7. Perubahan Suasana Hati

1378 Kata
Sesampainya di kamar Aruna segera melepas celemek serta meregangkan pengait roknya. Baru saja Aruna merebahkan tubuhnya di ranjang terdengar suara bel intercom di kamarnya. Dari nomor yang menyala lampunya berasal dari kamar Jingga. Aruna segera bangkit dari ranjang. Tanpa mengenakan kembali celemeknya Aruna melangkahkan kakinya menuju kamar anak majikannya tersebut. “Tuan Jingga belum tidur?” tanya Aruna setelah membuka sedikit pintu kamar Jingga. “Kenapa kamu repot-repot datang kemari? Bukankah tinggal menjawab panggilan teleponku di intercom saja sudah cukup?” balas Jingga. Aruna tersenyum lembut. “Kebetulan saya juga ingin melihat keadaan Tuan Jingga. Apa yang bisa saya bantu?” tanya Aruna penuh kesabaran. “Bisakah mulai sekarang kamu memanggilku dengan namaku saja? Aku kedengaran setua Daddy kalau kamu panggil Tuan,” kata Jingga. Aruna tersenyum geli mendengar protes Jingga. “Baik, Mas Jingga,” jawab Aruna masih sambil tersenyum. “Jingga saja,” kata Jingga lagi. “Baiklah. Jingga mau apa panggil saya ke sini?” “Aku mau kamu tidur di sini mulai malam ini?” “Jingga takut tidur sendirian?” “Nggak perlu banyak tanya, Aruna.” “Tapi saya tidur di mana? Ranjangnya cuma satu dan nggak ada sofa di sini.” Jingga menggeser posisi tidurnya lalu menepuk pelan sisi kosong di samping kanannya. “Sementara tidur di sini dulu. Nanti aku bilang pada Daddy untuk membelikan ranjang lebih besar,” katanya dengan tatapan memohon. “Nanti Jingga kesempitan.” “Kalau aku sudah tidur kamu boleh kembali ke kamarmu.” Jingga sudah tampak tak kuat lagi menahan kantuk. Sekali lagi dia menepuk sisi kosong yang diberikan untuk Aruna supaya pengasuhnya itu segera datang ke ranjang. Aruna sendiri sudah kelelahan jadi dia tak melanjutkan perdebatan ini supaya bisa segera tidur. Aruna pun langsung datang ke ranjang dan tidur di samping Jingga. Aruna cukup terkejut ketika Jingga memintanya untuk menepuk-nepuk pinggang anak laki-laki itu. Dia tidak menyangka Jingga yang awalnya dingin dan menjaga jarak dengannya saat pertemuan pertama mereka kini mulai membuka diri untuk mau didekati. Padahal Aruna bekerja di rumah mewah milik Batara belum genap dua minggu. Dia bersyukur dengan situasi dan kondisi yang mulai bersahabat dengannya. Membuatnya mulai merasa betah bekerja di rumah meski dengan berbagai peraturan ala orang-orang kaya yang terkadang tidak masuk di akalnya. Tanpa menunggu lebih lama lagi Aruna mulai menuruti perintah anak majikannya itu. Dia menepuk dengan irama tertentu hingga terdengar deru napas yang menandakan Jingga sudah terlelap. Dia membelai rambut Jingga dengan penuh kasih sayang dan ketulusan. Tanpa terasa Aruna sendiri ikut terlelap tanpa sempat berpindah tidur ke kamarnya sendiri. ~ Pukul tiga sore Batara sudah bersiap pulang ke rumahnya. Sesuatu hal yang baru dalam ritme kehidupan seorang Batara. Biasanya dia akan pergi pukul tujuh pagi dan kembali ke rumah di atas pukul delapan malam bahkan bisa lebih. Sesampainya di rumah ia tampak gelisah karena tidak melihat Aruna menyambutnya di pintu utama. Bu Menik membaca gelagat tuannya yang seperti orang kebingungan. "Anda membutuhkan sesuatu, Tuan?" tanya Bu Menik. "Jingga mana?" "Sedang ada di kamarnya bersama Aruna," jelas Bu Menik tanpa diminta. Batara hanya mengangguk sekilas. Tanpa sepatah kata ia berjalan melewati Bu Menik menuju kamar Jingga. Bu Menik terus memerhatikan gelagat tuannya itu. Namun wanita itu tidak berani berasumsi apa pun karena merasa kecurigaannya terlalu dini untuk diambil kesimpulan. Sesampainya di depan pintu kamar Jingga yang hening, Batara mendorong pelan pintu kamar yang memang dalam keadaan sedikit terbuka. Pemandangan pertama yang ditangkap oleh netranya adalah Aruna sedang membelai kepala Jingga. Senyum Batara terkembang melihat pemandangan tersebut. Jingga adalah tipikal anak yang selalu menjaga jarak dengan siapapun apalagi terhadap orang baru. Sebuah hal yang menakjubkan rasanya melihat Jingga memberikan akses pada orang lain untuk menyentuh dirinya. Menyadari ada seseorang yang memasuki kamar majikan kecilnya, Aruna menoleh ke arah pintu. Dilihatnya Batara sedang menutup pintu kamar sekaligus memutar anak kuncinya ke arah mengunci. Pria itu memberi kode pada Aruna agar tidak memedulikan keberadaannya di kamar ini lalu meminta Aruna melanjutkan aktivitasnya. Kini Batara berdiri di samping Aruna yang sedang tiduran di samping Jingga. Ketika Aruna hendak menegakkan tubuh, Batara melarang Aruna lalu duduk di pinggiran ranjang yang menyisakan sedikit tempat, sehingga membuat Batara sangat dempet dengan Aruna. Aktivitas Batara membuat Aruna terkejut bukan main. Aruna lalu memutuskan untuk turun dari ranjang. Namun