BAB 8_GAGAL.LAGI!

985 Kata
Ketika aku sudah tersudutkan ke pojok tembok, badanku meringkuk bersiap-siap menerima pukulan kakek. Namun, lelaki tua itu hanya mengangkat tongkatnya dan terengah-engah kelelahan. "Kakek ini kenapa sih?! Habis-habiskan tenaga saja! Lagipula itu hanya masalah kecil!" "Masalah kecil katamu? Bocah gila!! " umpatnya dengan leher memerah. "Iya, iya... Aku yang salah. Sekarang Kakek minum dulu ya," rayuku perlahan menjauhkan tongkatnya dari kepalaku. Aku menuntunnya duduk di sofa dan menyuguhkannya air putih. Kakek minum sudah seperti unta di padang pasir. Tak ingat umur, masih saja berlarian. Aku terkekeh sendiri melihatnya seperti kehabisan nafas. "Ngomong-ngomong, Kakek sudah lihat wajah Luna? " tanyaku iseng menunggu nafasnya kembali stabil. "Tentu saja. Dia adalah wanita tercantik yang pernahku lihat sepanjang hidup. Makanya Kakek jodohkan dengan kau, cucu laki-lakiku yang bodoh dan payah! " ujarnya gamblang tanpa menghiraukan perasaanku. "Aku akui memang dia cantik, Kek. Tapi terkadang aku dibuat bergidik," timpalku jujur. "Itu karena dia bukan wanita sembarangan!" seru kakekku dengan mata berkaca-kaca. "Oh ya, dia sebenarnya siapa, Kek? " tanyaku serius. "Dulu hidupnya sempurna. Sebelum kedua orang tuanya meninggal dalam tragedi." "Lalu?" "Ya, untuk memulai hidup baru, kutawarkan cucu kakek untuk dinikahinya," jawab kakek. "Kenapa harus aku yang kakek korbankan?!" "Sebab hanya dia yang akan bisa membuatmu lebih dewasa!" jawab kakek tanpa ragu. "Apaan ... Kakek hanya mengarang cerita," ketusku. Kakek hanya mengangguk tersenyum. "Cerita kakek belum lengkap!" seruku sedikit kesal. "Memang apa yang kurang?!" "Tentang dia sebagai pedagang makanan online, tentang dia yang mempunyai majikan yang mengajarinya ganti ban mobil?" tanyaku menekankan penuh keyakinan. Sejenak kedua alis yang sudah berubah warna menjadi putih itu bertaut. Seperti berpikir sejenak lalu secara tiba-tiba kembali tertawa terbahak-bahak. Bahkan kali ini jauh lebih kencang. "Aduuh, Nang ... Kakek berasa mau kencing!" "Apa sih, Kakek memang sudah pikun, tua, tak nyambung! Sudahlah. Biar kupanggil bodyguard. Aku langsung pamit ya! Aku ada meeting," ujarku melempar tatapan kesal pada kakekku. Laki-laki tua itu hanya mengangguk sembari menahan tawanya. "Nang!" teriaknya menghentikan langkahku. Aku menoleh ke belakang, menunggu kakek mengatakan sesuatu. "Jangan berusaha mencari jawaban penasaranmu. Tapi selami, dalami, dan masuklah dalam hidupnya. Dia adalah pakaianmu," ucap kakekku dengan wajah serius. Aku hanya menggangguk. Gegas aku keluar dengan wajah senatural mungkin, meminta Jono dan Jene menyusul kakek ke dalam. Kedua laki-laki bertampang preman namun berhati hello kity itu segera menghambur masuk. Hari ini aku meeting dengan klien yang ingin menjadikan perusahaanku pemasok rempah-rempah untuk tempat spanya yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari sejak zaman kuno sampai sekarang, kehadiran rempah-rempah tak bisa diabaikan. Berguna dalam segala bidang lebih-lebih pada kesehatan dan kecantikan. Bukankah negara ini dijajah karena bermula perkara rempah-rempah? Dan aku dijajah oleh kakekku karena dia adalah pemilik saham terbesar di perusahaan ini. Miris. "Mas, aku masak ayam rica-rica hari ini," sambut Luna setelah membukakan aku gerbang. "Apa kamu selalu menungguku di depan pintu ya? Kok bisa tahu aku sudah sampai bahkan sebelum aku mengebel?" tanyaku merasa aneh. "Aku sudah bisa membedakan suara mobilmu dari kamarku," jawabnya ringan. Terdengar meyakinkan tapi tak logis. "Kamu pasang cctv ya?" tanyaku curiga. "Aku tak suka ada cctv, tak suka ada orang lain mengusik hidupku. Cukup kamu saja yang merepotkanku," jawabnya santai. Aku melongo. Rasa lapar membuat mulutku tak mampu menimpalinya. Aroma masakan Luna menyeruak memenuhi ruang makan. Aku semakin berselera. "Hhmmm ... enak. Tak kalah seperti rasa masakan restoran," ucapku memuji ketika mengunyah suapan pertama. "Syukurlah. Itu percobaanku yang ke-12 hari ini. Dan itu yang terakhir. I got it!" ucapnya senang. "12 gimana maksudmu?" tanyaku sembari terus menyuapkan nasi yang sudah kubaluri ayam rica-rica buatan Luna. "Ya dari pagi sampai malam ini, aku hanya memasak ayam rica-rica. Tuh, buktinya," ucapnya menoleh menuju wastafel. Berjejer mangkuk-mangkuk berisikan ayam rica-rica. Semua alat masak menggunung di wastafel. Aku melongo. "Sudah, lanjut makan, Mas!" perintahnya membuat aku tak punya pilihan selain terus menyuap. Kalau begini caranya, beneran bisa habis sepuluh jutaku dalam seminggu hanya untuk ayam. Aku menelan paksa ayam rica-rica di mulutku. Luna meraih sebuah majalah. Ia membolak-balikan lembaran demi lembaran dengan serius. "Besok masakan ayam apalagi ya, Mas? Ada ayam taliwang, ayam pelecing, ayam crispi, ayam penyet, ayam gado-gado, sate ayam, opor ayam, bakso ayam, naugget ayam, ayam ...." "Stop! Sudah-sudah! Dek, aku memang suka ayam tapi bukan berarti tiap hari makan ayam terus. Bisa jadi ayam beneran aku!" Luna memandangku seperti kebingungan. Aku lalu melirik majalah yang di tangannya. Resep Nusantara Aneka Ayam "Kamu bisa mencari resep olahan lauk lain pakai hp. Bukan hanya mengandalkan majalah. Sekarang semua serba online. Ada internet bisa buka YouTube, aplikasi memasak juga. Banyaklah!" "Tapi aku tak menggunakan ponsel, Mas. Kalau kau mau menghubungiku, lewat itu saja," jawab Luna menunjuk ke arah telpon rumah berwarna hijau tua. Saking lamanya benda itu, bahkan aku sampai hafal lekukan kabelnya. "Aku kurang suka. Lebih baik lewat hp saja. Aku akan belikan hp keluaran terbaru buatmu! Yang ada buah yang digigit itu. Tau kan? Tak perlu sungkan," ujarku percaya diri. Luna tak mungkin menolak, pikirku. "Aku tetap tak mau!" Wanita itu memanyunkan bibir indahnya dan membuang wajah. Aku bisa apa selain bertambah keherananku dan bertambah pula rasa penasaranku pada istriku sendiri. Kalimat kakek masih terngiang di telingaku. Yah ... aku akan menyelam dan mencari tahu, siapa istriku ini sebenarnya! Kucoba dekati dia. Kusentuh jilbab besarnya berwarna hitam itu. Aku masih bisa merasakn aroma parfumnya yang lembut. Sedikit tidak, aku tergoda. "Kenapa kau berbeda? Bukankah itu wanita impian semua wanita? Sebenarnya apa maumu?" bisikku di telinganya. Luna menutup matanya. Ekor mataku melihat, jari-jarinya bergetar. Dia gugup. "Aku lebih suka melihat rambutmu daripada kain ini, " bisikku sekali lagi. Tanganku membuka kerudungnya. Rambut indahnya masih terikat. Kulepas perlahan. Cantik. Istriku sangat cantik. Aku menyentuh dagunya. Menatap setiap lekukan wajahnya. Dia membuka mata. Sempurna. Dia masih diam. Aku mendekat, semakin dekat. Ddrrrtttrttt .... Ponselku bergetar. Refleks mata kami bersamaan menatap layar ponselku yang di atas meja. Terlihat panggilan masuk dari Ayu Ruminang. Luna menepisku. "Sekarang kau mengertikan, kenapa aku tak suka ponsel?" sindir Luna lalu melenggang pergi. Aku hanya bisa menelan ludahku. Gagal lagi!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN