Bab 3. Kejadian di Apartemen Luka

1388 Kata
"Apa Anda yakin dengan pesanan Anda, Tuan?" tanya Jovanka membelalak. Ia sudah sangat kesal dengan makanan Luka dan sekarang ia juga harus memesan minuman aneh! "Datang ke Coffee Dream, mereka sudah biasa menerima pesananku. Kau hanya harus memesan,” kata Luka santai. “Oke,” ucap Jovanka. “Saya akan datang dengan kopinya.” Seperti sebelumnya, Luka tidak merespon ketika Jovanka mengantarkan kopinya. Luka hanya memintanya untuk keluar dan makan siang di kantin. "Wah, siapa juga yang tahan bekerja berlama-lama dengan Luka jika seperti ini terus," pikir Jovanka dalam hati. Baru satu hari ia sudah merasa diperbudak. Jovanka melirik meja Devon ketika ia kembali dari kantin. Ia sudah ingin bercerita perihal pekerjaannya yang tak menyenangkan. Namun, Devon tak kunjung muncul hingga waktu istirahat hampir habis. Jovanka hendak membuka aplikasi game, tetapi ia teringat bahwa Devon tadi terlihat sedang sakit perut. Mendadak ia jadi khawatir. Cepat-cepat, Jovanka meninggalkan mejanya. Ia melongok ke ruang karyawan yang ada di lantai bawahnya, tetapi batang hidung Devon tidak terlihat. Karena tak memiliki pekerjaan yang harus dilakukan, maka ia pun mulai berjalan untuk mencari di mana Devon. Ia mencoba menelepon, tetapi panggilannya tidak dijawab "Di mana sih Devon?" tanyanya dalam hati. "Apa dia pingsan di suatu tempat? Apa dia ke klinik?" Hingga akhirnya Jovanka tiba di dekat tangga darurat. Ragu-ragu, Jovanka membuka pintunya karena ia mendengar suara aneh di balik pintu tersebut. Ia pun menyusupkan kepalanya di antara kusen dan daun pintu, lalu menajamkan telinganya. Suara itu mirip sekali dengan orang yang sedang merintih kesakitan. "Apakah itu Devon?" batin Jovanka cemas. Jovanka menatap ke bordes di bawahnya dan mendapati Devon sedang berciuman panas dengan seorang wanita yang mengenakan seragam petugas cleaning service. Desahan itu terdengar makin keras saat Devon mencumbu leher dan memberikan sentuhan di bagian-bagian tubuh wanita itu. "Wah, dasar sinting! Aku kira dia sedang sakit!" Jovanka menutup pintu dengan hati-hati karena ia tak ingin mengganggu pasangan tak tahu malu itu. Sembari berjalan ke mejanya ia pun berpikir, "Jadi pacar Devon adalah seorang petugas cleaning service? Ah, aku baru tahu." Jovanka memang sudah berpacaran selama satu tahun dengan pacarnya, tetapi ia belum pernah merasakan yang namanya ciuman. Apalagi b******u panas seperti Devon. Ia menggeleng pelan membayangkan pacarnya yang beberapa kali mencoba merayunya, mengajaknya berciuman atau bahkan bercinta. Namun, Jovanka selalu menolak karena merasa mereka belum pantas. Jovanka tiba-tiba merasa bodoh dan sangat polos. Padahal ia sudah 24 tahun! Pantas saja teman-temannya sering menjulukinya wanita kolot. Jovanka beberapa kali menepuk keningnya dengan gemas. “Apa yang kau lakukan?” tanya Devon yang mendadak sudah berdiri di depan mejanya. “Tidak ada,” jawab Jovanka gelagapan. Ia berpura-pura menatap layar komputernya. “Santai saja,” ucap Devon sambil mengetuk meja Jovanka. “Apakah Luka membuatmu kesusahan?” “Sudah pasti. Kurasa aku tak perlu menceritakannya padamu,” kata Jovanka yang masih berdebar usai melihat pemandangan yang tak seharusnya itu. “Kukira kau sakit, ternyata kau sangat sehat!” "Aku baik-baik saja." Devon berdusta. Ia sudah menahan rasa sakit akibat radang usus buntu sejak beberapa hari yang lalu. Ia tidak bisa meninggalkan Luka karena hanya ia yang diandalkan olehnya. Ia berharap Jovanka bisa segera beradaptasi sehingga ia bisa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. *** Setibanya di rumah, Jovanka membaringkan tubuhnya di ranjang. Ia tidak tinggal serumah dengan ibunya sejak setahun yang lalu. Selain karena ia tidak begitu dekat dengan ayah Devon, ia juga ingin menjadi wanita yang lebih mandiri. Devon lah yang tinggal dengan mereka meskipun sesekali tidak pulang. Belum lama Jovanka berbaring sambil meratapi pekerjaannya yang sangat mengesalkan, tiba-tiba ponselnya meraung. Dengan malas, ia menariknya keluar dari dalam tas. “Jo, tolong aku,” ucap Devon dengan suara lemah di seberang. “Kau benar-benar sakit?” tebak Jovanka yang kini terduduk. “Ya. Aku akan dioperasi sebentar lagi,” kata Devon. “Hanya radang usus buntu!” Ia menambahkan dengan cepat karena tak ingin Jovanka berteriak histeris. “Jo, dengar!” “Kau ada di rumah sakit mana? Aku ke sana sekarang,” ucap Jovanka yang menahan paniknya meledak. “Tidak, jangan ke sini. Aku bersama Arilla,” kata Devon. Jovanka memutar bola matanya. Ia yakin itu wanita yang tadi berada di pelukan Devon. “Pergi saja ke Grey Stone. Ambil setelan untuk Tuan Luka dan antarkan ke apartemennya. Malam nanti ada pertemuan dengan klien. Kau harus menemaninya karena aku tidak bisa datang,” pinta Devon. “Kenapa harus aku? Apa tidak ada orang lain? Apa katanya jika aku tiba-tiba datang ke apartemennya?” Jovanka bergidik membayangkan Luka yang terkaget dengan kedatangannya. “Aku kirimkan berkas untuk pertemuan nanti malam. Pelajari selama kau di jalan. Plis, jangan menolak, aku sedang sekarat!" desak Devon. Jovanka menggigit bibirnya lalu mengangguk pelan. “Oke, deh!” “Bagus, sekarang pergilah. Aku kirimkan semua yang kau perlukan termasuk alamat dan passcode apartemen Tuan Luka.” Jovanka menutup panggilannya Devon. Dan tak lama pesan beruntun masuk ke sana. Ia membaca ke mana ia harus pergi lebih dulu. Mengambil setelan untuk Luka, ke rumahnya dan ikut ke sebuah pertemuan di hotel. Devon: Ingat, Jo! Jaga jarak dengan Tuan Luka, jika kau tidak mau celaka. Kau harus berada setidaknya 1 atau 2 meter darinya. Jovanka mendengus kesal saat membaca pesan terakhir dari Devon. Ia pun mulai berpikir dalam hati, "Sebenarnya apa yang akan terjadi jika dia berdekatan dengan Luka? Bagaimana jika tidak sengaja bersentuhan? Benarkah pria tampan itu sama sekali tidak melakukan kontak fisik dengan semua orang? Bagaimana dia hidup selama ini?" Jovanka membaca berkas kiriman dari Devon mengenai pertemuan malam nanti sambil berjalan. Luka harus mendapatkan kerja sama dengan seorang model yang akan menjadi bintang iklan supermarket dan mall mereka. "Ini tidak sulit," gumam Jovanka. "Aku sudah terbiasa melakukan ini sebelumnya." *** Jovanka telah mengambil setelan Luka dari gerai Grey Stone. Dan kini, ia berdiri di dalam lift yang akan membawanya ke puncak gedung. Rupanya Luka tinggal di sebuah apartemen mewah. Jovanka tidak terkejut karena Luka adalah CEO yang sangat kaya raya. Ketika keluar dari lift, Jovanka berpapasan dengan seorang wanita setengah baya berpakaian mewah. Ia meliriknya dengan penasaran. "Siapa wanita itu? Cantik sekali meskipun sudah ibu-ibu." Setibanya di depan pintu apartemen Luka, Jovanka ragu untuk mengetuk atau langsung masuk. Ia sudah mendapatkan passcode dari Devon. Namun, ia memutuskan untuk mengetuk dan memencet tombol bel. Ia melirik jam dan sadar waktunya hanya tersisa kurang dari 1 jam. Karena terdesak waktu, Jovanka memutuskan untuk menekan passcode dan langsung menerobos masuk. "Wah, apa ini rumah berpenghuni?" gumam Jovanka. Jovanka cukup kaget karena sudah membayangkan rumah mewah dengan aneka furnitur mahal. Namun, rumah itu seperti kosong. Hanya ada satu set sofa di ruang depan. Bahkan tak ada lukisan atau guci di sini. "Rumah ini benar-benar mengerikan," pikirnya. "Apa benar Luka tinggal di sini?" Kemudian ia ingat perangai Luka yang tidak bisa berdekatan dengan siapapun. "Yah, rumah hampa seperti ini pasti cocok untuknya." “Tuan Luka,” panggil Jovanka seraya melongok ke atas dari bawah anak tangga. Tak ada jawaban. "Di mana dia?” Jovanka mengedarkan kedua matanya hingga ia terpaku pada sosok Luka yang tergolek di lantai dapur. Dadanya tidak bergerak sama sekali. Dia tidak bernapas! “Astaga!" pekiknya seraya mendekat. Ia menghentikan langkah di sebelah konter. "Bagaimana ini?” Jovanka ingat pesan dari Devon agar ia menjaga jarak dari Luka, tetapi Luka tidak bergerak! "Tuan Luka, Anda baik-baik saja?" monolog Jovanka. Ia merasa bodoh, jelas Luka sedang tidak baik-baik saja! Jovanka membiarkan setelan Luka terjatuh di lantai. Ia harus menolongnya. Jovanka berlutut di sebelah tubuh Luka lalu mengulurkan tangannya ke leher Luka. Ia memeriksa denyut jantung pria itu, masih ada, tetapi sangat lemah dan Luka hampir tidak bernapas. Ia segera menekan d**a Luka untuk melakukan CPR. “Oh, ayolah!” desis Jovanka. Ia menunggu respon Luka, tetapi sama sekali tidak ada. "Plis, bangun!" Jovanka mulai ketakutan jika sesuatu yang buruk terjadi pada Luka. Ia bertambah ngeri jika ia yang disalahkan. Jovanka menekan kembali d**a Luka lalu dengan hati-hati ia menutup lubang hidung Luka dan membuka mulutnya, ia memberikan napas buatan dan kembali menekan. Keringat bercucuran di pelipis Jovanka karena ini cukup membuang tenaganya. Jovanka hampir meniupkan napas ketiga ke bibir Luka. Namun, ia menghentikan aksinya karena tiba-tiba pria itu tersengal hebat, membuka mata dan mereka bertatapan. Jovanka masih duduk di samping tubuh Luka dengan tangan menumpu dirinya di atas d**a Luka dan wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajah Luka. "Apa yang kau lakukan padaku?" Suara serak Luka membelah ruangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN