Bab 1. Bertemu Bos Aneh

1357 Kata
"Aah!" Jovanka terengah-engah. Setelah berlarian dari pintu gerbang menuju lobi, akhirnya ia merasa lega karena bisa tiba di gedung Heamin Grup tepat waktu. "Kau hampir terlambat! Ayo cepat naik!" Jovanka mengangguk. "Sori, aku kesiangan tadi." Jovanka mengatur napasnya. Ia menyusul langkah cepat Devon, kakaknya yang tak lain adalah asisten pribadi CEO di Heamin Grup—Luka Maximilian. "Aku tak akan kena marah, 'kan?" "Kita lihat saja nanti," tukas Devon. Ia melirik Jovanka yang baru saja mengeluarkan cermin dari tas kecilnya lalu memiringkan wajah di depan cermin itu. "Jangan pakai lipstik lagi! Kau sudah cantik." Jovanka hanya mencebik. Ia memutuskan untuk menuruti sang kakak karena hari ini adalah hari pertamanya bekerja di sini. Ia akan segera bertemu dengan Luka, pria aneh yang sudah sering ia dengar beritanya. "Ayo masuk ke ruangan tuan Luka. Perhatikan cara bicaramu padanya dan jangan sembarangan. Mengerti?" tanya Devon ketika mereka berdua baru saja keluar dari lift. "Ya, tenang saja." Jovanka membuang napas panjang. Ia meyakinkan dirinya, ia harus bisa menghadapi Luka. Yang Jovanka tahu, Luka bukanlah pria yang mudah karena kabarnya dia tak tersentuh. Atau lebih tepatnya, Luka tidak mau melakukan kontak fisik dengan siapa pun. Entah sejak kapan, entah karena apa? Yang jelas pria 29 tahun itu sangat menghindari bersentuhan dengan orang lain. Namun, karena kakaknya sudah cukup lama bekerja untuk Luka, akhirnya ia mau mencoba melamar pekerjaan ini. Ia benar-benar sedang butuh pekerjaan setelah ia dipecat dari perusahaan lamanya. Devon mengetuk pintu ruangan Luka. Sementara di belakangnya, Jovanka merapikan rambut sekali lagi lalu mengikutinya masuk. "Selamat pagi, Tuan Luka," sapa Devon saat mereka berdua memasuki ruangan besar yang hanya berisi satu manusia. Jovanka mengedarkan matanya dengan cepat. Ia yakin, ia baru saja bertemu tatap dengan Luka. Jadi, ia buru-buru melempar senyum agar terlihat ramah di depan calon bosnya. Luka yang baru saja mengangkat wajahnya langsung terbelalak melihat sosok Jovanka di belakang Devon. "Siapa dia?" Suara berat Luka seakan menggema di ruangan. "Perkenalkan, Tuan. Dia adalah nona Jovanka Oswald, sekretaris baru Anda," jawab Devon. Devon mengedikkan kepalanya pada Jovanka yang dengan sigap menjejeri tubuhnya. Jovanka tak melepaskan senyuman lalu membungkuk empat puluh lima derajat pada Luka. "Selamat pagi, Tuan! Mulai hari ini, saya akan bekerja sebagai sekretaris Anda. Anda bisa memanggil saya Jovanka," ujar Jovanka memperkenalkan diri. Luka semakin melebarkan kedua matanya. Ia melotot tak percaya pada Devon yang memasang tampang datar. "Kenapa kemarin kau tak mengatakan bahwa dia perempuan?" tanya Luka pada Devon. Jovanka menelan keras dengan respon Luka. Sementara di sebelahnya, Devon mencoba tetap tenang. Padahal dalam hatinya, Devon terus mengumpat. "Saya berusaha mengatakannya, Tuan. Tetapi Anda agaknya buru-buru untuk memperkerjakan seseorang yang mau menjadi sekretaris Anda." Devon menekankan kata menjadi karena memang sangat sulit mencari sekretaris untuk Luka. Luka berdecak kesal. “Batalkan kontraknya. Berikan uang pembatalan pada nona itu dan suruh dia segera pergi dari sini.” Jovanka kini membelakak. Ia menatap Devon kecewa, lalu mengalihkan pandangan pada Luka yang sama sekali tidak menatapnya. Dalam hati Jovanka mulai berspekulasi, "Kenapa pria sombong itu langsung mengusirku seperti ini? Dia menolak sekretaris perempuan? Apakah dia gay? Jangan-jangan dia hanya menolak melakukan kontak fisik dengan perempuan?" "Tapi Tuan, akan sulit mencari seseorang yang pas untuk dijadikan sekretaris Anda." Devon mencoba melobi Luka karena merasakan tatapan kecewa Jovanka. Ia tahu, tujuan Jovanka bukan hanya uang meskipun uang ganti rugi pembatalan kontrak jauh lebih banyak daripada gaji tahunan yang akan didapatkan Jovanka. Jovanka meremas tangannya, ia benar-benar membutuhkan pekerjaan. Ia tak mau dinikahkan dengan pria yang tak ia cintai jika terus menganggur. Jadi, ia tak mau diusir begitu saja dari sini. Ia harus mendapatkan pekerjaan! "Aku tak peduli. Itu 'kan tugasmu! Suruh dia pergi!" perintah Luka dingin. Jovanka tak tahan lagi, ia tidak mau menerima penghinaan ini. Setelah menganggur selama hampir 6 bulan—setelah dipecat dari perusahaan lama tempatnya bekerja—ia sangat berharap bisa mendapatkan pekerjaan ini. Yah, meskipun ia punya tantangan karena calon bosnya terbilang pelik. “Saya butuh pekerjaan ini, Tuan,” ucap Jovanka yang kini maju beberapa langkah dan kedua tangannya tiba-tiba menyentuh meja Luka. Devon dan Luka sama-sama terkaget karena ulah Jovanka yang mendadak. Devon tahu, ia tidak boleh melewati garis batas yang sudah ditetapkan oleh Luka. Sementara Luka, spontan memundurkan kursinya hingga menabrak dinding di belakangnya. “Jovanka!” panggil Devon seraya menarik pinggang gadis 24 tahun itu. "Jangan mendekat ke situ!" “Kau belum memberitahunya?” teriak Luka yang sangat marah. “Maaf, Tuan!” ucap Devon yang berhasil membawa Jovanka ke tempat berdirinya semula. Jovanka sama sekali tak bisa mengerti dengan situasi yang baru saja terjadi. Ia sendiri sangat kaget dengan reaksi Luka ketika ia mendekat tadi. "Jadi, benar pria ini tak bisa didekati? Padahal ada meja di antara kami. Dasar aneh!" “Jangan batalkan kontraknya,” ucap Jovanka memohon. "Saya butuh pekerjaan, Tuan!" Luka menggeleng. “Usir dia, Devon! Atau aku akan memecatmu sekalian!” Devon mengembuskan napas panjang dari mulut. Ia tahu ia tidak akan pernah dipecat. Mendapatkan sekretaris baru saja sangat susah bagaimana bisa Luka membuang asisten pribadinya? "Saya mengenal secara pribadi Nona Jovanka, dia adik tiri saya. Saya yakin dia pasti bisa bekerja sebaik saya," bujuk Devon lagi. Di sebelah Devon, Jovanka mengangguk untuk meyakinkan meskipun Luka terlihat tidak tertarik untuk mempekerjakannya. "Kau tahu, aku tidak menginginkan seorang perempuan ada di dekatku!" hardik Luka. "Ya. Tapi Anda tidak punya pilihan, Tuan. Karena sifat Anda yang ... cukup menarik." Devon hampir mengatakan bahwa sifat Luka sangat aneh, tetapi lekas mengurungkannya. "Sangat sulit mendapatkan sekretaris baru. Jadi, lebih baik biarkan adik saya bekerja di sini. Lagipula dia hanya perlu melakukan perkerjaan kecil." "Tidak!" gertak Luka yang kini sudah kembali duduk di depan mejanya. "Bagaimana jika Anda melihat dulu kinerja nona Jovanka? Anda bisa menilainya setelah dia bekerja di sini." "Tidak perlu. Batalkan saja kontraknya sekarang juga!" perintah Luka. "Bagaimana jika memberikan 6 bulan untuk adik saya?" tanya Devon yang masih mencoba untuk melobi Devon. "Tidak! Itu terlalu lama," tolak Luka. "Bagaimana jika Anda memberi saya waktu 4 bulan?" tanya Jovanka menyela obrolan Devon dan Luka. Ia merasakan tatapan dingin Luka sekarang. "Tuan Devon benar, Tuan. Sebaiknya Anda melihat kemampuan saya lebih dulu. Saya sudah sangat berpengalaman, Tuan." Luka tampak berpikir sembari menatap Jovanka dan Devon bergantian. Ia mengakui dalam hati dan mulai berpikir, "Jika bukan Devon yang mengurusku selama ini, aku tidak akan bertahan menjadi CEO. Dan sekarang aku juga butuh seseorang untuk duduk di depan ruanganku. Mungkin tak ada salahnya aku mencoba memiliki sekretaris perempuan kali ini. Lagipula, dia adik Devon." "4 bulan tidak akan lama, Tuan. Dan selama waktu itu, kita bisa mencoba mencari seseorang yang pas untuk menjadi sekretaris Anda," kata Devon penuh harap. Ia tak ingin Jovanka kecewa dan ia juga tak ingin direpotkan untuk mencari sekretaris baru dalam waktu singkat. "Baiklah. 4 bulan dan tidak lebih." Jovanka menggigit lidahnya untuk menahan diri agar ia tak bersorak. Kedua tangannya terkepal erat karena ia begitu bersemangat sekarang. 4 bulan memang bukan waktu yang lama, tetapi setidaknya sekarang ia bukan pengangguran. "Terima kasih, Tuan." Devon tersenyum tipis pada Jovanka. "Saya tidak akan mengecewakan Anda, Tuan," ujar Jovanka. "Terima kasih, Tuan." Luka mengangkat alisnya. Ia berharap dalam hati semoga keputusannya tidak salah. "Apa yang kau lakukan tadi adalah hal tak boleh kau ulangi. Jangan pernah melewati garis itu." Jovanka menatap garis panjang lurus yang ditunjuk Luka dengan pulpennya. Garis itu berada di depan meja kerja Luka. Ia baru mengerti bahwa itu adalah garis batas yang dimaksud Devon. Yah, ia harus menjaga jarak setidaknya 1 hingga 2 meter dari Luka karena ia dilarang menyentuhnya. "Ya, Tuan. Saya minta maaf. Saya tidak akan mengulanginya lagi." "Devon, kau sudah memberitahu nona Jovanka apa saja yang harus ia kerjakan selama di sini?" Luka menatap lurus Devon. "Saya akan jelaskan pada nona Jovanka sekarang." Devon sengaja tidak memberitahu Jovanka sejak kemarin karena ia tak ingin adiknya menolak lowongan pekerjaan ini. Devon mengulurkan selembar kertas pada Jovanka agar gadis itu bisa membacanya. "Kau bisa membuat kopi untuk tuan Luka di pagi hari dan pekerjaan selanjutnya ... kau bisa membacanya sendiri. Itu bukan pekerjaan yang sulit." Jovanka membaca setiap larik daftar tugas yang harus ia lakukan mulai hari ini. Ia tersenyum getir karena itu sama sekali tidak seperti ia bayangkan. "Kalian bercanda bukan? Ini yang harus saya kerjakan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN