"Jangan mancing-mancing kamu, Dek! Kalau tak niat! " timpal Yudha membuang wajah.
"Aku tak suka memancing. Membosankan, " ucap Luna membuka cadarnya lalu membuka hijabnya. Tangannya juga membuka pakaian hitamnya. Tampak sekarang ia menggunakan kaos lengan panjang tanpa motif dan leging. Masih tetap warna hitam.
"Sebentar lagi subuh, Mas! Aku mau olahraga dulu, badanku terasa pegal. Setelah itu baru mandi, sholat lalu tidur kembali. Tolong jangan brisik! " ucap Luna mengikat rambut indahnya.
Wanita itu berdiri lalu melenggang masuk kamar. Sedari tadi, Yudha menatap istrinya itu tanpa kedip bahkan ketika pintu kamar itu ditutup, laki-laki itu masih menganga.
Kliiiik!!
Suara pintu terkunci mengembalikan kesadarannya lagi. Yudha mengusap wajahnya kasar.
"Apa aku sekarang sedang dihukum? Dia istriku! Iya, dia istriku! Tapi kenapa jadi begini?"
Yudha memagut rambutnya yang berantakan.
Terdengar musik mendayu. Yudha meletakkan kasar gelasnya lalu menyentuh pakaian Luna. Aroma parfum lembut dari kain itu membuatnya menarik nafasnya kuat-kuat.
"Sampai kapan aku gila seperti ini? Aku tak ubah seperti kucing yang sedang digantungkan ikan, " lirihnya lemah.
Masih sempoyongan, Yudha berdiri dan kembali ke kamarnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya di kasur empuk miliknya.
"Aku harap semua ini mimpi. Luna... Kau siapa? Beraninya kau menyiksaku begini," lirihnya perlahan sambil menutup mata.
"Luna... " igaunya.
Sedangkan di sisi lain, Luna membiarkan musik mendayu itu terus berputar. Ia tahu, suaminya menginginkan hal itu. Namun traumanya masih ada ketika Eville mencoba memperkosanya. Juga, bayangan wanita yang sering disebut Yudha, Ayu Ruminang. Entah kenapa, firasatnya tak nyaman mendengar nama itu.
"Bagaimana bisa aku melayanimu seperti yang dalam buku agama yang telah aku baca? Menjadi istri soleha, katanya. Sedangkan aku mungkin buatmu hanya sebagai pemuas nafsu. Cintamu ada pada wanita itu. Bagaimana bisa, Mas?! Tak akan ada bedanya di mataku kau dengan manusia jahannam itu jika kau masih bersama wanita itu lalu kau tidur denganku. Tidak akan. Tak akan! "
Luna menelungkupkan wajahnya. Dia merasa di posisi serba salah. Nafasnya sengaja ia tahan agar emosi di dalam hatinya tak membuatnya ingin menembak.
Saat ia masih dalam dunia mafia, menembak adalah caranya melepaskan emosinya. Menembak apa saja kecuali manusia. Ia masih memiliki naluri manusiawi.
Lama ia mendapatkan kenyamanan gulingnya hingga ia mendengar adzan subuh. Ia membalikkan badannya. Matanya langsung terbuka.
"Ya Tuhanku, aku datang, " lirihnya.
Meski terbata-bata, hampir tiap hari Luna membaca buku agama. Agama yang dianut Aderald. Islam.
Ia mempelajarinya sendiri. Hampir tiap minggu ia menamatkan buku agama. Belajar sholat, belajar mengaji dari buku berkaset, juga tak luput dari youtube. Luna tertatih-tatih namun ia bertekad. Ia yakin, agamanya yang ini yang paling benar.
"Allahuakbar, " lirihnya takbiratul ihram.
Pelan-pelan, ia membaca ayat pendek yang susah payah dia hafalkan. Masih terbata namun jelas.
Saat sujud terakhir, air matanya menetes. Ia merasa sendiri di dunia yang keras ini. Dan terlalu hitam dunia yang telah ia lewati.
'Aku hijrah dari dunia hitam itu, Ya Allah. Pernikahan ini bukan main-main untukku. Aku siap menjadi istrinya selamanya. Aku siap menjadi pelindung untuknya. Bawa suamiku padaku secara utuh agar aku juga bisa menjadi istri yang utuh' bisik Luna dalam hatinya.
Setelah salam, Luna sempat beristigfar beberapa kali lalu tertidur di atas sajadahnya.
Suara paku yang sedang dipalu membangunkan wanita itu. Gegas ia keluar masih dengan mukenahnya. Perlahan ia berjalan ke arah sumber suara. Terlihat dua orang laki-laki paruh baya berpakaian sedikit kumal sedang sibuk memperbaiki pintu yang dirusak Aderald semalam.
Ketimppplaaak!!!
Aaaauuuu!! aaaaaah!!
Teriak salah satu laki-laki itu memutar-mutar tangannya. Wajahnya tampak memerah menahan rasa sakit. Temannya pun yang sedang memegang pintu tak kalah terkejutnya sebab palu itu terlepas begitu saja hampir saja mengenai tubuhnya.
"Gila kau, Dar!! Hampir bocor kepalaku ini kau buat!!" sentaknya marah.
Lelaki rambut kriting itu hanya meringis. Matanya berkeliling masih mencari wanita yang tadinya mendekati mereka. Sekarang berbalik dan menghilang ke belakang. Rupanya Luna lupa memakai cadarnya. Kecantikannya membuyarkan konsentrasi Nandar, tukang bangunan suruhan Jene.
"Kau kenapa, Dar?! Sini! Aku saja yang paku! Gak mau ambil resiko aku!" seru Awan, kawan Nandar, sesama tukang.
Nandar menurut saja.
"Gimana kau bisa jadi mandor tukang kalau maku beginian aja, palu melayang! " omel Awan sembari terus memaku.
"Jangan banyak bacot, Wan. Kamu hanya belum lihat, makhluk penghuni rumah ini. Bisa-bisa, kepalamu yang kau palu sendiri, " tukas Nandar sesekali mengisap tangannya yang membiru.
"Baru jam 10 pagi, masak ada setan?! Ngawur! " timpal Awan.
"Bukan setan, tapi bidadari! " tukas Nandar.
"Terus saja kau menghayal. Gak akan buat kaya, modar, iya! " ejek Awan terkekeh sambil terus menyesuaikan posisi pintu.
Tiba-tiba Nandar melepaskan pintu yang sedang dipegangnya. Awan terkesiap.
"Woy! Mau kemana?! Ini gimana?! "
"Urus saja. Aku mau lihat-lihat dulu, " timpal Nandar.
Laki-laki berbadan tinggi kurus tapi berisi itu melangkah. Nekad. Ia lupa dimana dan sedang apa ia di sini. Pikirannya dipenuhi dengan ranum merah bibir wanita yang di lihatnya tadi. Ia benar-benar terpesona dengan kulit putih bersih bak pualam itu. Hidung mungil agak merah muda seperti baru terbangun dari tidur. Nandar ingin melihatnya lagi!
Telinganya mendengar suara musik mendayu dari dalam kamar itu. Kamar yang bercat kontras dengan dinding. Dari papan pintunya saja, ia yakin, ini memang kamar pembantu rumah ini. Mungkin tak masalah jika ia sedikit mendekati penghuni kamar itu. Sama-sama rakyat jelata, begitu terlintas dalam benaknya. Nanda mendekat, meski ragu, ia ingin mengetuk. Tangannya ia tarik kembali. Lebih baik ia mengintip saja, pikirnya.
Baru saja matanya mendekati lubang pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka dengan keras. Nandar terjungkal namun tubuhnya jatuh tergusur ke bawah dengan cepat. Ia merasakan sebuah tangan sedang mendorongnya ke bawah. Lalu ketika tangan itu terlepas, terasa sebuah kaki melayang menghantam punggung.
Kraaaaak!!!
Suara gemeretak tulangnya yang patah membuat laki-laki itu memekik.
"Aaaaaaakkkkkkkkkk!!!"
Nandar berteriak sekencang-kencangnya hingga mengeluarkan darah dari mulutnya.
"Lelaki tak sopan! Beraninya kau mencoba mengintipku! Kau kira aku siapa, hah??!! Rasakan ini! "
Luna kembali menghantam punggung laki-laki itu dengan sangat keras. Kali ini dengan sikunya. Nandar sudah tak sanggup lagi meski untuk berteriak. Nafasnya naik turun seperti akan putus.
"Mati saja kau, lelaki jahannam! " teriak Luna bersiap dengan pukulannya.
"Hentikan!!"
Yudha melompat menghampiri Luna yang sedang mengamuk. Ia mendorong istrinya, takut pukulan sikunya mengenai laki-laki yang sedang meregang nyawa itu.
Pukulan siku Luna mengenai dirinya sendiri. Secara spontan pinggangnya terkena hantaman tangannya karena dorongan Yudha.
"Aaaaauuuh!!! " rintihnya menahan sakit.
"Apa kau sudah tak waras? Kau ingin masuk penjara dan menjadikan rumah ini TKP kriminal, hah???!!" teriak Yudha dengan ludahnya menyembur kemana-mana.
Rambutnya awut-awutan dengan piyama compang camping berantakan. Kusut.
"Dia telah mencoba mengintipku, Mas!! Akan kubunuh dia sekarang!! " teriak Luna mencoba kembali bangkit.
"Stoooooooop!!!!! "
Pekik Yudha makin frustasi. Tak habis pikir dia, bagaimana istri bercadarnya itu begitu bringas?!!