saat perempuan itu hendak beranjak, Batara menahan bahunya sembari memberi kode meminta gadis itu relaks dan merebahkan tubuhnya di atas d**a bidang milik tuan besarnya itu. Dari arah belakang tangan Batara mulai bergerilya menyentuh telinga, pipi hingga leher Aruna. Perbuatannya membuat Aruna merasa sensasi yang berbeda menggelanyar di tubuhnya. Sentuhan Batara turun ke bahu, menyusuri tangan hingga punggung jemari tangan Aruna. "Jangan, Tuan," pinta Aruna dengan suara berbisik lirih saat tangan Batara sedang menarik atasan yang dikenakan Aruna keluar dari rok spannya. Dia khawatir ativitas Batara saat ini mengganggu Jingga yang baru saja terlelap. "Saya tahu, kamu juga menginginkan hal ini, kan?" balas Batara melanjutkan aksinya. Demi Tuhan Batara sangat ingin melakukan hal seperti ini selama berada di luar kota. Dia sendiri tidak mengerti kenapa pikirannya tak henti memikirkan Aruna dan ingin segera kembali pulang untuk melihat serta menyentuh setiap inci tubuh perempuan ini. Sayangnya proyek pembangunan jembatan yang ditangani oleh perusahaannya sebagai pengada bahan bangunan mengalami kendala teknis yang membuat Batara harus tertahan di sana lebih lama dari jadwal perjalanan bisnisnya. Tangan Batara semakin gencar menyentuh bagian-bagian tubuh Aruna. Kini tangannya naik ke perut menuju bagian d**a Aruna. Namun ketika tangan Batara hampir menggapai payudaraa Aruna, tiba-tiba Jingga mengeluarkan suara seperti rengekan. Batara refleks menarik tangannya dari anggota tubuh Aruna yang tengah mendapat sentuhan sensual darinya. Meski begitu dia bertahan tidak beranjak dari ranjang. Ternyata Jingga hanya mengigau sekaligus mengganti posisi tidurnya. Kali ini justru akan membuat Batara semakin mendapatkan akses lebih untuk bisa menyentuh setiap lekuk tubuh Aruna karena kini posisi Jingga tengah membelakangi sang ayah yang sedang menggoda pengasuhnya. Ditambah lagi Aruna kembali memberikan sentuhan-sentuhan yang membuat Jingga kembali tidur tenang. Saat Batara sedang konsentrasi melakukan aktivitasnya suara ponsel yang berada di balik jasnya bergetar panjang, tanda ada panggilan telepon masuk. Batara mencoba mengabaikan hal yang menurutnya sangat mengganggu itu. Namun karena tak ingin membuat Jingga terbangun Batara segera bangkit dari ranjang dan untuk mencari tahu siapa penelepon yang telah mengganggu kesenangannya. Setelah melihat ke layar ponselnya Batara memilih berdiri dan memutuskan keluar dari kamar Jingga untuk menerima panggilan telepon tersebut. Hati Aruna mencelos melihat perlakuan majikannya itu. Namun dia tidak bisa protes apa-apa selain segera merapikan pakaiannya dan ikut keluar dari kamar Jingga lalu menuju dapur untuk menyiapkan keperluan makan tuan besarnya. “Apakah tadi Tuan Besar menemuimu di kamar Tuan Jingga?” tanya Bu Menik begitu Aruna masuk dapur. Aruna yang sedang berada dalam suasana hati kurang baik hanya menjawab dalam gumaman saja pertanyaan Bu Menik. Melihat tingkah Aruna membuat Bu Menik penasaran hal apa yang baru menimpa Aruna hingga membuat gadis itu tampak murung dari biasanya. Tak lama kemudian Batara muncul di pintu dapur. Bu Menik meninggalkan pekerjaannya dan bergegas berjalan ke arah Batara diikuti oleh Aruna. “Tuan Batara ada kepentingan apa? Kenapa tidak memanggil lewat intercom saja? Kenapa mesti repot-repot mendatangi dapur?” tukas Bu Menik dengan kepala tertunduk. “Memangnya kenapa? Dapur juga bagian dari rumahku? Salahnya dimana?” protes Batara tapi tatapannya melihat ke arah Aruna yang sedang tertunduk. “Tidak salah, Tuan. Hanya saja tidak seharusnya Tuan-” “Ah, sudahlah. Sebenarnya saya pusing dengan peraturan di rumah ini. Saya ke sini cuma mau bilang siapkan kamar tamu. Malam ini Cantika akan datang dan kemungkinan besar menginap.” “Baik, Tuan. Ada lagi selain kamar yang perlu disiapkan?” “Siapkan makanan lebih untuk dia. Oh, iya… Jangan terlalu melayaninya. Dia bukan majikan kalian. Layani seperlunya saja. Mengerti?” “Mengerti, Tuan,” jawab Bu Menik. Sementara itu Aruna hanya diam saja. Dia sendiri masih kurang informasi mengenai orang yang akan bertamu ke rumah majikannya ini. Dia memang sempat mendengar percakapan Batara dan Cantika di telepon. Dari percakapan itu dia hanya bisa menyimpulkan kalau Cantika punya hubungan spesial dengan Batara. Bentuk hubungan yang seperti apa tidak dipikirkannya lebih jauh. Sepeninggal Batara, Bu Menik meminta Aruna untuk menyiapkan kamar tamu sesuai perintah Batara. Aruna bergegas mengerjakannya tanpa banyak tanya seperti biasanya. Lagi-lagi hal itu membuat Bu Menik bertanya-tanya pada sikap Aruna. Sesuatu hal yang tidak menyenangkan pasti telah menimpa gadis itu, pikir Bu Menik. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN