataan Mila sukses membuat si lelaki tercengang, meski begitu, dia tetap mengambilkan pisau pemotong buah di meja dekat brankarnya, lalu menyerahkannya kepada Mila. "Untuk apa pakai pisau?" tanya si lelaki ketika menyerahkan pisau buah kepada Mila. "Aku membutuhkannya untuk pertunjukan." Mila kemudian mengambil pisau yang disodorkan si lelaki, lalu melepas perban di tangan kiri dan menyayat telapak tangannya sendiri. Bukan hanya sekali, tapi tiga kali. Padahal bekas goresan di telapaknya—akibat dorongan Noval tadi pagi—belum kering, tapi dia malah menambah lagi lukanya. Si lelaki terbelalak, merasa ngilu karena pertunjukan Mila. Jantungnya berdebar sangat cepat, hatinya terenyuh dan mulai sedikit sesak. Sebelum gadis di depannya menyayat lagi telapak tangan pucat tersebut, dia menghentikan dan melempar pisau itu jauh-jauh. Suara pisau yang terpelanting ke lantai membuat Mila syok, apalagi pergelangannya dicekal oleh si lelaki. "Apa-apaan itu tadi, hah?!" teriak si lelaki. Tanpa sadar, dia malah sudah mendorong Mila ke dinding sebelah pintu. Mila tertawa pelan. "Tenang saja. Aku nggak merasakan sakit." Jantung si lelaki semakin berdetak cepat ketika melihat Mila tidak seperti sedang bercanda. Dengan kaki kiri, dia menendang kursi tunggu di kanan Mila, memerangkap gadis aneh bin menyebalkan dengan kaki dan tangannya. Dia kemudian menatap tajam gadis itu. "Apa sangat menyenangkan kalau nggak merasa sakit?" Mila memelotot, dengan mulut yang sedikit terbuka. Runtuh sudah senyum yang dia pasang. Menunduk, gadis itu menatap telapak tangannya yang mengeluarkan banyak darah sampai mengotori lantai rumah sakit. Si lelaki kemudian meraih tangan Mila dan menggenggamnya erat. Tak ada perlawanan dari gadis itu, dia hanya pasrah. Ketika mereka melewati koridor antara menuju lobi dan kamar VIP, terlihat Arata berlari-lari. "Mila!" Napas Arata terengah-engah setelah tiba di depan sang adik. Dia sedikit syok melihat tangan Mila berdarah. "Kamu apakan dia?" protesnya pada lelaki yang menggenggam tangan Mila. Dia kemudian memegang lengan kanan Mila, mencoba melepas genggaman tangan Mila dan lelaki asing tersebut. "Minggir!" seru si lelaki. Arata merasakan sensasi dingin di tengkuknya ketika menatap sorot tajam si lelaki. Jantungnya bahkan berdetak amat cepat, membuat benak dipenuhi kilasan masa lalu. Refleks, dia melepas lengan Mila dan sedikit bergeser ke kanan. Ketika orang asing itu membawa Mila pergi, dia hanya bisa mengepalkan kedua tangan yang sempat gemetar, sembari menatap keramik hijau di dekat kaki. ♫♫♫   Mila tertegun menatap lelaki asing di kiri brankar yang sesekali meringis kala dokter mengobati telapak tangannya. Dia tersenyum samar. "Siapa namamu?" tanya Mila. Dokter dan suster di ruangan ikut menatap Mila setelah gadis itu bicara. Keduanya kemudian tersenyum kecil saat melirik si lelaki diam saja. Setelah melakukan perawatan dan sedikit memberi nasihat, dokter dan suster meninggalkan brankar. Tinggal lah Mila dan si lelaki. Lelaki pemain biola menatap Mila datar. Setelah melihat kepergian dokter dnan suster, dia mengembuskan napas. "Apa kamu nggak punya pertunjukan lain selain mencoba mati seperti tadi? Aku, kan, sudah bilang akan memukulmu saja." "Namamu siapa?" tanya Mila, abai pada omelan si lelaki. Si lelaki berdecak sebal, kemudian berkata, "Altha. Althafa Remi." Mila mengulurkan tangan kanan ke hadapan Altha, senyumnya terbit. "Aku Mila. Gita Karmila." Altha mengalihkan pandangan, pura-pura tak melihat tangan kurus pucat di depannya. Dia masih tak habis pikir dengan isi kepala Mila. "Atlan masih sekolah?" "Masih. Namaku Altha, bukan Atlan." "Atlan kelas berapa?" Altha mendengus. "Altha, bukan Atlan. Aku kelas Sepuluh." "Oh, ternyata kita seusia. Atlan sekolah di mana?" "Kubilang namaku—" Altha tiba-tiba tertawa ketika melihat tatapan polos Mila. "Pft, hahahaha... Yah, terserahlah." "Atlan sekolah di mana?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN