[4]~Kekuatan~

1509 Kata
Coba sejenak saja singkronkan pikiran, hati, dan ucapanmu. Ucapanmu bisa saja kau kendalikan dengan pikiranmu. Tapi hati TIDAK. Ia bekerja sendiri dan disanalah kau akan menemukan pemikiran aslimu. -FitriYulita- Maira's POV Setelah aku sampai di lokasi yang dikirim Rian, aku segera memasuki sebuah kafe karena di sinilah titik terakhir tempat yang Rian kirim. Aku mengedarkan pandanganku keseluruhan penjuru kafe. Lalu, pandanganku terhenti di sudut kafe dimana terdapat dua orang pria sedang menyesap minuman.  Aku pun dengan langkah pasti mendekat kearah mereka berkumpul. "Assalamualaikum," sapaku memberi salam. "Wa'alaikumsalam," jawab mereka yang tengah asik terduduk dengan aktivitas masing-masing. "Akhirnya lo datang juga. Gue kira lo nggak bakalan dateng," ujar Rian memulai pembicaraan. "Iya maaf yah telat, tadi gue harus berhadapan dengan Kak Kaira dulu." “Oh gitu, ya udah duduk aja, Ra,” ucap Umar mempersilakan aku duduk di depan mereka.   Awalnya suasana sangat canggung apalagi tingkah Rian tak seperti biasanya. Aku hanya sedikit heran dengannya hari ini, apa itu karena aku yang sebentar lagi akan pergi meninggalkan mereka? Aih PD sekali kau ini, Ra. Aku berdeham untuk mengawali pembicaraanku. "Emm sebenarnya aku ingin berpamitan dengan kalian," kataku akhirnya, yah walaupun mereka sudah tau niatku sedari awal. Aku hanya mencoba mencairkan suasana saja. "Kenapa kau tidak menolak, Ra. Kalau kamu memang tak mau?" sergah Rian tiba-tiba dengan amarah tertahan. Aku hanya bisa tertunduk tak bisa menjawab.  Biarlah aku menjadi pengecut sekarang. karena aku sudah tak bisa merubah semuanya. "Ra, coba pikirkan sekali lagi, tidak semua perintah kau jawab 'Iya' terkadang kau perlu berkata 'Tidak'." Kali ini giliran Umar yang berkata. Yah, perkataan Umar memang benar tak selamanya kita harus menuruti apa kata orang lain. Kita juga harus menuruti kata hati kita sendiri. Tapi apa daya, aku tak bisa .... "Ra, jawab. Bisa jawab nggak sih..." bentak Rian yang kini telah dikuasai amarah. Aku tersentak mendapat bentakan dari Rian. Air mataku langsung lolos dari pelupuk mata, aku sangat tak suka dibentak. Seumur-umur baru kali ini Rian membentakku, padahal biasanya Rian selalu bersikap baik kepadaku. Walaupun ia senang bercanda, tetapi ia selalu menjaga perasaanku. Ia tak akan membiarkan air mataku menetes begitu saja. Jujur aku sangat kecewa kepada Rian, apakah hanya karena masalah seperti ini Rian sampai berani membentakku? Sebenarnya aku sudah menebak pasti akan mendapatkan penolakan dari mereka. Tapi, aku tidak menyangka akan separah ini. Aku takut akan sosok Rian sekarang. "Rian lo bisa tenang nggak sih?! Ira ketakutan," tegur Umar kepada Rian yang telah membuatku menangis. "Maaf." Haya satu kata itu yang sanggup aku katakan. Aku segera bangkit dan meninggalkan mereka. Aku tak mau kondisinya ini semakin parah. Aku hanya ingin berpamitan dan berharap mendapat semangat dari mereka saja, tapi mengapa sebuah amarah yang aku dapatkan? Kemana lagi aku harus mencari perlindungan. Belum jauh aku melangkah keluar dari kafe, derap langkah seseorang mengusik pendengaranku lalu sebuah suara membuat langkahku terhenti seketika.  "Biar kuantar kau pulang." Perkataan itu membuatku semakin ingin menangis saja. Aku sudah bersikap seperti orang jahat kepada mereka, namun mereka masih saja bersikap baik kepadaku.  *** Sedari aku memasuki mobilnya, aku hanya sanggup terdiam. Cukup sulit menceritakan semuanya kepadanya satu persatu. lagipula aku tak mau melihatkan mereka ke dalam masalahku.  Aku sedang memikirkan langkahku yang dimata para sahabatku merupakan sebuah kesalahan. Aku menatap keluar kaca mobil melihat pemandangan di luar sana. Mataku memang melihat keadaan jalanan yang amat ramai, tapi pikiranku tengah berkelana.  Jika aku mengubah keputusanku, keluargaku akan sangat kecewa bahkan bisa saja mereka mengusirku. Tetapi apabila aku mantap dengan keputusanku ini, sahabatku sendiri yang akan membenciku. Ya Rabb, hamba memang hanya sendirian di dunia ini. "Ira, tolong jangan mengambil keputusan secara terburu-buru. Maafkan Rian tadi yang telah membentakmu. Itu semua karena kita sayang padamu, Maira. Kita ingin melindungimu," ucap Umar akhirnya memecahkan keheningan. Aku mendengarkan ucapannya tanpa meresponsnya. Aku bingung ... benar-benar bingung sekarang. Aku tak bisa berfikir jernih. apalagi insiden Rian tadi juga terus terbayang di otakku. "Tak seharusnya kamu memikirkan dan mementingkan orang lain terus menerus. Kau juga hidup, Ra. Kamu pasti punya keinginan dan kamu terkadang juga harus bersikap egois, Ra. Pentingkan hatimu dulu. Karena kau juga pantas untuk bahagia, Ra," kata Umar menasihatiku. Aku tertohok oleh ucapannya. Aku sedari dulu memang tak pernah memikirkan keinginan hatiku. Aku selalu menuruti apa kata orang lain. Aku selalu berusaha menjadi seseorang yang selalu diinginkan orang lain. Aku tak pernah menjadi orang yang aku inginkan sendiri. Sangat menyedihkan bukan? Tapi kali ini aku telah memutuskan, aku tidak bisa mengubah keputusanku. Aku akan terima risikonya. "Maaf, Maira tidak bisa mengubah keputusannya. Maira sudah ikhlas menerima semuanya. Tolong dukung keputusan Ira ini," jawabku dengan masih terisak. Aku memang belum sepenuhnya ikhlas, tapi aku akan mencoba ikhlas. Karena sesuatu yang telah kau putuskan tak bisa seenaknya kau batalkan. Umar menghela nafas pelan. "Baiklah jika itu keputusan finalmu, aku hanya bisa menyemangatimu. Kau harus tetap semangat dan bersabar bagaimana pun kondisinya. Rencana Allah itu lebih indah dari apa yang kita rencanakan. Selalu ingat Allah di setiap keseharianmu, Ra." Aku menatap wajah Umar dari samping. Lagi-lagi perasaan kagum muncul kembali dalam benakku. Aku baru tahu, dia juga sangat dewasa.  lama aku termagu menatapnya, sampai dia menatapku balik. Aku yang ketahuan basah memperhatikkannya pun hanya bisa salah tingkah. Aku mengangguk. "Baik. Tapi bolehkah Ira mengungkapkan sesuatu?" tanyaku kepada Umar. Kurasa memang ini waktu yang tepat untukku ungkapkan semuanya. Sebelum aku pergi. "Umar, sebenarnya aku menyimpan rasa kepadamu, bukan rasa sayang layaknya seorang sahabat, tetapi lebih dari itu." Aku menjeda sejenak ucapanku, mencoba menyiapkan mental untuk mengatakan perkataan selanjutnya. "Aku tahu tak seharusnya aku memiliki perasaan ini. Ini kesalahanku, maaf ... Tapi tak perlu kau membalas apapun. Aku tak mengharap kau membalas perasaanku ini kok. Aku hanya ingin jujur mengenai perasaanku ini kepadamu saja sebelum aku benar-benar pergi," lanjutku akhirnya bisa mengungkapkan perasaanku yang telah aku simpan bertahun-tahun. Meskipun aku tak benar-benar ikhlas menghapus perasaan ini, tapi demi persahabatan, aku rela. Umar terlihat syok mendengar apa yang aku ungkapkan tadi. Ia bahkan sempat menepikan mobilnya untuk mencerna ucapanku. "Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Lupakan saja apa yang aku katakan tadi. Karena aku salah, malah menaruh perasaan kepada sahabatku sendiri. Lupakan semua yang aku katakan, anggap saja aku tidak pernah mengatakan itu," tambahku diiringi senyum kecut. Sungguh sangat miris hidupku ini bukan? harus mengorbankan diri untuk bersama orang yang aku benci dan harus mengikhlaskan hati yang cintanya bertepuk sebelah tangan. Tapi tak apa di balik ini semua aku percaya pasti ada hikmahnya. Allah maha pembuat skenario terindah bukan? Setelah aku mengatakan itu tadi, keadaan kembali canggung dan keheningan lagi-lagi menyelimuti kami. Aku hanya bisa meruntuki diriku sendiri yang telah memiliki perasaan ini.  *** Tak lama kemudian, kami sudah sampai di depan rumah. Seketika aku ingat sesuatu. Bagaimana jika Kak Kaira tahu apabila aku pulang di antar Umar? Ah biarlah tak apa jika nanti Kak Kaira berbuat buruk terhadapku. Aku hanya berniat untuk berpamitan, itu saja. "Terimakasih, Mar. Kuharap kau dan Rian bisa menerima keputusanku ini." Aku menghembuskan nafas berat. "Terimakasih untuk selama ini, makasih telah mau menjadi sahabatku. Dan terimakasih sudah mau mendengarkan isi  hatiku. Tolong sampaikan maafku pada Rian. Aku pamit Assalamualaikum."  Selepas aku menyampaikan itu, aku segera keluar dari mobilnya. Namun saat aku keluar, aku mendapati Rian sedang berdiri di depan rumahku sembari mengamatiku sedari tadi. Sepertinya ia menungguku pulang. "Lama banget sih lo, Ra. Sampai lumutan gue nungguin lo," ucap Rian mengawali pembicaraan. Aku sedikit tertawa, Rian ya tetap Rian. Ia sosok ceria dan penyemangat serta tentunya ia amat humoris. Semarah apapun dia pasti ia akan kembali menjadi dirinya dalam beberapa menit. "Sorry, tadi macet jalannya." Rian sedikit tersenyum. "Gue kesini mau minta maaf. Maaf yah gue udah bentak lo tadi. Gue kayak gini karena ... " Aku semakin dibuat penasaran oleh perkataannya yang menggantung. "Karena apa sih, Yan. Sok misterius lo," gurauku tertertawa melihatnya serius seperti ini. "Karena gue nggak mau kehilangan Lo."   Deg ... Apa maksudnya? "Hah?" "Ah nggak kok udah lupain aja. Gue kesini mau ngasih lo semangat aja. Semangat yah, tetep jadi diri Lo sendiri. Oke? Jangan nakal-nakal. Jangan terlalu baik sama orang. Jangan lupain gue juga pastinya yah." Ucapan Rian membuat hatiku menghangatkan. Sungguh orang seperti Rian ini pasti hanya ada satu di antara seribu orang. "Aish apaan sih bisa aja deh. Tapi, Thanks yah," balasku sangat senang. "Ada apa nih, kok gue nggak di ajak," celetuk Umar yang ternyata sedari tadi ikut mendengarkan. "Lo nggak boleh ikutlah. Ini acara gue sama Maira," kata Rian yang sukses membuatku tertawa. "Dasar anak kecil," gerutu Umar yang ikut tertawa juga.   Aku akan merindukan suasana seperti ini. Keceriaan ini, canda tawa ini, dan perhatian mereka. Aku tak akan melupakan mereka, mereka sangat berarti bagiku. Merekalah penyemangatku. "Ah udah ah capek, gue mau masuk yah takut dimarahin." Kedua pria tadi pun mengangguk dan tersenyum lembut. "Jaga diri baik-baik yah. Kami akan merindukanmu." "Makasih kakak-kakaku. Aku akan merindukan kalian. Maira pamit. Sampai jumpa," ucapku berpamitan kepada mereka. Mataku telah berkaca kaca, berat memang meninggalkan orang yang kita sayangi. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Itulah salam terakhir yang aku ucapkan kepada mereka sebelum aku benar-benar pergi.   Akupun memasuki rumah perlahan. Aku memastikan dulu bahwa sekarang sedang tidak ada orang dirumah. Karena aku tidak akan menjamin keselamatanku apabila ternyata Kaira ada di rumah. Aku bernafas lega begitu mengetahui tidak ada orang di sini. Dengan riang aku melangkahkan kakiku untuk pergi menuju kamar. Tapi, baru satu langkah aku melangkah.   Pyar...   Aku langsung langsung terhuyung ke lantai. Cepat-cepat bau anyir menyerang indra penciumanku. Rasa perih terasa pada pelipisku. Tanganku pun terangkat memegang pelipisku dan ternyata darah telah mengalir dari pelipisku. Tak lama kemusian pandanganku semakin memburam dan semakin pusing aku rasakan. "Jangan pernah bermain-main dengan seorang Kaira." Samar-samar aku mendengar perkataan itu dan akhirnya kegelapan menelanku.  TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN