1. Duri Dalam Daging

1475 Kata
Adara duduk nyaman di kursinya. Bersandar untuk melemaskan punggungnya yang tegak seharian ini. Sebelah tangan meletakkan id card pada desk. Mengembuskan napas lelah, mencoba terpejam barang beberapa detik. Adara dan tim baru saja menyelesaikan meeting. Sebelum minggu depan diadakan pemotretan untuk produk baru Vieena. Cukup melelahkan karena Nasyra Yuna yang menjabat sebagai Fashion Manager menuntut kesempurnaan. Ini adalah produk kesekian yang merealisasikan gambar dari desainer utama Vieena, Chava Rieena. Membuat kehadiran si desainer cukup membawa semangat tersendiri untuk tim. Karena selama ini, Rieena lebih banyak menghabiskan waktunya di butik daripada di kantor. Cukup menimbulkan gumaman kekaguman. Rieena yang terlihat nyata memang jauh lebih cantik daripada Rieena yang dilihatnya pada layar ponsel. Tutur katanya yang halus juga sempat menyapanya tadi. Sedangkan Adara masuk dalam tim desain bersama beberapa rekan lainnya. Perempuan lembut itu kini bekerja secara langsung di bawah Rieena. Lantaran keluarnya Aluna dari pekerjaan karena kehamilan membuat posisi yang dijabatnya saat ini kosong. Sampai akhirnya Adara hadir dua bulan lalu. Mengisi kekosongan dalam tim. Membuatnya kembali utuh dalam persatuan yang padu. Hah ... embusan napas kesekian. Sedikit melirik ke arah getaran yang berasal dari ponsel. Saat membaca nama yang tertera, Adara kembali tak acuh. Memilih memejamkan matanya. Melanjutkan memijat pelipis yang terasa berat. "Dara." "Ya, Mbak," sahutnya begitu Yuna memutar kursi kerjanya. Menghadapkan badan pada seniornya yang terlihat sudah bersiap-siap pulang. "Lo jangan lupa ingetin manajernya Frey untuk datang tepat waktu. Kita ada briefing sebelum take foto." "Siap, Mbak." Yuna mengangguk. Mulai beranjak dari kursinya. Menggantung tas pada bahu kirinya. Kemudian kembali berucap, "oh iya, Echa bakalan nganter beberapa samplenya hari ini. Lo yang dapat tanggung jawab nerima, 'kan?" Adara mengangguk. "Cek lagi, jangan sampai ada yang kurang. Dan lo langsung bahas kelengkapannya sama Echa dan Nara untuk acara minggu depan." "Okey, Mbak." Yuna tersenyum cerah. Menepuk bahu Adara beberapa kali. "Gue duluan ya. Rey gue duluan." "Ya, Mbak. Hati-hati," sahut Reygan dari balik kursinya. Lelaki itu masih mengotak-atik kameranya. Belum berniat pulang padahal jam dinding sudah menunjukkan angka empat. "Rey belum balik?" Retorik. Hanya untuk berbasa-basi. Menghilangkan kediaman di antara dua orang yang berada dalam satu ruangan. Reygan menggeleng. "Masih jam empat, Mbak. Nunggu cewek gue kelar ngantor." Adara mengangguk paham. Langsung memutar kembali kursinya menghadap desk. Lagi-lagi ponselnya menyala. Nama yang sama tertera di sana. Dan Adara terlalu malas untuk sekadar menggeser warna hijau yang nampak di layar. Memilih menelungkupkan kepalanya. Mengabaikan deringannya yang sesekali diam, namun sedetik setelahnya kembali menarik perhatian. Membuatnya mendesis kesal. "Angkat kali, Mbak." Suara Reygan menyahut. Lelaki itu mulai beranjak. Membereskan perlengkapannya. Terlihat jelas, jika si lelaki yang saat ini masih kesulitan menyelesaikan skripsinya akan bersiap-siap pulang. Reygan adalah mahasiswa Akuntansi dari kampus terkemuka. Tapi entah bagaimana malah menyukai bidang fotografi. Dan memilih mengisi akhir masa kuliahnya dengan bekerja sebagai fotografer. Mengabaikan skripsinya yang kian tak tersentuh. Lantaran pekerjaan yang menumpuk. Pertemuan pertama saat itu, di hari pertama Adara bergabung sebagai karyawan magang, Reygan sudah bercerita panjang lebar mengenai dirinya. Lengkap dengan kelulusannya yang tertunda. Saat Adara menanyakan alasannya, Reygan hanya menjawab, "gue realistis, Mbak. Masih doyan duit. Skripsi bikin puyeng, sedangkan kerja sama Pak Vigo bikin gue kaya." Hah ... okey. Memang siapa yang peduli dengan kehidupan tidak jelas Reygan? Hanya saja, Adara merasa sayang dengan pencapaian yang hampir mencapai batas akhir. Tapi malah ditinggalkan karena alasan lain yang lebih realistis. Uang. Ya, siapa pun pasti suka uang. Begitu juga dengan dirinya. Tapi apa tidak sayang jika harus meninggalkan kuliah yang tinggal selangkah lagi? Demi satu benda yang disukai jutaan umat bernama uang. Bukan bermaksud menyalahkan. Adara merasa sedikit ... iri, mungkin. Lelaki itu bisa menjalani hidup dengan sesukanya, sebebasnya. Sedangkan dirinya? Ya begitulah. "Mbak gue duluan, nanti Nyonya marah," pamitnya. Adara bergumam mengiyakan. Sembari terus mengikuti punggung Reygan yang semakin menjauh. Tersenyum miris. Mengingat kembali keadaan dirinya yang tidak seberuntung manusia lain. Tidak sehebat Rieena yang tetap bisa berkarir dan menjadi ibu baik dalam satu waktu. Tidak seberani Reygan yang mampu mengambil jalan dengan risiko besar. Tidak juga seberuntung Aluna yang dicintai dengan begitu manis oleh suaminya. Sedangkan Adara, hanya seseorang yang datang dan menghancurkan rencana indah orang lain, mungkin. Menjadi duri yang menyusup ke dalam daging. Tak terlihat, namun rasa sakitnya terasa begitu jelas. Tidak heran jika keberadaannya layak untuk dibenci. "Dara maaf ya ampun aku telat." Suara itu melunturkan lamunan. Menghilangkan hal buruk yang sempat akan memenuhi kepala. Menimbulkan satu rasa tidak menyenangkan. Selalu mengganggu dalam hati. Tapi sayangnya, Adara tidak mampu mengusir rasa itu, menjauh. Agar tidak lagi menggerogoti hatinya. Mengembalikan hidupnya agar kembali tenang. Tanpa rasa takut, tanpa rasa bersalah, dan kehadirannya yang tidak berharga. *** Langit sudah menghitam begitu Adara keluar dari kantor. Tidak menghambat hiruk-pikuk perkotaan sama sekali. Jalanan masih ramai, bahkan sesak oleh banyaknya kendaraan. Meningkatkan kadar polusi di udara yang membuat sistem pernapasan tercemar. Satu pemandangan biasa di sebuah kota besar yang sesak dengan produktivitas. Tidak ada matinya, tidak ada tidurnya. Dua puluh empat jam dalam sehari nampaknya masih kurang untuk beberapa yang memiliki ambisi. Mengejar sesuatu yang dianggap tidak bernilai untuk sebagian orang, namun tidak bisa dipungkiri jika nyaris seluruhnya tidak bisa hidup tanpanya. Bahkan yang lebih parah, mendekati titik ekstrem dalam pencarian. Beberapa di antaranya sibuk memainkan posisi, menelan yang bukan hak, sampai membuat satu sisi lainnya terpuruk. Tanpa belas kasih lantaran keserakahan. Hari-hari menuju launching produk baru memang melelahkan. Tidak sedikit di antaranya harus menambah jam kerja. Mengisi sebagian malam dengan hal memuakkan bernama pekerjaan. Terkhusus bagian operasional dan marketing. Sialnya, Adara berada di salah satunya. Tapi apalah daya, hidup memang tempatnya bersusah payah. Tempatnya mencari bekal, tempatnya berkeluh kesah. Karena tempat menyenangkan itu akan didapat nanti, di alam yang abadi. Itu pun jika waktu yang terkuras dalam hidup menambah kadar kebaikan dalam diri. Jika tidak, ya ... apa boleh buat. Bukankah semua sudah ada balasannya masing-masing? Rekannya yang lain sudah pulang. Ayeesha yang terakhir menemaninya pun sudah dijemput oleh kekasihnya. Memainkan peran secara adil. Si kaum lelaki memberi aksi berupa datang menjemput, dan si