20. Cerita Sebelum Tidur

1240 Kata
Adara termenung sembari menatap kaca transparan di kamar Ragha. Memperhatikan gelapnya malam dalam kediaman yang entah sampai kapan akan berhenti. Menelusuri jalan pikirannya yang terus berkelana tanpa tahu arah. Ini adalah hari pertamanya berada di rumah Mama. Tidak terlalu berat karena memang setelah menjenguk Mama pagi tadi, Adara langsung berangkat ke kantor bersama Ragha. Mama menjadi tanggung jawab Bibi dan Dhia selama Ragha dan Adara tidak di rumah. Dan Adara baru kembali ke rumah tepat pukul sembilan malam. Membuatnya tidak turut serta dalam kegiatan makan malam bersama. Rumah pun sudah gelap dan sepi, menyisakan Bibi yang menyambutnya dengan senyuman sopan. Adara tidak sedang mengerjakan tugas tambahan sampai harus lembur. Ia hanya perlu lebih banyak waktu untuk mengolah hatinya sebelum kembali menginjakkan kaki di rumah Mama. Yang entah bagaimana terasa sangat dingin nan kaku. Adara tidak bisa merasakan hangatnya keluarga di rumah ini. Papa juga langsung pulang ke rumahnya setelah memastikan Ragha dan Adara hadir. Memastikan ada yang menemani Mama selama Papa tidak ada di rumah ini. Dan ya, Papa memiliki rumah lain yang harus dikunjungi. Agar perannya tetap berada dalam posisi adil. Helaan napas panjang itu berhasil menarik perhatian Ragha yang baru saja keluar dari kamar mandi. Sebelah tangannya sibuk mengeringkan rambutnya yang basah. Mereka memang pulang bersama tadi. Ragha datang menjemput Adara di kantor. Satu keberuntungan karena kantor sudah sepi sehingga Adara tidak perlu meladeni mulut menyebalkan teman-temannya. Jika saja Yuna cs tahu hal ini, mungkin Adara akan menjadi bahan pembicaraan menyenangkan sepanjang hari. "Aku kira udah tidur duluan," ucap Ragha seraya berjalan menghampiri Adara. Menatap istrinya penuh tanya. Sembari menyelidik, siapa tahu ada hal lain yang hadir dan membuat Adara banyak berpikir. Sampai-sampai membuatnya enggan memejamkan mata. Adara tersenyum sesaat. "Aku nunggu Mas." "Kenapa? Ada yang ganggu pikiran kamu lagi?" tanyanya halus. Ragha sudah menaiki ranjang dan duduk berhadapan dengan Adara. Mengusap kening sang istri lembut. Sebuah tindakan yang menegaskan jika Ragha tidak menyukai Adara yang banyak memikirkan hal-hal yang membebani. "Kamu udah capek kerja seharian. Nggak usah mikir macem-macem, Dara." Kalimatnya terucap tegas. Khas Ragha yang tidak menerima pertentangan. Adara menggeleng singkat. Meraih tangan Ragha yang sebelumnya mengusap keningnya untuk ia genggam. Membagikan kehangatan di tangan Ragha yang dingin setelah mandi. Menimbulkan ketenangan yang Ragha jamin hanya bisa ia dapat dari Adara. Satu-satunya perempuan yang bisa mencuri hatinya bahkan sejak usia mereka masih remaja. Membuatnya nampak bodoh karena hanya bisa memendam perasaan itu. Sampai akhirnya, di saat ia kehilangan kontrol dirinya, juga perasaan yang kian melambung, kesalahan itu terjadi. Yang malah membuka jalan untuk memiliki Adara secara sah. Tapi bukan berarti kesalahan itu tidak menerima hukuman. Nyatanya dua tahun pernikahan mereka jalani dengan penuh masalah. Sebuah isyarat jika memang sudah membuat kesalahan, maka akan ada bayaran atas kesalahan itu. Selama ini Ragha diam karena menyadari kesalahannya. Saat Adara terus menjaga jarak pun, Ragha selalu menganggap jika ia memang harus melewati kehidupan yang demikian. Bukan masalah besar, selama Adara bahagia dengan pilihannya. Namun begitu ia tahu jika Adara turut terluka, ia tidak bisa berdiam lebih banyak lagi. Kesalahan itu bersumber darinya. Seharusnya hanya ia yang menerima hukuman. Bukan malah Adara yang terus menanggung beban. Bahkan terus menerima tatapan kebencian dari Mama. "Aku nggak mikir macem-macem. Cuma lagi bingung aja, nanti kalau Dhia udah balik ke Jogja, siapa yang jagain Mama?" "Ada Bibi, Sayang. Papa juga pasti akan sering ke sini. Karena beliau tahu kita sama-sama punya kerjaan di luar. Lagian Dhia kayaknya belum ada rencana balik ke Jogja. Dhia itu nggak ada apa-apa aja suka bolos, apalagi ada apa-apa. Kamu nggak perlu kepikiran sampai segitunya." "Tapi Dhia kuliah, Mas. Nggak bisa seenaknya. Dia punya jatah liburnya sendiri. Nggak bisa terus di sini. Kita juga harus pikirin itu. Kasihan 'kan kalau harus ngulang mata kuliah tahun depan cuma gara-gara bolos dan nggak bisa ikut UAS?" Ragha tersenyum lebar. Mengacak gemas rambut panjang Adara yang tergerai. Sepasang matanya nampak sayu, Adara jelas sudah mengantuk. Namun masih berusaha menahannya karena Adara si pemikir tidak bisa menghentikan kepalanya yang terus berputar. "Besok kamu perlu nasihatin Dhia begini supaya anaknya nurut. Dan kalau Dhia udah balik ke Jogja, biar Mama sama Bibi." Ada tatapan ragu yang tertangkap jelas. "Kenapa lagi, Dara? Bilang sekarang. Aku nggak izinin kamu terus mikirin hal-hal yang nggak perlu." "Apa nggak apa-apa kalau Mama cuma sama Bibi? Bukannya Mama minta aku dan Mas tinggal di sini sementara untuk menemani Mama?" Ragha mengangguk. "Malamnya aja. Kalau siang kamu harus ke kantor. Seperti Dhia, kamu juga nggak bisa ngambil cuti kelamaan. Dan ya, kamu tahu 'kan terkadang orang sakit cuma butuh tahu kalau di rumah ada orang. Mungkin Mama merasa kesepian kalau cuma berdua aja sama Bibi, apalagi kalau malam. Papa nggak selalu pulang ke rumah ini, Dhia juga bakalan balik ke Jogja. Jadi Mama butuh tahu kalau di rumah ini ada aku dan kamu. Supaya nggak merasa kesepian banget." "Tapi kayaknya Mama cuma butuh tahu di rumah ini ada Mas deh, aku nggak termasuk di dalamnya." Adara berucap jujur. Tidak ingin membohongi hatinya dengan satu senyuman setelah mendengar kalimat Ragha. Adara tentu masih mengingat jelas bagaimana sorot kebencian itu dari tatapan Mama yang tajam. "Aku nggak peduli untuk itu, Dara. Karena Mama memang yang meminta kamu untuk datang. Mungkin alasan utamanya bukan itu, aku tahu persis. Tapi nggak menutup kemungkinan, kalau kehadiran kamu juga turut membantu Mama untuk mengusir kesepian. Jadi tolong berhenti untuk merasa rendah diri. Kalaupun Mama masih nggak mau menerima kamu, yang terpenting aku menerima kamu, mencintai kamu. Yang menikahi kamu itu aku, Dara, bukan Mama." Adara terkekeh pelan. Merasa lucu dengan kalimat terakhir Ragha. "Kok kesannya kayak maksa banget." "Ya kamu makanya berhenti merasa nggak berguna. Aku tahu ke mana arah pembicaraan kamu." Senyuman malu itu nampak. "Aku ketahuan ya. Padahal belum ngomong secara langsung." Adara menghela napas sejenak. Mengubah posisinya menjadi berbaring. Menatap langit-langit kamar Ragha. "Aku cuma merasa, kayaknya memang Mbak Sana jauh lebih bisa segalanya dibandingkan aku. Sampai mengurusi Mama yang sakit pun, Mbak Sana lebih bisa meluangkan waktunya. Sedangkan aku nggak bisa sekadar meluangkan waktu di siang hari untuk Mama. Aku merasa bersalah karena nggak bisa jadi menantu yang Mama harapkan." "Hey, aku aja nggak pernah protes untuk pekerjaan kamu. Kenapa kamu mulai protes sama apa yang menjadi impian kamu?" "Mas jelas tahu alasannya." "Dara, setiap orang punya prioritas masing-masing. Punya kesibukan sendiri-sendiri. Dan aku nggak pernah suka kalau kamu udah mulai membandingkan diri kamu sama orang lain. Kamu ya kamu, Sana ya Sana. Nggak perlu dibanding-bandingkan. Karena kalian jelas dua orang yang berbeda." "Aku nggak membandingkan, Mas. Aku cuma merasa bersalah aja. Untuk kehadiranku dan keberadaanku yang nggak sesuai sama apa yang Mama harapkan. Jadi kesannya, aku kayak mematahkan ekspektasi Mama." "Itu salah Mama, 'kan? Selama belum terjadi, kenapa Mama harus menaruh ekspektasinya terlalu tinggi? Begini jadinya. Bukan kamu yang salah, Dara. Karena jelas aku yang memaksa kamu untuk masuk ke duniaku yang seperti ini. Maaf untuk itu." Adara menggeleng cepat. Mengusap wajah Ragha yang sudah berbaring di sebelahnya. "Mas udah. Aku nggak suka kalau Mas udah merasa bersalah gini." "Maka dari itu kamu juga harus berhenti untuk terus merasa bersalah. Aku juga nggak suka." Adara terkekeh pelan. "Pintar banget balikin omongan. Udah ah, udah malam, tidur." Setelah kalimatnya, Adara langsung menarik selimut dan memejamkan matanya. Diikuti Ragha yang menariknya mendekat dan memeluknya erat. Sama-sama terpejam dalam bingkai mimpi. Berharap hari esok akan baik-baik saja. Jika memang akan ada hal buruk lainnya, keduanya hanya meminta diberi kelapangan hati untuk bersabar lebih lama. Supaya tidak terjadi hal-hal buruk yang lebih parah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN