"Sial! Dia berhasil lolos, Mas. Aku bisa mengejarnya tapi aku takut terjadi apa-apa sama kamu! " ujar Luna.
Wanita bercadarku sedikit terengah-engah. Tangannya mengepal dan dia masih memasang kuda-kuda. Kutatap Luna dari bawah ke atas, seolah sedang memindai istriku sendiri. Akalku masih tak bisa menerimanya. Bagaimana tubuh ramping, tangan lentik dan kaki jenjang itu bisa mendendang sekeras tadi lalu berlari secepat kilat, melesat bagai anak panah?
Aku mencoba berdiri namun tubuhku terasa sangat lemas. Otot-otot terasa melonggar. Engselnya seperti terlepas.
"Kau baik-baik saja? "
Luna mendekatiku dengan tatapan kasihan. Aku merasa sedang meluncur ke dasar bumi paling bawah. Tak punya harga diri sebagai laki-laki mancho karena diselamatkan oleh seorang wanita dan itu istriku. Niatku untuk menunjukkan betapa tangkas dan kerennya aku, pupus tak bersisa lagi. Sudah hempas, sudah lepas dari harapanku.
"Siapa kau sebenarnya!?" tanyaku bergetar.
Mustahil jika dia wanita biasa tapi memiliki kemampuan seperti seorang tentara wanita.
"Apa kau mata-mata negara? " tanyaku lagi.
Aku mencoba sedikit menjauh darinya. Kali ini aku benar-benar takut.
"Tenanglah, Mas. Aku istrimu kan? Aku akan menjagamu, " ujarnya perlahan mendekatiku.
"Tapi siapa kamu? "
"Aku istrimu, kau lupa ingatan sekarang? " tanyanya seperti meledekku.
"Jangan bercanda. Bagaimana kamu bisa menendang tanganku dengan sempurna. Kakimu bisa naik begitu! " seruku heran.
"Ya, karena... " Luna tampak bingung.
Alasan apa sekarang yang akan dia ucapkan. Apakah akan terus menipuku? Dia pasti mata-mata yang sedang menyamar!
"Aku suka menendang karena aku suka main bola! Yah, bola akan sangat menyenangkan jika ditendang. Kau tak percaya? Coba saja! " serunya.
Dari lentik matanya aku tahu, dia sedang tertawa. Aku tak punya pilihan selain harus percaya padanya. Dia telah menyelamatkanku.
"Bisa-bisa kepalaku kau tendang nanti!" ketusku.
Luna tertawa.
"Bagaimana kau tahu yang tadi itu peluru timah? Aku takut sekali, Luna, " lirihku saat aku dipapah olehnya.
"Aku tak tahu. Aku hanya melihat gerakan tanganmu yang tak stabil sedangkan laki-laki kurus itu pun gemetar. Walau itu peluru karet atau hampa sekalipun, jika ditembakan dengan jarak sedekat tadi, akan melukai orang jika terkena langsung di kulit! "
Aku tertegun. Darimana Luna tahu informasi ini?
"Mengapa kau banyak tahu? " selidikku.
"Aaammm... Karena aku suka membaca buku," jawabnya tegas.
Aku menatapnya, mencari kejujuran. Namun aku tak mampu menyelaminya. Indah matanya selalu mampu membuyarkan konsentrasiku.
Langkahku berhenti dan menyapu seluruh sisi tempat ini.
"Kau mencari laki-laki pemegang semangka tadi? Dia sudah pergi dan aku tak mau mengejarnya. Entah dia punya hubungan apa dengan kawanmu tadi."
"Aku barusan mengenalnya. Siapa dia? Mengapa dia menjebakku? Aku tak punya musuh, " lirihku lanjut berjalan.
Sekarang aku sudah merasa lebih kuat. Perlahan kulepaskan lenganku dari dekapan tangan Luna.
"Orang lain punya banyak alasan untuk membencimu, " jawab Luna dingin.
Apa dia sedang menyindirku? Memangnya seburuk apa aku ini di matanya?!
"Jadi, menurutmu, aku ini jahat?! " tegasku bertanya.
Luna tertawa tepat ketika kami sudah di depan mobil.
"Kau ingin aku yang menyetir? " tanya Luna.
Aku mengangguk. Aku ingin lihat, seberapa hebat dia memegang stir mobil.
Ternyata, Luna santai saja menyetir mobil keluaran baru itu. Aku hanya berusaha menenangkan diri. Menerima semua kelebihan istriku itu yang semakin lama semakin membuatku terpojok.
"Kau biasa menyetir? " tanyaku.
