Malam telah menyapa dan langit masih setia dengan tangisannya, hujan masih mengguyur sejak pagi dan bahkan tidak ada jeda hingga malam, entah bagian mana dari Jakarta yang sudah tergenang banjir. Waktu kini sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ini adalah jadwal terakhir Geza tampil bersama Henry untuk lagu duet mereka, karena cuaca yang tidak mendukung dan padatnya jadwal Geza membuat gadis itu sedikit kewalahan, makanan terakhir yang masuk ke mulutnya adalah mie cup dan kopi tadi pagi. Sejak Mahajana mengumumkan jadwal untuk besok, Azela terlihat sibuk mengatur ulang jadwal Geza selama pria itu perform sehingga tidak memiliki waktu bersantai.
Lalu kini, saat dia berhasil mengatur ulang semua jadwal pria itu tanpa membuat masalah, perutnya justru bergejolak dan sudah dua kali muntah saat ingin memakan sesuatu, memilih kembali menenggak air mineral dan berharap keadannya lebih baik.
Geza akan membawakan dua lagu malam ini bersama Henry, dan pria itu terlihat memasuki ruangannya di backstage dan mendapati Azela tengah berbaring di sofa dengan mata terpejam. Dia masih akan membawakan satu lagu lagi sebagai penutup acara malam ini. Tanpa ragu Geza duduk di tepi sofa, ikut mengernyit saat melihat Azele mengernyitkan kening dalam tidurnya. Pelan-pelan dia menyentuh kening Azela untuk menghilangkan kernyitan itu, namun yang ia dapati adalah kening gadis itu yang menghangat.
“Azela,” panggil Geza cukup panik, membuat Azela langsung membuka matanya dan bangun dari tidurnya secara spontan, membuat kepala gadis itu berdenyut. Dia menatap bingung pada Geza yang kini duduk di sisinya dan menatapnya penuh tanya.
“Kau sakit? Demam.” Geza sekali lagi menyentuh kening Azela dengan punggung tangannya, membuat gadis itu reflek menghindar namun terlambat.
“Bukan apa-apa. Kau selesai dengan lagu pertamamu?” Tanya Azela yang kini langsung melirik arloji di tangan kirinya, memperkirakan berapa lama lagi waktu Geza tampil untuk lagu berikutnya. Sedang Geza justru langsung menggenggam tangan Azela dan menatapnya lekat, membuat Azela merasa rishi dan mendecak kesal walau jantungnya berdetak luar biasa, namun dia menutupinya dengan sikap pura-pura kesal.
Dia mendorong Geza untuk beranjak dari duduknya dan dia juga langsung berdiri untuk mengambil konstum Geza selanjutnya, namun seolah kehilangan pijakan, tubuh itu oleng dan dengan sigap Geza langsung menahannya.
“Sudah kukatakan kau tidak baik-baik saja. Kapan terakhir kali kau makan? Jangan katakan tadi pagi dengan racun cup itu.” Geza menatapnya tajam, membuat Azela dengan berani ikut menatap pria itu dan mendecak kesal, menyingkirkan tangan Geza di pinggangnya dan beranjak untuk mengambil kostum pria itu untuk penampilan selanjutnya.
“Ganti bajumu dan aku akan kembali me re-touch penampilanmu.” Azela seolah tidak peduli dengan tatapan Geza yang menatap lekat ke arahnya juga kekesalan yang kentara. Gadis itu kembali duduk di sofa dan memejamkan matanya lelah, membuat Geza mendecak keras dan duduk di sisi gadis itu.
“Ayo pulang.” Ucapan Geza membuat Azela kembali membuka matanya dan menatapnya dengan tatapan bingung. Pria itu memang kadang tidak terduga dengan apa yang ada di pikirannya.
“Jangan bercanda, Tuan Geza. Cepat selesaikan tugasmu dan kita bisa pulang setelahnya. Aku tidak ingin berdebat, tolong mengertilah kali ini. Kau pasti sudah lelah seharian ini, so am i. Jadi mari selesaikan semua ini secepatnya.” Azela kembali menutup matanya, membuat Geza yang ingin kembali bersuara seketika bungkam. Benar apa yang dikatakan oleh Azela, lebih baik dia menyelesaikan ini secepatnya tanpa mendebat gadis itu. Maka dengan perasaan kesal dia akhirnya beranjak dan mengganti kostumnya.
Lima belas menit kemudian Azela mendengar langkah kaki yang kembali mendekat, membuat gadis itu membuka matanya dan beranjak dari tidurnya, menarik Geza untuk re touch. Geza hanya menurut saat Azela duduk di depannya dan kembali memastikan penampilannya tanpa cacat seperti biasa.
“Kau baik-baik saja?” Tanya Geza dengan nada khawatir yang tidak disembunyikan, membuat Azela berhenti dan menatapnya dengan senyum tipis.
“Tentu saja aku baik, berhenti menanyakan hal seperti itu, kau seolah menjadi dirimu yang lain.” Azela tertawa setelahnya, merasa aneh dengan perhatian Geza dan nada suara pria itu yang tidak biasa, sedang Geza kembali mendecak, namun dalam hati jadi memikirkan ucapan Azela, memang dia tidak pernah menanyakan keadaan asistennya itu, banyaknya jadwal selama ini, apakah Azela baik-baik saja? Apakah gadis itu bisa makan dengan baik saat dirinya memiliki jadwal yang padat? Dia tidak pernah memperhatikan hal detail seperti itu, karena yang dia lakukan justru banyak mengeluh dan menyusahkan Azela saat moodnya sangat buruk karena pekerjaan yang padat, dan dia merasa menyusahkan Azela membuatnya lebih baik.
Saat memikirkan itu, Geza benar-benar merasa bersalah, dia tidak pernah memikirkan dan mencoba memahami seberat dan sebanyak apa pekerjaan Azela mengurusnya dan apa yang dikorbankan gadis itu hingga bisa menjaga performanya sebagai asisten, apa gadis itu mengabaikan jam makannya? Jam tidurnya? Memikirkan itu membuat Geza benar-benar merasa bersalah.
“La,” panggil Geza lirih.
“Ya?” Azela menjawab sekenanya, masih fokus pada wajah pria itu dan make up di tangannya.
“Apa kau pernah memikirkan ingin berhenti dari pekerjaan ini? Apa kau merasa sangat lelah dan ingin menyerah dengan semua ini? Ya … maksudku, jadwalku sangat padat. Apa kau pernah memikirkannya?” Tanya Geza kini menatap lekat pada Azela yang kini juga menghentikan kegiatannya.
Gadis itu menatapnya sekilas, lalu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Bukankah dulu pernah kukatakan. Kau membutuhkanku untuk mengurusmu, karena tidak akan ada yang tahan denganmu, dan aku membutuhkan uangmu. Jadi berhenti dengan pikiran-pikiran itu. Kau ini sebenarnya kenapa? Sangat aneh, apa hari ini sangat melelahkan, Tuan Geza?” Tanya Azela menaik turunkan alisnya, kini sudah tertawa membuat Geza mendecak dan beranjak dari sana.
“Memang menyebalkan berbicara denganmu. Selalu. Sudahlah, tunggu di sini dan aku akan menyelesaikan ini. Jangan ke mana-mana dan kita akan segera pulang.” Geza mengacak-acak rambut Azela dan berlalu dari sana , membuat Azela mematung di tempatnya, menatap kepergian Geza dengan jantung yang bertalu keras. Bukannya dia tidak tau jika Geza kembali memberikan perhatian kecil itu, dia hanya mencoba untuk menghindari dan menganggapnya bukan apa-apa, namun apa yang bisa dia lakukan saat dia tidak bisa mengendalikan pada siapa hatinya berlabuh dan jantungnya berdetak.
***
“Za, kenapa kau terburu-buru sekali?” Tanya Henry begitu mereka turun dari panggung, Geza hanya mengangguk dan tersenyum, langsung berlari untuk menjemput Azela dan pulang secepatnya.
Dia membuka facilities room miliknya dan kembali mendapati Azela yang tengah berbaring di sofa dan menggunakan lengannya untuk menutupi wajahnya, Geza mendekat dan kembali mengecek suhu tubuh gadis itu yang semakin tinggi. Rintihan kecil juga terdengar dari bibir Azela, membuat Geza langsung menyentuh pipi gadis itu dan membangunkannya.
“Zela, hey, bangun, ayo. Aku akan mengantarkanmu pulang.” Geza menggumam lembut, membuat Azela pelan-pelan mengerjapkan matanya dan beranjak saat sudah sadar sepenuhnya. Geza membantunya dan menatapnya khawatir.
“Kau sudah selesai?”
“Ya?”
“Ah, berarti kita bisa pulang sekarang. Sebentar.” Azela beranjak untuk membereskan barang-barangnya, namun Geza menahannya dan menatapnya lekat.
“Biar aku saja, tunggu di sini.” Azela belum sempat membalasnya namun Geza sudah beranjak dari tempatnya. Tidak lama pria itu kembali, dengan tas selempang yang selalu dibawa Azela sebagai perlengkapan untuk kebutuhannya.
“Ayo.” Lagi-lagi Geza menggenggam tangannya dengan hati-hati, membukakan pintu untuk Azela, membuat gadis itu sudah akan kembali bertanya maksud perubahan pria itu, namun sepertinya Geza tidak memberinya kesempatan. Pria itu langsung menuntun Azela untuk memasuki mobil, lalu dirinya berlari ke sisi kemudi setelah meletakan barang-barangnya di jok belakang.
Azela sudah ingin bersuara namun denyutan di kepalanya dan rasa perih di perutnya membuat gadis itu tidak memiliki tenaga sekedar untuk berbicara, hingga memutuskan untuk memejamkan matanya selama perjalanan.
Sepanjang perjalanan, Geza terus melirik ke arahnya, pria itu lalu bersuara saat keduanya berhenti di lampu merah.
“Ke rumah sakit ya? Demammu sangat tinggi.” Ucapan Geza membuat Azela membuka matanya dan tersenyum tipis lalu menggeleng.
“Ck, tidak usah. Aku hanya butuh tidur, oke? Jangan berlebihan, ini bukan dirimu, Tuan Geza.” Azela terkekeh di akhir, membuat Geza mendecak dan menyentil pelan kening gadis itu.
“Kau sakit dan itu apa-apa. Jika kau sakit aku juga terkena imbasnya. Akan merepotkan.” Geza bersuara dan ucapannya adalah bentuk ego yang berusaha bertahan saat hati berteriak jika dia mengkhawatirkan gadis yang sudah menemaninya cukup lama. Sedangkan ucapan Geza membuat Azela tersentak dan menyadarkannya, jika memang dia tidak boleh terlalu jauh membiarkan rasa cintanya untuk Geza berkembang, karena pria itu tidak akan pernah membalas. Mereka adalah simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan juga membutuhkan.
“Aku baik-baik saja, dan besok pasti masuk. Besok adalah hari besar untuk Leonid dan aku tidak ingin kau kerepotan. Jadi, tenang saja. Oke?” Azela tersenyum dipaksakan, menepuk bahu Geza dua kali dan kembali menyandarkan kepalanya lalu menutup mata. Tepat saat itu lampu berubah menjadi hijau.
Keheningan kembali menyelimuti keduanya, Geza entah kenapa merasa bersalah dengan apa yang dia ucapkan, hatinya seolah tidak tenang karena apa yang dia ucapkan sangat bertentangan dengan yang dia rasakan. Dari pada kerepotan tanpa Azela dia lebih mengkhawatirkan keadaan gadis itu. Perasaan itu benar-benar mengusiknya.
