Semalam tidur Adara sangat nyenyak. Menangis lantaran nasihat Ibun sampai kelelahan dan berakhir memejamkan mata. Ia masih mengingat jelas hangatnya pelukan Rhea dan Ibun. Keduanya bahkan menemaninya sampai ia benar-benar berhenti dari tangisannya.
Efeknya tentu jauh lebih luar biasa. Di pagi harinya ia terbangun dengan perasaan yang lebih ringan, seolah tidak ada beban berat yang membebani pundaknya. Dan ya, harus Adara akui, kalau rasa nyaman itu membuatnya kembali kesiangan.
Oke, ini bukan hal baik. Adara mengakui itu. Semenjak hubungannya dan Ragha berjalan tidak baik, Adara memang kehilangan waktu tidurnya yang normal. Ia sering kali begadang di malam hari nyaris sampai pagi. Tapi ia justru akan tidur sampai siang, sampai terlambat bangun.
Ragha tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Mungkin paham, jika Adara tidak baik-baik saja. Jam tidurnya kembali normal sesaat setelah ia berbaikan dengan Ragha. Setelah pengakuan cinta yang Ragha sampaikan saat itu.
Tapi akhir-akhir ini, setelah ia tinggal di rumah Mama untuk beberapa saat, waktu tidurnya kembali tidak normal. Tidur terlalu larut dan bangun terlalu pagi. Berakhir ia mengantuk di kantor. Dan hal itu membuat Yuna bekerja ekstra untuk marah-marah.
Pagi ini benar-benar luar biasa. Adara seolah kembali mendapatkan kehidupannya yang sudah lama hilang. Membuatnya merasa begitu bahagia saat sepasang matanya terbuka dan menatap kamar yang ia tempati sudah terang benderang. Tentu saja tanpa kehadiran Ibun dan Rhea. Karena mungkin keduanya sudah beranjak sejak pagi-pagi sekali. Dan membiarkan Adara agar beristirahat lebih lama.
Adara segera beranjak menuju kamar mandi di kamar itu. Mencuci wajahnya dan menggosok gigi. Setelahnya ia keluar kamar, masih dengan rambut berantakan yang diikat asal. Mengedarkan pandangannya ke seluruh rumah untuk mencari tahu keberadaan Ibun dan Rhea.
Karena tidak menemukan keberadaan dua orang itu di lantai dua, Adara langsung turun ke lantai satu. Sudah jelas keduanya berada di dapur untuk menyiapkan sarapan. Ibun yang memasak dan Rhea yang hanya bertugas mencicipi. Memang sudah begitu kerjaan Rhea sejak dulu.
“Ibun,” panggilnya setelah menguap lebar-lebar. Adara memang bisa menjadi seutuhnya dirinya sendiri saat berada di rumah Ibun. Ia tidak perlu pura-pura anggun, dan sebagainya, dan sebagainya untuk menutupi kebiasaannya yang buruk. Karena Ibun dan Rhea memang tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Tapi tidak dengan ibu mertua. Adara tidak akan berani bersikap seperti ini di hadapan Mama. Bisa-bisa ia langsung didepak keluar dari rumah Mama.
“Ibun di depan, Nak.”
Adara mengerutkan keningnya, keheranan. Untuk apa Ibun berada di depan pagi-pagi begini? Tapi karena enggan memikirkan lebih jauh, Adara memilih melangkahkan kakinya ke arah ruang tamu yang pintu depannya juga terbuka lebar. Membuat cahaya matahari lebih leluasa masuk dan menerangi ruangan.
Mata Adara sukses terbelalak saat sampai di ruang tamu. Di sana ada Ibun yang sedang tersenyum ke arahnya, juga dua orang lainnya dengan tatapan berbeda. Yang harus Adara akui mereka adalah Ragha dan Mama.
Ya Tuhan. Adara hanya bisa terkekeh pelan mendapati wajah Mama yang nampak sebal dengan tatapan tajam yang mengerikan. Apalagi Adara masih berpenampilan seadanya setelah bangun tidur. Ia tidak sempat menyisir rambut atau segera mandi. Memang siapa yang mau mandi di waktu sepagi ini, di hari libur? Memang sudah pukul delapan pagi. Tapi ini masih terlalu pagi untuk mandi di hari libur, ‘kan?
Sementara Ragha yang menduduki kursi lainnya hanya tersenyum tipis untuk menahan suara tawanya. Adara bisa menangkap jelas tatapan Ragha yang nampak menggodanya. Jika saja tidak ada Ibun dan Mama di sini, mungkin Adara sudah akan melemparinya dengan vas bunga di sisi meja.
“Ini loh ada Mama dan suamimu. Sini dulu, Nak.” Ibun berucap lembut sembari menarik Adara untuk lebih dekat. Membiarkannya menyalami Mama dan Ragha. Setelahnya duduk tenang di sebelah Ibun.
Selanjutnya Ibun melanjutkan pembicaraan khas ibu-ibu dengan Mama. Adara tidak terlalu memperhatikan karena sudah kepalang malu. Ia hanya terus berpikir, bagaimana ia akan bersikap saat pulang ke rumah Mama nanti? Pasti Mama akan melayangkan banyak cercaan karena baru saja mendapati Adara yang demikian. Nampak sangat berbeda dengan Adara saat di rumah Mama.
“Jam berapa sekarang?” ucap Mama seraya mengecek jam yang melingkar di tangan kirinya. “Oh sudah jam delapan. Kamu baru bangun Adara?” celetuk Mama yang jelas untuk menyindir Adara. Adara menoleh sejenak dan meringis ngilu. Berharap Mama tidak akan membuka pembicaraan yang lebih parah untuk memaki-maki Adara. Jika itu di rumah, bukan masalah. Tapi ini di rumah Ibun. Dan Adara enggan jika Ibun sampai tahu hubungannya dan Mama yang tidak baik.
Ibun tertawa renyah. Tidak menangkap sinyal gelap yang Mama layangkan. “Semalam kami begadang, Bu. Dara dan Rhea sudah lama berpisah makanya ada banyak cerita yang mereka bagikan pada ibunya. Siangnya juga mereka kelelahan karena bekerja. Lagi pula ini hari libur, nggak ada salahnya membiarkan anak-anak bangun terlambat.”
Mama hanya mengangguk dan tersenyum, sangat manis. Sampai membuat Adara menatap lama. Karena memang ia tidak pernah melihat Mama yang tersenyum begitu lebar seperti ini. Tapi begitu ia menelisik lebih jelas, ada senyuman janggal yang tertangkap mata. Yang Adara sadari jika senyuman itu ditunjukkan untuknya.
Adara menghela napas panjang. Merasa kecewa. Apa yang Mama pertontonkan hanya sekadar penutup wajah di depan Ibun. Mama mengabulkan apa yang Adara inginkan. Jangan sampai Ibun tahu hubungan tidak baik keduanya.
Tapi entah bagaimana, hatinya dilingkupi perasaan tidak suka. Ia merasa kembali dihempaskan kasar oleh kenyataan lantaran harapan yang melambung tinggi. Karena lagi-lagi ia menaruh harapan itu bukan pada tempat yang sesuai. Membuatnya kembali patah berkeping-keping.
***
Adara sudah berpindah ke dapur bersama Rhea. Menyiapkan sarapan yang sudah Rhea beli sebelumnya. Keduanya hanya bertugas memindahkan makanan itu ke piring-piring. Selain karena tidak bisa memasak, Rhea juga enggan berkutat lebih lama di dapur.
“Jujur sama gue, lo nggak akur ‘kan sama mama mertua lo?” ucap Rhea berbisik. Mengingat Ragha, Mama, dan Ibun sudah berpindah ke ruang makan di dekat dapur. Keduanya tidak mungkin bicara keras-keras karena akan terdengar sampai telinga ketiganya.
Adara tentu saja tersentak lantaran pertanyaan itu. Tatapannya beralih pada Rhea yang memincang curiga. Tidak sempat menguasai ekspresi agar nampak baik-baik saja, Rhea sudah mengambil kesimpulannya terlebih dahulu.
“Udah gue duga. Kelihatan jelas dari cara dia natap lo,” lanjutnya seraya menata beberapa piring ke atas nampan. “Dasar pembohong!” umpatnya kesal. Setelahnya Rhea beranjak membawa nampan berisi piring itu untuk diantar ke meja makan.
Tidak lama Rhea kembali ke dapur. Wajahnya cemberut, nampak masih kesal. Rhea bahkan tidak berbicara apapun pada Adara.
“Rhe,” panggilnya seraya menahan sebelah tangan Rhea yang hendak pergi lagi.
“Nanti aja. Sarapan dulu. Gue nggak mau lihat lo diomelin sama mertua lo di depan Ibun. Setelah sarapan lo harus ceritain semuanya sama gue.”
Adara mengangguk saja. Mengikuti Rhea ke ruang makan. Mereka sarapan bersama dalam diam. Tidak banyak yang berbicara. Hanya ada suara Ibun dan Mama. Atau sesekali Ragha turut bicara karena Ibun mengajukan pertanyaan.
Selesai sarapan, Mama harus pulang terlebih dahulu. Sana sudah hadir dan menjemput. Bukan untuk mengurusi pekerjaan atau yang lainnya karena jelas ini hari libur. Mama hanya mengatakan ingin pergi berdua saja dengan Sana.
Sana memang sudah mengenal Ibun dan Rhea. Saat pertama kali bertemu saat itu, Sana mengenalkan dirinya sebagai adik sepupu Ragha yang sudah seperti adik sendiri. Sikap Sana juga selalu baik terhadap Ibun dan Rhea. Membuat Ibun tidak pernah berpikir terlalu jauh jika Sana adalah tunangan Ragha sebelum Adara hadir. Sementara Rhea tentu tidak akan mudah dibohongi hanya dengan sebutan adik sepupu Ragha.
Rhea sudah tahu mengenai keberadaan Sana semenjak di sekolah menengah atas kala itu. Tapi Rhea tidak pernah tahu kalau Ragha dan Sana pernah bertunangan. Hanya tahu sebatas, Sana yang menyukai Ragha, namun Ragha malah menikahi Adara.
Sikap Sana yang baik juga membuat Rhea tidak menaruh rasa curiga walaupun harus tetap berjaga-jaga. Jangan sampai kehadiran Sana bertujuan untuk merebut posisi Adara. Apalagi sekarang Rhea tahu kalau hubungan Adara dan ibu mertuanya tidak berjalan baik.
“Lo harus jelasin semuanya sama gue, Dar,” ucapnya setelah menaruh piring-piring bekas di wastafel. Adara yang bertugas mencuci, sementara Rhea bertugas membereskan meja makan.
Ragha masih di sana, sedang mengobrol bersama Ibun di halaman belakang rumah yang menghadap langsung pada taman bunga milik Ibun. Sembari menikmati teh hangat dan roti-rotian yang sebelumnya Adara hidangkan. Entah apa yang keduanya bicarakan. Adara enggan mencari tahu dengan menguping sembarangan.
“Apa yang perlu dijelasin, Rhe, kayaknya lo udah bisa tahu semuanya dari sikap Mama ke gue.” Adara berucap miris. Setiap mengingat tatapan kebencian Mama padanya membuatnya merasa kian bersalah. Ia kembali pada bayangan, jika ia memang penghancur hubungan orang.
“Seriusan, Dar, mamanya Ragha nggak suka sama lo karena apa? Gue yakin ini bukan sekadar keributan menantu sama mertua. Ada penyebabnya, ‘kan? Tatapan mertua lo tajam banget begitu.”
Adara menghela napas sejenak. “Mama nggak pernah menerima kehadiran gue sejak pertama kali. Karena kehadiran gue cuma bisa menghancurkan hubungan Ragha dan Sana yang udah terjalin sejak lama.”
Rhea sempat memekik keras. Tapi buru-buru Adara pelototi. Karena Ibun dan Ragha sempat menoleh lantaran terkejut. Begitu memastikan sudah tidak ada apa-apa, dua orang itu kembali melanjutkan pembicaraan.
“Mereka berdua punya hubungan?” tanyanya masih tidak percaya.
Adara mengangguk. “Mereka tunangan.”
“Kok bisa?”
“Ya bisa, Rhe. Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini. Lagi pula, mereka udah dekat sejak SMA, ‘kan? Lo tahu itu.”
“Nggak, maksud gue, kok bisa Sana tetap ada di sini setelah Ragha jelas-jelas punya lo. Dia ngapain? Bukannya makin dekat sama Ragha dan lo, bikin dia makin sakit hati?”
Adara menghela napas panjang. Tidak siap untuk membagikan apa yang selama ini menjadi kebingungannya sendiri. Tapi karena ia dan Rhea sudah berteman sejak lama dalam ikatan yang erat, membuatnya tidak bisa menyembunyikan banyak hal dari Rhea.
“Gue juga nggak paham, Rhe.” Adara berucap lirih. Sangat lirih sampai Rhea tahu kalau sebenarnya Adara mengerti alasan keberadaan Sana di sini, dekat dengan keluarga Ragha, dekat dengan Mama Ragha. Tapi Adara berusaha untuk tidak menyampaikan hal itu secara lisan. Karena hal itu benar-benar menyakiti hatinya.
Rhea tidak banyak bertanya lagi setelah itu. Hanya menepuk bahu Adara untuk menyalurkan kekuatan.
Pasti lelah ‘kan jadi Adara? Setelah menjalani hidupnya yang gelap gulita tanpa cahaya, sampai nyaris bunuh diri, Adara bisa menemukan kembali bahagianya. Tapi alasan kebahagiaan itu justru yang membuatnya kembali terluka.
Rhea kira hal-hal menyebalkan itu sudah pergi jauh-jauh dari hidup Adara setelah pernikahan itu. Namun ternyata Adara terus dihinggapi kepedihan yang entah sampai kapan akan berakhir.
“Gue nggak tahu, keberadaan gue dan Ibun bisa banyak bantu lo atau nggak. Tapi lo harus tahu, saat lo kehilangan semuanya dalam hidup lo, termasuk Ragha di dalamnya, lo nggak akan pernah kehilangan gue dan Ibun. Kami akan menunggu lo pulang, kami akan selalu membuka pintu lebar-lebar buat kehadiran lo.”
Adara mengangguk mengerti. Membawa Rhea dan memeluknya erat. Ia juga leluasa menumpahkan air matanya dalam pelukan itu. Tanpa harus merasa takut untuk pertanyaan yang mungkin Rhea ajukan. Karena dalam hal ini, Rhea memilih untuk terus diam. Dan hanya bertugas menjadi pendengar.
***