"Tidak selalu. Kadang aku hanya sebagai penumpang, " jawabnya.
Aku hanya mengangguk. Mungkin istriku ini belajar dari paman dan bibinya yang aneh itu.
Sesampai di rumah, aku langsung istirahat. Luna membawakanku secangkir teh hangat. Kali ini, dia sudah membuka cadarnya. Meski tampa make up, istri bercadarku itu sangat cantik.
Remang-remang kamarku, membuat hasratku bangkit. Meski istriku itu berbalut kain, tapi sejak pandangan pertama, di ruangan ini, aku tergoda.
"Luna... " lirihku pelan memanggilnya yang sedang duduk menemaniku.
Wanitaku itu tersenyum. Senyum yang selalu membuat hatiku meleleh. Bahkan pesona Ayu Ruminang semakin memudar jika aku bersama Luna, di kamar ini.
"Apa tawaranmu ketika malam pertama itu masih berlaku? " tanyaku sedikit ragu.
Aku menahan nafasku sebab gugup. Takut-takut dia menolakku. Pasti itu sangat memalukan.
"Mas pernah mendengar, kesempatan itu hanya datang satu kali? "
Aku mengangguk.
"Aku ingin kau menjadikanku satu-satunya wanitamu. Mas tahu, aku tak suka dengan pacarmu itu, " ketus Luna.
"Tapikan kau pernah berjanji tak mempermasalahkan hubunganku dengan Ayu, " kataku mengingatkan dia.
Luna mengangguk.
"Lalu? Mengapa kau menolak untuk aku... "
Aku menghentikan ucapanku.
"Yah, sebelum aku membaca buku bahwa suami itu harus setia dengan istrinya. Berganti-ganti pasangan bisa menimbulkan penyakit kelamin seperti HIV. Aku tak mau mati sia-sia karena penyakit itu. "
Mendengar penuturan Luna, membuatku ingin menangis dan tertawa secara bersamaan. Apa dia mengira jika memiliki pacar itu, harus menidurinya? Aku harus meluruskan pemikirannya ini. Jangan sampai dia berpikir, aku laki-laki murahan.
"Kau jangan berburuk sangka. Aku tak pernah meniduri Ayu selama ini. Jangan rendahkan suami begitu ! Dosa! "
Luna mencebik. Apa dia tak percaya?
"Kau suka baca buku kan? Apa kau belum membaca, menolak permintaan ehem ehem dari suami itu, dosa?" cecarku berusaha memojokkannya. Sebenarnya aku malu tapi sudah terlanjur basah.
"Dan apa Mas belum baca bahwa suami yang baik itu tidak mendekati zina. Pacaran itu mendekati zina. Apalagi yang sudah menikah. Laki-laki yang telah menikah dirajam sampai mati jika ketahuan berzina!" seru Luna.
Aku menciut.
"Pendirianku takkan berubah. Aku bersedia untuk seutuhnya jadi istrimu, asalkan kau lepaskan kekasihmu itu. Demi Tuhan, aku tak ridho kau bermain dengan wanita lain sedangkan kau menggauliku. "
Aku sampai terbatuk-batuk mendengar kalimat yang barusan aku dengar. Wanita cantik di depanku ini benar-benar tak bisa aku perdaya.
"Ingat, Mas! Kau hanya menawariku waktu 2 tahun untuk jadi istrimu. Apa jadinya aku setelah kau rusak, lalu kau tinggalkan begitu saja. Setelah 2 tahun, kau boleh menikahi kekasihmu itu. Aku berjanji takkan mengganggu rumah tanggamu kelak! "
Rusak katanya? Memangnya aku ini monster?! Keterlaluan memang dia memberikan istilah. Dengan wajah polosnya itu, siapa yang menyangka lidahnya bisa setajam itu.
Aku mendadak kehilangan akal mendengar ucapan Luna. Wanita itu terlihat serius menanggapi segala sesuatu. Berpikiran ke depan dan tak ceroboh.
"Sudah! Jangan di bahas lagi. Aku hanya bercanda mb Diandra Safaluna. Lagipula siapa yang mau sama wanita dingin, ketus, sepertimu, " ujarku masih tetap tak mau kalah.
"Siapa juga yang mau tidur sama laki-laki sok oke sepertimu, " ketusnya lalu melangkah keluar.
Aku meggosok kepalaku kesal. Bingung. Tak karuan.
Apa nafsu bejad sedang menunggangiku? Tapi dia istriku! Bagaimana bisa aku tak bisa menyentuhnya lebih. Tentang dua tahun itu? Mengapa tiba-tiba hatiku terasa ragu.