Tepat pukul tujuh pagi Nyonya Hafsah dan Jingga mengantar Batara yang akan berangkat ke kantor hingga depan pintu rumah. Ketika hendak berpamitan pada Jingga, Batara berjongkok di depan putra kecilnya itu. Tak lama ia menggendong Jingga dengan penuh kasih sayang.
"Apakah Dad akan pulang larut malam ini? Aku mohon pulang cepat ya. Aku ingin mendengar permainan biola Dad lagi," ujar Jingga.
Batara tersenyum mendengar celotehan putranya itu. "Ya, akan Dad usahakan pulang lebih awal hari ini," jawab Batara lembut sambil menyerahkan anak tampannya itu pada Aruna, yang dengan sigap maju selangkah melewati Nyonya Hafsah yang tengah berdiri di depannya untuk menerima Jingga dari tangan Batara. Tanpa sengaja kulit tangan mereka bersentuhan. Batara tersenyum tipis sementara Aruna tertunduk karena malu. Dia mundur selangkah dan kembali berdiri di tempatnya semula sambil menggendong Jingga.
Adegan itu cukup membuat Nyonya Hafsah tercengang. Biasanya Batara menyerahkan Jingga padanya setelah digendong ayahnya. Mungkin karena sekarang sudah ada pengasuhnya, jadi Batara menyerahkan Jingga kepada Aruna. Begitu pikir Nyonya Hafsah tak mau ambil pusing pada sikap Batara pagi ini.
"Aku berangkat, Ma," pamit Batara pada mamanya.
"Ya, hati-hati!" balas Nyonya Hafsah santai sambil mengangkat tangannya hingga ujung jemarinya sejajar pundaknya.
Batara mengangguk. Namun pandangannya bukan ke arah Nyonya Hafsah melainkan melirik Aruna yang tengah tertunduk sopan sebagai penghormatan pada majikannya yang hendak keluar rumah. Batara berbalik badan dan menuruni tangga beranda depan menuju mobil yang sudah siap mengantarnya ke kantor.
Ketika mobil baru saja tancap gas Nyonya Hafsah langsung berbalik badan dan masuk rumah begitu saja, disusul oleh Bu Menik. Tanpa menunggu mobil yang membawa anak semata wayangnya itu benar-benar telah keluar rumah. Sedangkan Aruna yang sedang menggendong Jingga masih berdiri di beranda menunggu sampai mobil yang membawa Batara benar-benar telah hilang dari pandangan. Batara tidak tahu soal itu. Ia pikir semua orang rumahnya akan kembali masuk rumah setelah mobilnya melaju meninggalkan beranda depan, seperti pagi-pagi sebelumnya. Setelah mobil Batara menghilang dari pandangannya, barulah Aruna menyusul masuk rumah sembari membawa Jingga yang masih dalam gendongannya.
“Pengasuh baru Tuan Jingga punya sopan santun yang tinggi ya. Dia bahkan nggak masuk rumah sebelum mobil yang membawa tuannya tidak kelihatan lagi,” ujar sopir pribadi Batara saat melirik ke arah spion dan menemukan Aruna masih berdiri dengan menggendong Jingga sembari menatap ke arah mobil Batara.
Batara hanya menggumam tak acuh. Padahal pandangannya terangkat ke arah spion untuk memastikan kebenaran dari ucapan sopir pribadinya. Senyum tipis nyaris tak kentara menghiasi wajah Batara ketika menemukan Aruna hendak berbalik badan lalu masuk ke rumah.
Rutinitas pagi Aruna berikutnya setelah Batara berangkat dan Jingga selesai sarapan adalah membersihkan beberapa bagian rumah seperti yang diperintahkan oleh Bu Menik. Saat sedang membersihkan ruang keluarga Aruna memandangi foto laki-laki dan perempuan sedang bertukar cincin. Selain foto itu ada juga foto pasangan tadi sedang berdiri berdampingan sembari menunjukkan jemari yang telah tersemat cincin ke arah kamera. Dilanjut dengan berfoto bersama keluarga besar. Ukuran foto-foto yang tengah menjadi pusat perhatian Aruna selama beberapa menit terakhir tidak lebih dari 10R. Beberapa foto bahkan ada yang hanya berukuran postcard. Aruna menebak orang-orang dalam foto-foto yang tengah dilihatnya adalah foto Batara dan mendiang istrinya.
“Sedang apa kamu? Bukannya bekerja malah bersantai di sini?” hardik Bu Menik yang menemukan Aruna sedang berdiri di depan bufet panjang yang menempel di dinding.
“Oh, ini…Saya lihat-lihat foto,” jawab Aruna.
“Segera selesaikan pekerjaanmu sebelum kena tegur Nyonya Hafsah.”
“Saya heran…Rumah sebesar ini kenapa nggak ada foto pernikahan segede lemari kayak rumah-rumah orang kaya di daerah saya ya, Bu? Yang ada cuma foto-foto kecil begini. Kalau kata saya ini bukan foto pernikahan. Kayak foto tunangan,” celoteh Aruna.
“Yang sedang kamu lihat memang foto-foto pertunangan orang tua Tuan Jingga.”
“Oh, jadi wanita ini mendiang istrinya Tuan Batara? Cantik ya. Kayak artis-artis sinetron,” komentar Aruna.
Bu Menik hanya merespon dengan gumaman. Ketika wanita itu hendak angkat kaki dari ruang keluarga terdengar suara Aruna memanggilnya. “Ada apa?”
“Di foto-foto ini Tuan Batara kelihatan ramah, ceria dan murah senyum orangnya. Tapi kenapa Bu Menik bilang kalau Tuan Batara itu dingin dan kejam?”
“Semakin sedikit yang kamu tahu tentang apa pun yang ada di rumah ini, semakin tenang hidupmu dan tentunya kamu akan bekerja dengan lebih nyaman,” jawab Bu Menik lalu meninggalkan Aruna yang masih berada dalam lingkup kebingungannya.
Sore harinya ketika Aruna sedang memijat tubuh Nyonya Hafsah supaya rileks dan tidak tegang karena bosan di rumah sepanjang hari, terdengar suara klakson mobil dari arah halaman rumah.
"Sepertinya Tuan Batara sudah pulang, Nyonya," ujar Aruna mengingatkan. "Saya belum menyiapkan bathtub, takutnya Tuan Batara ingin berendam. Kata Bu Menik biasanya kalau pulang sore Tuan Batara suka berendam," imbuhnya.
"Baiklah, kamu bersihkan bathtub di kamar mandinyadulu. Pijatnya dilanjutkan besok saja," jawab Nyonya Hafsah.
Aruna pergi dari hadapan Nyonya Hafsah. Dia menuju kamar mandi di kamar Batara yang terpisah dengan kamar tidur Batara. Ruangan itu adalah satu diantara dua ruangan yang belum pernah dimasuki oleh Aruna sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. Padahal Bu Menik sudah mengajaknya melakukan home tour saat baru saja sampai di sini. Selain kamar tidur, ruang kerja pribadi Batara adalah ruangan lain yang belum pernah dimasuki oleh Aruna.
Dengan penuh semangat Aruna membersihkan bathtub yang kemungkinan besar akan digunakan oleh Batara. Aruna sampai masuk ke dalam bathtub untuk menggosok dinding bak bagian dalam bathtub untuk menghilangkan efek licin ketika dimasuki air dan sabun. Sesuai arahan Bu Menik padanya yang menyampaikan bahwa Batara tidak pernah menyukai jika dinding bathtub terasa licin karena lumut bukan karena sabun. Oleh karena itulah Aruna benar-benar memastikan bathtub yang sudah tidak digunakan selama beberapa hari itu tidak licin.
Saat memasuki kamar tidurnya Batara sama sekali tidak menyadari bahwa ada Aruna yang sedang membersihkan bathtub di kamar mandi. Dengan santainya dia melucuti pakaian dan celana kantornya. Namun seperti ada medan magnet yang menarik pandangan Batara supaya menoleh ke arah pintu kamar mandi yang terbuka lebar. Perlahan dia melangkah ke sana untuk memastikan rasa ingin tahunya. Di sana dia mendapati Aruna sedang berjongkok sambil menggosok pinggiran bathtub. Aruna saat itu tidak mengenakan stoking dan rok plisket dari bahan katun yang hanya menutupi area pahanya saja mengekspos ujung kaki hingga hampir sebagian pahanya saat dia menundukkan badannya.
"Wow!" ujar Batara kemudian tersenyum sambil menilik penampilan Aruna yang cukup menggoda itu. Tatapan Batara menelusuri hampir setiap inci lekuk tubuh Aruna. Tatapannya berhenti di kemeja yang dikenakan Aruna, dimana dua kancing teratasnya yang sengaja dibuka itu menampakkan belahan d**a pemiliknya. Terlebih ketika itu posisi Aruna sedang berjongkok dan sedikit merunduk. Ketika tatapan mereka bertemu Batara lebih dulu tersenyum penuh arti pada Aruna. Membuat Aruna sampai tersipu sekaligus takut ketika ditatap seperti itu oleh majikan laki-lakinya.
Aruna bangkit berdiri dari duduk berjongkoknya. Saat dia mengembalikan kran shower ke posisinya semula, roknya sedikit terangkat sehingga menampilkan lekuk tubuh kulit paha mulus Aruna yang sayang untuk dilewatkan menurut Batara. Setelah selesai merapikan kran shower Aruna pamitan pada Batara saat mereka berpapasan di pintu kamar mandi. Batara kembali tersenyum penuh arti sambil terus menatap kepergian Aruna dari kamarnya.
“Aruna!” tegur Batara.
Suara dalam itu membuat langkah Aruna berhenti detik itu juga. Dengan perasaan cemas dia berbalik badan tanpa berani melihat ke arah Batara. “Ya, Tuan?” jawabnya, takut-takut.
“Apa kamu membersihkan kamar tidur saya?” tanya Batara datar.
“Tidak, Tuan. Kata Bu Menik itu tugasnya dan tidak boleh dikerjakan oleh siapapun tanpa persetujuan Tuan Batara.”
“Baguslah kalau kamu tahu soal itu.”
“Ada yang bisa saya bantu lagi, Tuan?”
“Tidak ada. Kamu boleh pergi sekarang,” jawab Batara lalu mengulas senyum saat Aruna sudah menghilang dari pandangannya.
~~~
^vee^