Gegas kuayun langkah menuju ruangan Pak Rofiq. Para manager berada di dalam ruangan tertutup yang terhalang kaca tebal dan tirai.
“Bismillah!” Aku mencoba menenangkan diri sebelum memasuki aquarium sedang ini. Ya, dalam ruangan berlapis kaca ukuran tiga kali tiga meter inilah Pak Rofiq berada. Dan yang membuat dadaku berdebar bukan karena keberadaan lelaki paruh baya yang sebagian rambutnya sudah beruban itu, tetapi tampak ada asisten Mbak Macan di sana. Semoga saja bukan lagi bahas masalah jalan pakai mata, karena sejak dulu jalan itu ya pakai kaki.
Sebagai anak baru yang masih dalam masa percobaan, ada debar-debar aneh gitu ketika dipanggil ke ruangan HRD. Debar-debar di d**a, meskipun bukan cinta. Usai mengucap doa dalam hati agar tak ada hal apa-apa, aku bersiap mengetuk daun pintu ruangan. Beruntung Pak Rofiq tampak tengah fokus pada asisten Mbak Macan, jadinya aku bisa agak berlama-lama dulu menenangkan diri di sini.
Tok Tok Tok!
Aku mengangguk sopan seraya memasang senyuman yang paling manis, lalu kudorong pintu kaca itu setelah mendapatkan anggukan.
“Selamat siang, Pak! Selamat siang, Bu!”
Aku menyapa dua orang yang sekarang menoleh ke arahku bersamaan.
“Siang, Ameera. Silakan duduk!” tukas Pak Rofiq seraya menunjuk pada kursi kosong yang ada di depannya. Eh, jejer sama asisten Mak Macan dong kalau kayak gini.
Namun perempuan itu seperti membaca keraguanku. Dia bangkit lalu menatap Pak Rofiq.
“Saya permisi dulu, Pak! Namun itulah yang Nona Serlina sampaikan, Pak. Mari!” Dia pun lalu gitu saja. Aku sudah dianggap makhluk astral yang keberadaannya gak nampak. Dia lewat saja, tanpa permisi, tanpa menyapa. Beuh, sabar hati. Ini namanya ujian, kalau nilainya jelek bersiam remedial.
“Meera silakan duduk!” Pak Rofiq menunjuk kursi kosong itu sekali lagi.
“Iya, Pak. Hmmm tumben manggil saya, Pak?” Aku menatap sopan pada lelaki yang katanya dituakkan di perusahaan. Hanya dituakkan, ya. Bukan tua.
Dia pun mulai bertitah ketika baru saja aku menjatuhkan bokongku.
“Sebetulnya, bukan hal besar yang mau saya bicarakan. Namun tadi ada pesan dari salah satu keluarga pemilik saham di sini. Dia meminta saya menyampaikan langsung sama kamu.”
Etdah … itu Mak Macan masih saja cari kesalahanku. Namun aku hanya menjawab iya-iya saja.
“Iya, Pak.”
Daaan ceramah pun dimulai.
“Kerja itu, skill saja tak cukup. Pandai saja gak cukup, ada hal yang lebih penting dari pada itu yaitu atitude.”
“Iya, Pak.”
“Non Serlina tadi menyampaikan agar saya menegur kamu, karena kamu sudah dinilai tak sopan pada atasan dan bos kamu sendiri. Adapun kesalahannya, pasti kamu jauh lebih tahu dari pada saya. Mbak Hesti---sekretaris Non Serlina tadi sudah menyampaikan semuanya. Saya harap, kamu paham ke mana arah pembicaraan saya.”
“Iya, Pak.” Aku menunduk sambil memainkan ujung kuku. Membantah pun percuma, jadi ya sudahlah, kubiarkan saja Pak Manager HRD ini menyampaikan tugasnya. Kalau dipecat kan kasihan, mana sudah tua. Kalau aku masih mending, umurku saja belum sampai seperempat abad. Jadi masa depan masih panjang.
Pak Rofiq melanjutkan wejanangannya dan selama dia bicara aku hanya mengaktifkan mode paket hemat. Dua kata yang kujadikan jawaban yaitu iya, Pak.
Kuliha Pak Rofiq sudah capek juga bicara panjang kali lebar kali tingga kali jajar genjang, tapi jawaban aku hanya mode hemat, iya pak. Akhirnya dua menyuruhku meninggalkan ruangan.
Gegas kuayun langkah menuju kubikelku. Hari ini benar-benar sial, semua ketidak beruntungan beruntun datang padaku. Sepertinya pulang kerja aku harus mandi besar biar kesialan-kesialan lainnya gak datang.
Kubikelku sepi, gak ada siapapun. Bang Ferdi entah ke mana, hanya tersisa layar komputer dengan mode terkunci dan berkas yang berserak, serta tampak beberapa bungkus keripik yang dia sembunyikan di dalam lacinya.
“Ngumpetin makanan kok gak rapi, sini biar aku bantu.”
Gegas kuambil tiga bungkus keripik itu, lalu kumasukkan ke dalam tas. Baru kalau sudah bersmayam di dalam tas ini semua, judulnya adalah aman.
Hari ini berjalan begitu lambat, aku langsung mengerjakan pekerjaan seperti biasa. Hari ini aku harus menyiapkan data-data untuk forecast meeting. Harus selalu tepat waktu karena jika tidak maka Mak Lampir yang akan meneriakiku. Ya kali aku maling, tapi memang lagi berencana maling, maling hati bos duren.
Ngomong-ngomong tentang dia, ruangannya masih tertutup hingga sekarang. Bahkan dari sini pun tampak kalau vertical blind dalam ruangannya ditutup semua.
Duh, bikin keki saja. Lagi ngapain coba itu Mak Macan berlama-lama. Aku kan jadi gak fokus kerja gegara mikirin Mas Bos Duren di dalam sana.
“Wake up, Meeera!”Aku mencubit kedua pipiku agar terjaga. Jangan terlalu halu dan baper. Dia bukan level kamu.
Jemari kembali mengetik di atas keyboard, sesekali melihat data pada slide lainnya, ada juga yang kuambil dari tumpukkan berkas dan juga sesekali mencomot keripik yang kukeluarkan dari dalam tas. Bang Ferdi gak muncui-muncul lagi. Aman dunia perkeripikan.
Bell pulang akhirnya menyelamatkanku. Duh, sudah berasa dapet undian kalau mendengar bell pulang tuh. Padahal datang ke kantor untuk kerja, bukan untuk pulang. Entah kenapa senengnya itu kalau pas pulang.
Baru saja aku berdiri, tampak Bang Ferdi baru keluar dari arah conference room yang bersisan dengan lobi. Wajahnya tampak sumringah dan penuh binar bahagia.
“Duluan, ye, Bang.”
Aku berjalan meninggalkan Bang Ferdi yang baru saja hendak masuk.
“Itu namanya gak sopan, di mana-mana jika sedang bertamu, terus kamu mau pulang, harus tahan dulu bentar. Biar orang yang baru datang gak merasa kalau kamu benci sama dia.”
“Bodo.”
“Dih, ya!”
Kami berpapasan. Satu tangannya tanpa kusangka muncubit ujung hidungku.
“Bang Ferdi!” Aku memebulatkan mata dan menepis tangannya yang masih belum pergi.
“Manggil mulu, kangen, ya!” tukasnya, tetapi tak melepas tangan jahilnya. Masih betah bertengker di ujung hidungku yang mancungnya masih tertunda.
“Bang!” Aku menepis tangannya dengan keras, ketika kulihat pintu ruangan Mas Bos Duren terbuka dan dia keluar bersama Mak Macan. Duh tuh kan hati sudah mulai tak bisa dikondisikan. Kok kesel, ya? Padahal mereka serasi banget, sama-sama cantik, sama-sama kaya.
Bang Ferdi masih terkekeh, ketika aku memutuskan untuk pergi dan tak menengok lagi ke arahnya. Namun tak berapa lama, suaranya terdengar memanggilku yang sudah berada di area lobi.
“Re, Meera!” pekiknya sedikit keras.
Aku hanya tersenyum simpul dan pura-pura gak dengar saja. Yang penting keripik milik Bang Ferdi sudah benar-benar berada pada tempat yang aman. Siapa dulu dong, Ameera dilawan?