Kejutan di pagi hari yang menyebalkan. Adara yang baru saja memasuki lift langsung mendapat dorongan heboh dari sisi kanan dan kirinya. Disusul senyuman manis dengan tatapan penasaran milik Yuna dan Nara. Membuat Adara hanya bisa menghela napas malas.
Nampaknya satu harian ini ia tidak akan tenang. Karena di waktu sepagi ini, Yuna dan Nara sudah hadir dengan wajah penuh pertanyaan. Yang tentu saja keduanya akan terus memaksa Adara untuk membagikan ceritanya.
"Dasar manja!" umpat Yuna untuk sesi awal.
"Biasanya juga naik taksi, sekarang minta diantar," sahut Nara tidak kalah menyebalkan.
"Sengaja mau pamer?" Yuna mencibir. Kedua tangannya sudah terlipat di depan d**a. Menatap Adara sengit.
"Pakai acara pelukan segala. Nggak mau sekalian ciuman depan kantor biar karyawan pada tahu?" Nara menambahi.
"Kalian apaan sih?" kesal Adara. Bergerak sebal untuk mendorong Yuna dan Nara yang mengapitnya. Ayolah, mereka sedang berada di dalam lift yang mana hanya sebuah kotak besi kecil yang sempit. Akan semakin sempit jika posisinya seperti ini.
"Nggak usah nyangkal ya, Mbak. Aku lihat dari awal." Nara kembali mengapit Adara diikuti Yuna. Kali ini Adara tidak bisa mendorong keduanya menjauh. Hanya bisa menghela napas panjang. Sabar, sabar. Sudah menjadi risiko berteman dengan dua manusia yang memiliki tingkat ingin tahu tinggi ini.
"Manja banget. Pakai segala nangis cuma gara-gara mau pisah buat kerja. You're a real drama queen, Adara," sahut Yuna menyebalkan. Seolah sangat tahu dengan apa yang dilihatnya.
Adara memutar bola matanya malas. Apa-apaan sih dua temannya ini? Jadi mereka mengira Adara menangis hanya karena enggan berpisah dengan Ragha, begitu? Benar-benar tidak masuk akal.
"Ck, Mbak. Aku nggak sedrama itu ya," sangkal Adara. Nada sebal terdengar jelas dari suaranya.
"Heleh, yakin lo? Segitu cintanya sama suami." Yuna masih enggan diam. Satu hal wajar memang. Justru kalau Yuna dan Nara tidak heboh satu hari saja, pasti ada yang tidak beres dari keduanya.
"Bucin mah bucin aja." Nara ikut mencibir. Malah terdengar jauh lebih menyebalkan.
"Ih beneran, mana ada nangis-nangis cuma gara-gara pisah kerja. Aku bukan abg."
Wajah julid menyebalkan khas Yuna kembali nampak. "Bisa aja 'kan semalam terjadi sesuatu yang hebat di antara lo berdua sampai nggak rela pisah."
Nara tercengang sesaat. Tidak mengerti dengan kalimat yang Yuna bawa. Belum lagi wajah Adara sudah memerah padam. Membuatnya kian kebingungan.
"Emang terjadi sesuatu yang hebat apaan, Mbak?" tanyanya polos. Yuna hanya bisa menghela napas malas kalau rekan bergosipnya sudah dalam mode bodoh begini.
"Lo tuh lebih tua dari Reygan ya, Nara. Tapi kok nggak ngerti masalah ginian," ucapnya kesal. Niat awal ingin menggoda Adara supaya lebih terbuka mengenai kehidupan pribadinya malah Nara tidak bisa bekerja sama. Sampai Yuna harus pindah haluan untuk memarahi Nara terlebih dahulu.
"Ya Mbak Yuna lagian. Jangan bawa-bawa istilah yang aku nggak ngerti makanya."
"Lo aja yang bego. Reygan nyambung tuh kalau ngomong sama gue."
"Dih bawa-bawa Reygan. Pasti pembahasan nggak bener ya makanya otak kotor Reygan cepat nyambungnya. Emang Mbak Yuna sama Reygan sama aja. Cuma aku aja yang otaknya masih cemerlang."
Adara menghela napas malas. Mengabaikan keduanya dan bergegas keluar begitu lift terbuka. Nara dan Yuna yang sebelumnya sibuk berdebat langsung berlari mengikuti langkah cepat Adara. Masih sesekali saling menyalahkan.
Adara kira keduanya akan sibuk memperdebatkan sesuatu yang tidak berguna. Tapi ternyata tidak demikian.
Baru saja Adara menaruh tasnya dan duduk tenang di kursi kerjanya, Yuna dan Nara kembali berulah. Membawa kursi kerja mereka untuk kembali mengapitnya. Membuat Reygan yang sudah hadir sebelumnya hanya bisa menghela napas kasar.
Nasibnya memang baik sudah menjadi bagian dari Vieena dengan gaji besar, di usianya yang masih muda. Namun nasib baik itu tidak berlaku untuk keberadaan tiga perempuan rempong yang berada satu ruangan dengannya. Setiap hari ada saja berita baru yang ia dengar.
Tidak menghiraukan tiga manusia dengan bahan pembicaraan baru itu, Reygan memilih menyalakan laptopnya dan memulai bekerja. Anggap saja di ruangan ini hanya ada ia seorang.
"Dara, lo murung beneran?" Yuna keheranan mendapati Adara yang diam dengan mata memerah bekas menangis. Sejak Adara bergabung menjadi bagian dari tim, Adara memang lebih pendiam dibandingkan rekannya yang lain. Tapi Yuna juga paham kalau diamnya Adara yang biasanya berbeda dengan diamnya Adara yang sekarang.
"Nggak kok, Mbak."
"Ih seriusan kali. Lo sedih beneran. Kelihatan jelas dari mata lo."
"Beneran sedih ditinggal suaminya kerja, Mbak?" sahut Nara masih sibuk dengan otak polosnya.
Yuna mendesis sebal. "Ya nggak lah bego. Lo tuh ihh, nggak paham banget kalau tadi gue cuma asal ngomong."
Yuna beralih pada Adara yang terkekeh mendapati wajah Nara yang cemberut. Namun tidak bisa menutupi raut kepedihan yang nampak jelas. Walaupun sedikit menyebalkan dan suka seenaknya, juga galak tidak karuan saat teman satu timnya membuat kesalahan, Yuna tetap sosok teman yang peduli pada temannya. Tidak bisa mengabaikan begitu saja.
"Dara, lo kenapa lagi sih? Kok murung lagi. Padahal tadi diantar suami lo, 'kan? Kenapa sedih begini? Harusnya lo happy dong. Jarang-jarang 'kan suami lo ada waktu buat nganter."
"Nggak apa-apa, Mbak. Aku baik-baik aja. Dan aku akan berusaha lebih fokus supaya nggak buat kesalahan yang sama kayak sebelumnya."
Yuna mendesis sebal. Jelas alasannya bukan karena ia takut Adara membuat kesalahan lagi. Ia hanya tidak suka jika ada teman satu timnya yang nampak murung.
Bagi Yuna bekerja adalah kegiatan yang menyenangkan. Bisa mengembangkan diri dan saling bertukar pikiran dengan teman satu tim. Dan dalam bekerja membutuhkan fokus penuh supaya hasilnya maksimal. Tidak seharusnya membawa hawa-hawa buruk dari luar.
"Lo kalau ada apa-apa cerita kenapa sih, Ra? Supaya beban lo nggak berat banget. Gue sering loh lihat lo murung begitu. Nggak percaya gue kalau lo bilang nggak apa-apa. Ini mah jelas ada apa-apa."
Adara tersenyum sesaat. Adara juga tahu kalau teman-teman kantornya adalah orang-orang baik yang peduli pada orang lain. Yuna bukan sekali ini menawarinya untuk berbagi beban. Namun Adara yang selalu menolak. Karena baginya, bukan hal yang baik jika ia membagikan apa yang ia rasa pada orang lain. Ia hanya takut bercerita semacam ini menjadi bagian dari mengumbar aib keluarga.
"Mbak Yuna benar. Aku memang lagi ada masalah. Tapi kayaknya nggak perlu aku ceritain sama Mbak. Aku masih bisa menahan semuanya kok."
Yuna menghela napas kasar. "Iya deh. Tapi lain kali kalau lo udah nggak bisa lagi menahan beban itu dan lo butuh banget cerita, lo bisa cerita ke gue."
Adara mengangguk. "Makasih ya, Mbak."
"Santai, Dara. Kita teman setim, teman di luar kantor juga. Udah jadi hal wajar saling membantu kalau ada yang kesulitan."
Nara yang sejak tadi diam berdecak kagum. "Aku suka nggak percaya kalau Mbak Yuna bisa ngomong begini. Berasa lihat Mbak Yuna yang beda."
Yuna yang sebelumnya memasang wajah hangat untuk menanggapi Adara kini kembali mencibir sebal. Tatapannya tajam yang ia layangkan pada Nara. "Lo tuh nggak tahu suasana banget. Udah melow juga, malah lo nyeletuk nggak enak begitu."
"Lagian masih pagi kali. Jangan melow-melow dulu lah. Daripada Mbak Dara kepikiran sama masalahnya mendingan kita bahas suaminya Mbak Dara," ucap Nara semangat. Kedua matanya sudah berbinar penuh harap.
"Apaan sih? Nggak ah, aku nggak mau."
"Dih, Dara. Nggak apa-apa kali. Kita 'kan juga mau tahu lo ketemu di mana sama suami lo, dia itu gimana orangnya, romantis nggak? Ayolah, Dara. Kita berdua ini cewek-cewek kurang asupan yang lagi butuh bekal buat menanti jodoh yang tepat."
"Nah benar tuh, Mbak."
Adara menghela napas. Sebenarnya ia malas, tapi karena Yuna dan Nara sudah berharap banyak, ia tidak bisa menolak. Mengangguk saja pertanda siap membagikan sedikit ceritanya pada dua rekannya itu.
Tidak banyak yang Adara bagikan. Ia hanya mengatakan jika ia dan Ragha berada di sekolah yang sama semasa sekolah menengah atas. Adara juga mengatakan jika ia sudah menyukai Ragha sejak saat itu dan belum lama ini Ragha mengakui hal yang sama padanya.
"Woaah, emang kalau udah jodoh begitu ya," komentar Nara antusias. Cerita Ragha dan Adara terdengar sangat mulus seperti tidak ada hambatan. Membuatnya menaruh rasa iri pada Adara. "Mbak Dara beruntung banget nggak sih?"
Yuna mengangguk setuju. "Iya, berasa kayak emang udah ditakdirkan buat sama-sama."
Adara tersenyum singkat. Ya, perjalanan cintanya dan Ragha terdengar sangat mulus karena ia menutupi sebagian besarnya. Termasuk penolakan Mama atas kehadirannya, perselingkuhan Papa yang membuat Mama murka, sampai pada respon Ayah yang seolah menjual Adara pada Ragha.
Mengingat hal itu membuat dadanya terasa sesak. Tidak pernah menyangka jika ayahnya yang selama ini menjadi satu-satunya keluarga rela melepaskan anak gadisnya pada seorang laki-laki dengan jaminan uang. Ayahnya yang penjudi itu seolah menjadikan Ragha sebagai mesin uangnya. Karena Ragha sudah menikahi Adara, membuat ayahnya dengan mudah meminta uang pada Ragha dengan nominal yang tidak sedikit.
Hal itu juga yang membuat Adara enggan terus berada di rumah, menunggu Ragha bekerja. Dalam diamnya, Adara merasakan banyak hal tidak menyenangkan. Termasuk rasa bersalahnya karena sang ayah malah memanfaatkan keadaan untuk memenuhi kebutuhannya.
Terkadang Adara berpikir, pantas saja Mama sangat membenci keberadaannya. Bukan hanya alasan Adara hadir untuk merusak pertunangan Ragha dan Sana. Namun juga keberadaan sang ayah yang seolah merendahkan harga diri putri tunggalnya.
Wajar bukan jika Mama juga beranggapan bahwa martabat Adara tidak akan berubah bahkan saat Ragha sudah menikahinya? Karena pada kenyataannya, sang ayah yang merupakan ayah kandungnya saja memang sudah merendahkan posisinya sejak awal mula.
Satu hal yang sering kali membuat Adara yakin, jika ia memang tidak berharga. Buktinya, ayahnya saja bisa berlaku demikian.
***