perempuan memberi reaksi berupa rasa bahagia. Karena nampaknya Tuhan memang sudah menciptakan segala sesuatu dengan berpasangan. Kala manusia hidup, ada saatnya mati. Kala merasa bahagia, ada satu titik lain untuk mengecap kepedihan. Kala bersua dengan saudara sembari tertawa ria, sepi juga akan datang menghampiri. Ya, memang seharusnya hidup berjalan demikian. Agar selalu seimbang dengan dua sisi sama berat. Bukan malah menelan waktu nyaris keseluruhan dengan berat sebelah. Sama seperti apa yang Adara rasakan dalam setiap embusan napasnya. Kesepian dan kepedihan yang kian mengerat. Membuatnya semakin kecil di hadapan masalah yang menyeruak. Merobek hatinya, menurunkan rasa percayanya. Tapi apapun itu, Adara masih berharap akan kebesaran Yang Kuasa. Mungkin bukan sekarang. Tapi nanti, kala waktu itu sudah tiba, kala ia sudah bisa mengecap yang namanya kebahagiaan. Kala posisinya sudah berhasil mencapai kata pantas. Sehingga tidak ada lagi yang datang untuk menyayat hatinya. Membuat luka itu kian lebar dan menyiksa. *** Adara menghela napas panjang setelah melepas heelsnya. Meletakkan di tempat semula. Mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang sama sepinya. Seperti hari kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarin-kemarinnya lagi. Beralih menatap garasi di samping rumah. Hanya ada satu mobil sedan yang mengisi separuhnya. Sedangkan mobil lain yang biasa tergeletak di sampingnya belum terlihat. Mungkin belum pulang, pikirnya. Langkahnya terayun menuju kamarnya di lantai dua. Sempat terhenti, selangkah sebelum kakinya menginjak tangga. Suara Bibi menginterupsi. Asisten rumah tangga yang sudah membersamainya sejak dua tahun lalu. Tugasnya selayaknya asisten rumah tangga lain. Membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan memasak. Sedangkan Pak Rozi, suami Bibi bertugas membersihkan taman belakang, halaman depan, dan sesekali menjemput atau mengantar Adara. Mungkin kondisi rumahnya akan lebih sepi jika dua orang yang dipercaya Ragha tidak di sini. Kesepian itu hanya akan dirasakan Adara, seorang diri. Bersyukur karena setidaknya dua orang lainnya membuat suasana rumah lebih hidup. Adara yang jarang keluar di hari libur, selalu ditemani Bibi untuk bereksperimen. Membuat menu-menu baru yang selalu berakhir dengan dapur berantakan. Tak mengapa, karena Ragha tidak pernah protes untuk hal itu. Ehm, atau lebih tepatnya tidak pernah protes untuk hal apapun. "Mas Ragha belum pulang, Bi?" tanyanya setelah menghabiskan segelas air putih. Adara sudah mandi, berganti dengan piyama tidur panjang. Rambutnya sedikit basah karena baru keramas. Udara hari ini cukup panas. Ditambah pekerjaan kantor yang kian menumpuk. Membuat Adara memilih keramas sebagai jalan terbaik untuk melepaskan semua beban itu. "Loh, Bapak nggak bilang kalau hari ini nggak pulang?" Adara mengerutkan keningnya. Seingatnya tidak ada komunikasi seharian ini. Ragha memang beberapa kali menghubunginya, namun Adara terlalu malas menggeser tombol hijau. Adara sedang tidak berminat menanyakan kabar atau apapun itu tentang Ragha. "Neng Dhia pulang, Bu. Bapak jemput di bandara." Adara merespon cepat. Tidak mengharapkan pembicaraan lebih lanjut. Selain bukan urusannya, hatinya juga merasakan hal tidak menyenangkan itu. Ragha tidak pulang dan tidak mengirimkan pesan. Setidaknya sedikit berusaha, jika Adara enggan mengangkat panggilan ya kirimkan pesan. Hah ... bukankah lelaki itu memang tidak pernah memberinya kabar? Jadi untuk apa Adara berharap terlalu banyak? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN