Adara tidak pernah mengira jika Sana akan mengunjunginya hari ini. Tepat saat Adara dan rekannya yang lain baru saja keluar kantor untuk makan siang, Sana menyapanya di pelataran gedung. Meminta waktunya untuk makan siang bersama. Yang Adara yakini bukan sekadar makan siang biasa.
Adara tidak begitu dekat dengan Sana. Jelas sekali. Tidak ada perempuan yang mau dekat dengan mantan dari suaminya. Apalagi posisi Sana yang masih menempati gambaran menantu idaman menurut Mama. Dan membuat Mama belum juga menerima kehadiran Adara.
Tapi bukan berarti Adara membenci Sana. Daripada itu, Adara justru merasa bersalah pada Sana. Karena kehadirannya harus menggeser posisi Sana dan membuatnya nampak seperti perusak hubungan orang. Padahal ya, tentu tidak begitu.
Sejak awal Ragha memang tidak menyukai Sana. Hanya sekadar menuruti permintaan Mama tanpa menyertakan hatinya. Adara juga tidak bisa menyalahkan Sana untuk perasaan yang timbul pada sang suami.
Adara memahami betul jika cinta tidak pernah memerlukan izin untuk hadir. Hadirnya yang tiba-tiba dan tanpa disadari. Membuatnya tidak pernah menempati posisi bersalah dalam segala hal.
Hanya memerlukan pemahaman atas batasan yang ada. Agar kehadiran cinta itu tidak disalahgunakan lantaran keegoisan. Karena pada kenyataannya, cinta merupakan perasaan murni. Tidak seharusnya dikotori.
Sejauh ini, Adara tidak pernah merasa jika kehadiran Sana adalah ancaman untuk hubungannya dan Ragha. Sana juga tidak pernah menunjukkan raut kebencian terhadapnya. Daripada itu, Sana justru selalu memasang senyuman manis dan ramah padanya. Nampak seperti seorang kakak perempuan yang menyenangkan.
Apa yang Sana lakukan, seperti mengajak Ragha makan malam di rumah Mama, atau sekadar menjemput dan memintanya menemani sarapan. Adara tahu, semua itu karena perintah Mama. Dan Sana tidak bisa menolaknya dengan mudah.
Mama memiliki ambisi yang membumbung tinggi. Usaha yang dikerahkan pun tidak main-main. Adara paham, jika sikap Mama yang demikian membencinya adalah sebuah kewajaran. Impian yang sudah diusahakan sedemikian rupa, harus dihempaskan oleh kenyataan yang ada. Dengan kehadiran Adara sebagai sebab.
"Maaf kalau aku harus mengganggu waktu makan kamu dan teman-temanmu, Dara."
Kalimat pertama yang lolos setelah keduanya hanya saling diam. Adara tentu merasakan kecanggungan di antara mereka. Mengingat hubungan keduanya yang tidak sedekat itu. Juga posisi yang tidak memungkinkan untuk membuat keduanya menjalin hubungan pertemanan.
Adara tersenyum sesaat. Menggeleng tidak masalah. Walaupun sebenarnya ia sedikit tidak nyaman.
"Dan maaf juga karena kehadiranku yang tiba-tiba mungkin membuat kamu nggak nyaman."
"Nggak masalah, Mbak. Kita juga jarang makan bareng, 'kan?" ucap Adara seolah tanpa beban. Padahal sejak tadi Adara mencoba untuk meredam rasa tidak percaya dirinya yang melonjak tinggi.
Dihadapkan dengan Sana yang sedemikian sempurna berhasil menggali rasa menyebalkan itu, yang sudah Adara pendam dalam-dalam. Adara pikir, ia tidak akan terperosok dalam rasa tidak menyenangkan ini. Namun begitu dihadapkan dengan Sana secara langsung, hatinya kembali dilingkupi kegusaran.
Sana tersenyum sesaat. "Kamu nggak pernah lagi datang ke rumah Mama untuk makan malam. Kemarin Papa sempat menanyakan kamu. Tapi kata Ragha kamu kelelahan karena bekerja."
Adara tersenyum canggung. Jelas sekali bukan itu alasan yang sebenarnya.
Jika saja kehadirannya mendapat respon baik, mungkin Adara tidak akan berpikir dua kali untuk menerima undangan makan malam itu. Atau sesekali Adara akan mengunjungi rumah Mama untuk saling berbagi cerita. Sayangnya apa yang Adara harapkan belum juga menjadi kenyataan. Mama masih terus menyorotnya tajam penuh kebencian. Akan menjadi satu kebodohan jika Adara hadir begitu saja tanpa diminta.
"Iya, Mbak. Lagi sibuk-sibuknya karena mau persiapan launching produk baru," jelas Adara seadanya.
Sana belum menghilangkan senyumannya sejak tadi. Membuat Adara harus berkali-kali menyadarkan diri agar tidak terlena dalam perasaan menyebalkan itu. Ia menempati posisi sebagai istri Ragha sekarang. Mau secantik apapun wajah Sana, Adara tetaplah pemilik hati Ragha. Karena lelaki itu memang yang menentukan sendiri ke mana harus melabuhkan hatinya.
Seharusnya dengan posisinya, juga kalimat cinta yang Ragha sampaikan padanya tempo hari, sudah membuat Adara percaya diri. Tidak lagi dilingkupi perasaan jika ia tidak layak untuk menyandang status sebagai istri Ragha. Karena sudah jelas, Ragha yang memilihnya dengan mengambil risiko tertinggi, menentang permintaan Mama.
"Hubungan kalian baik-baik aja, 'kan?"
Adara termenung sesaat. Menatap Sana dengan tatapan tidak mengerti. Haruskah sampai bertanya seperti ini?
"Ah maaf, Dara. Mungkin pertanyaanku terlalu tiba-tiba. Aku cuma mau memastikan kalau kalian baik-baik aja." Sana tersenyum sesaat. "Mama baru aja masuk rumah sakit. Serangan jantung seperti sebelumnya. Aku nggak tahu persis penyebabnya, tapi kata dokter selama beberapa waktu terkahir Mama stress berat dan beliau jadi lebih suka marah-marah. Mungkin pekerjaan lagi banyak-banyaknya. Kamu tahu maksud aku, 'kan?"
Adara tidak banyak memberi respon. Masih terkejut dengan kabar yang Sana bawa untuk kehadirannya yang tiba-tiba. "Kok Mas Ragha nggak ngabarin aku? Aku 'kan bisa langsung ke rumah sakit begitu tahu."
"Ragha langsung panik tanpa mikirin hal lain. Baru setelah Mama baik-baik aja, dia baru ingat belum kasih kamu kabar. Makanya aku yang inisiatif ke sini untuk kasih tahu kamu."
Adara masih diam. Mencerna kalimat Sana yang terucap halus. Adara tahu, ini bukan saatnya ia merasa dilupakan. Namun entah bagaimana hatinya merasa tidak senang.
"Mas Ragha bisa hubungi aku, nggak harus Mbak Sana yang ke sini, 'kan?"
"Dara, ini kabar kurang baik. Akan menjadi hal yang kurang baik juga kalau Ragha cuma menghubungi kamu lewat telepon. Dia cuma nggak mau kamu panik. Nggak ada maksud lain. Kamu nggak perlu merasa nggak nyaman begitu. Lagian Mama udah baik-baik aja sekarang."
Adara mengangguk saja. "Tapi Mbak Sana nggak cuma membawa kabar ini sampai datang menemui aku, 'kan? Ada hal lain yang harus kita bicarakan?"
"Ya. Aku meminta izin kamu atas permintaan Mama. Kondisi Mama nggak memungkinkan untuk mengurusi pekerjaan. Mungkin untuk beberapa saat Mama akan libur dari pekerjaan beliau. Dan pekerjaan itu akan diambil alih sama Ragha.
"Dara nggak masalah 'kan kalau selama Mama sakit, Ragha akan tinggal di rumah Mama? Bukan cuma untuk menemani Mama yang sakit, tapi jarak dari kantor ke rumah Mama jauh lebih dekat, nggak akan memakan waktu terlalu lama. Pekerjaan Ragha akan bertambah dua kali lipat, akan menguras banyak waktu dan tenaga kalau Ragha tetap pulang setiap harinya. Dan ya, kamu tahu, Mama akan merasa lebih tenang kalau Ragha ada di rumah. Nggak apa-apa, 'kan?"
Adara tidak mungkin menolak untuk permintaan semacam ini. Adara tahu, Ragha memang suaminya. Tapi di samping itu, Ragha juga anak laki-laki Mama yang masih harus berbakti pada Mama. Adara tidak bisa mementingkan keegoisannya untuk hal semacam ini. Bagaimanapun Mama lebih berhak atas Ragha.
"Nggak masalah, Mbak. Mas Ragha bisa tinggal di rumah Mama sampai Mama sembuh."
"Sama kamu," sambung Sana yang membuat Adara mengerutkan keningnya tidak mengerti.
"Maksud Mbak Sana?"
"Kamu juga akan ikut tinggal di rumah Mama selama Ragha di sana. Itu permintaan Mama."
"Aku?" tanyanya seraya menunjuk dirinya sendiri. Sana mengangguk. "Tapi, Mbak. Aku nggak mungkin ikut, Mama ...."
"Tolong, Dara. Ini permintaan Mama. Kamu mungkin keberatan karena sikap Mama yang nggak begitu baik. Tapi ini permintaan Mama. Bisa, ya?"
Tidak ada pilihan yang bisa Adara ambil untuk sesi akhir pembicaraan mereka. Karena memang sejak Sana hadir, Adara tidak dipersilahkan untuk memilih. Sana hanya membawa satu permintaan dan harus Adara turuti.
***