Tiga puluh menit kemudian keduanya sampai di apartemen Azela, Geza belum membangunkan Azela yang sepertinya tertidur, sepanjang perjalanan setelah percakapannya berakhir tadi, entah kenapa hatinya selalu merasa gelisah, dia telah mengatakan sesuatu yang salah karena gengsinya tinggi, karena ego kembali memonopoli perasaannya dan dia kalah.
Azela, gadis itu. Entah sejak kapan bisa mengusik hidupnya di luar hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Namun, Geza selalu menepis semua itu, dirinya dan Azela hanyalah partner kerja dan Geza tidak menginginkan lebih dari itu. Namun, hatinya seakan memberontak tidak terima. Perang batin itu akhir-akhir ini semakin mengusiknya, membuatnya kadang tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjannya dan selalu teringat Azela dan Azela.
Azela yang menggeliat dalam tidurnya membuat Geza tersentak dari lamunannya. Pria itu menatap penuh perhatian pada Azela yang berusaha sadar dari tidur singkatnya.
“Kenapa tidak membangunkanku?”
“Baru sampai.” Azela hanya mengangguk, lalu gadis itu berusaha melepas seatbeltnya dan beranjak turun, Geza yang melihat itu ikut turun dari mobil. Berniat mengantarkan Azela sampai ke unitnya.
Azela yang melihat Geza ikut turun dan kini sudah berdiri di sampingnya kembali dibuat bingung, namun kebingungannya sudah terjawab dengan ucapan Geza selanjutnya.
“Ayo, aku akan mengantarmu ke unitmu. Takut-takut kau pingsan di lift.” Ucapan Geza membuat Azela terkekeh dan menggeleng. Dia sudah akan memprotes namun lagi-lagi Geza seolah tidak memberikannya kesempatan karena langsung menggenggam tangan Azela dan berjalan menuju gedung apartemen.
Sepanjang perjalanan keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Jika diingat-ingat oleh Azela, sepertinya baru kali ini Geza mengantarkan dirinya sampai ke unitnya. Dulu pria itu pernah sesekali –jarang sekali- mau mengantarkan ke apartemennya. Dia benar-benar dibuat bingung dengan sikap Geza malam ini.
“Kau benar-benar aneh.” Gumam Azela lirih menatap penuh tanya pada Geza yang tidak meresponnya.
“Nomor berapa unitmu.” Tanya Geza enggan menanggapi ucapan Azela sebelumnya, membuat Azela kembali mendecak dan berjalan mendahului pria itu menuju unitnya.
“Terima kasih sudah mengantarku, Tuan Geza Arsyanendra. Suatu kehormatan bagi asisten seperti saya diantarkan oleh seorang bintang idola seperti anda.” Azela mencibir karena masih aneh dengan sikap Geza, namun pria itu hanya menanggapinya dengan tawa dan kembali mengacak rambut Azela dengan lembut.
“Hmm, tidurlah. Jika kau masih merasa kurang sehat besok tidak usah masuk. Lagi pula aku tidak ada jadwal besok kecuali meeting untuk comeback Leonid. Aku pulang.” Geza lalu berpamitan, melambaikan tangannya dengan senyum yang sekali lagi melumpuhkan Azela di tempatnya.
Azela hanya menatap punggung itu dengan perasaan campur aduk, sebenarnya apa maksud pria itu dengan semua perhatian yang dilakukannya?
‘Sadarlah, Azela. Bukankah tadi dia mengatakan tidak ingin kau sakit karena tidak ingin repot? Jangan bodoh dan terlena.’ Batinnya bersuara, membuatnya sekali lagi tersenyum miris membenarkan. Namun hatinya tidak bisa berbohong bahwa dia bahagia, hingga senyum itu pelan-pelan terbit di wajahnya, tangannya terangkat mengusap kepalanya di mana Geza melakukan itu sebelumnya. Menatap Geza yang kini sudah hilang dibalik kotak besi itu.