Menjadi Bahan Taruhan
Dior berjalan memasuki sebuah lobi Hotel dengan tidak percaya diri. Beberapa kali dia melihat ke sekelilingnya hanya untuk memastikan kalau tidak ada seorang pun yang akan memperhatikannya berlebihan. Wajahnya yang sangat cantik memang selalu menarik perhatian kaum Adam dari dulu hingga saat ini. Namun, kecantikannya yang alami malah membuat Dior tidak merasa bangga. Sebaliknya, Dior benci dengan kecantikannya yang sering mengganggu aktifitas kesehariannya, hingga membuatnya kesulitan untuk mendapatkan pacar yang tulus mencintainya tanpa memandang fisik apalagi kekayaan orang tuanya.
Kecantikannya pula membuat Dior kesulitan memiliki sahabat perempuan, lantaran teman-teman perempuan yang dekat dengannya selama ini akan berakhir dengan rasa cemburu dan iri yang besar, karena para pria yang mereka sukai akan berubah haluan menjadi menyukai Dior.
Dior tidak hanya cantik, dia juga memiliki kecerdasan dengan IQ di atas rata-rata. Profesinya sebagai seorang CEO dari sebuah Wedding Organizer membawanya pada kesuksesan dari bidang pekerjaan yang sebenarnya tidak terlalu dia sukai, dan dia terpaksa melakukan pekerjaannya itu demi meneruskan usaha keluarganya.
Wajar saja, kalau Dior merasa tidak percaya diri malam ini ketika dia harus menghadiri undangan reuni SMA yang justru membuatnya harus mengenang kembali masa kelabu di masa putih abu-abunya dulu. Demi memperbaiki nama baiknya yang pernah rusak karena ulah seorang pria yang pernah menjadi teman sekelasnya saat masih duduk dibangku SMA, Dior pun memberanikan diri untuk datang ke acara reuni tersebut seorang diri.
Dengan gaun panjang hitam yang menampilkan kedua bahunya yang mulus dan putih, Dior memasuki lift yang kosong.
Saat pintu lift akan tertutup, tiba-tiba saja muncul seorang pria asing yang ikut bersamanya.
Semula, Dior merasa biasa saja dengan keberadaan pria asing itu. Dia pun mengira kalau pria itu sama sepertinya, hanya pengunjung Hotel saja. Tetapi, saat pria itu menekan tombol angka lantai paling atas di Hotel itu dan mencegah Dior untuk keluar dari lift saat lantai 3 yang menjadi lantai tujuan Dior sudah sampai, saat itulah Dior mulai curiga dan ketakutan.
“Apa yang ingin anda lakukan?”
“Saya yakin, tidak akan ada pria yang mau membiarkan seorang wanita cantik seperti kamu hanya dipandangi oleh mereka saja.”
“Maksud anda?”
“Kalau tidak mau saya mencicipi kamu melalui sentuhan saya, maka jangan berpakaian seperti itu. Penampilan kamu terlalu menarik perhatian saya.”
Dior merasa tidak ada yang salah dengan gaunnya. “Kalau saja anda tidak berpikir negatif, maka tidak akan ada hal buruk yang ingin anda lakukan pada saya.”
“Jangan naif. Kamu tahu kalau pakaianmu akan mengundang hasrat para pria yang melihatmu. Jadi, jangan munafik. Bagaimana kalau kita saling berkenalan saja terlebih dahulu?”
“Jangan macam-macam anda! Ada cctv yang akan merekam perbuatan anda terhadap saya.”
“Kebetulan saya salah staf di Hotel ini. Jadi, soal urusan cctv, bagian monitor yang melihatnya akan bungkam dengan apa yang akan mereka lihat nanti.”
“Saya mau keluar sekarang juga!”
“Tidak akan saya biarkan kamu keluar dari lift ini dengan mudah, sebelum kamu bersedia untuk berkenalan dengan saya.”
“Tidak sudi saya berkenalan dengan pria seperti anda!”
Tling!
Suara pintu lift terbuka tepat di lantai rooftop. Dior pun bergegas untuk melarikan diri dari cengkraman pria itu, tapi sayangnya tangan dan tubuh pria itu terlalu kuat jika dibandingkan dengan tubuh Dior yang lemah. Dior pun tidak bisa lagi menghindari cengkraman dari pria itu. Dia pasrah ketika pria itu ingin melecehkannya. Tapi, tiba-tiba saja datang seorang pria yang langsung masuk ke dalam lift saat pintu lift hampir saja tertutup kembali. Tanpa ragu, pria itu langsung menendang dan menghajar habis-habisan pria yang ingin melecehkan Dior. Dalam seketika tubuh pria itu langsung tersungkur di atas lantai lift, lalu ditinggal pergi begitu saja oleh Dior dan pria yang menolongnya.
**
“Minumlah dulu.” Pria yang menolong Dior memberikan sebotol air mineral pada Dior.
Dior menerimanya seraya mengucapkan terima kasih.
“Apa kamu masih mengenaliku, Dior?” Tanya pria itu, sambil menatap Dior yang sedang meneguk minuman darinya.
Dior mengangguk sekali setelah melepaskan botol dari mulutnya. Tanpa mau menatap pria yang ada di hadapannya, Dior hanya melihat ke arah bawah saja sejak tadi.
“Aku kirain kamu melupakan aku.”
Dior tidak akan pernah lupa pada sosok pria yang pernah mempermalukan dirinya di depan semua orang di sekolahnya. Hanya gara-gara Dior menolak cinta dari teman dekat dari pria itu, yang harus mendapatkan imbasnya justru Dior akibat makian yang dikeluarkan dari mulut pria yang bernama Sandy Argantara.
“Mmm...” Sandy jadi merasa canggung pada Dior. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal ketika ingin mengatakan sesuatu yang akan membuatnya merasa malu. “Aku— mau minta maaf sama kamu tentang masa lalu yang pernah aku lakukan ke kamu.”
“Jangan membahasnya lagi. Aku sudah mulai melupakannya.”
“Tapi, saat itu aku belum minta maaf sama kamu.”
“Kalau begitu maafmu aku terima sekarang, dan aku berterima kasih karena kamu telah membantuku tadi.” Dior menyahut cepat. “Aku pamit sekarang.” Ucapnya, lalu pergi meninggalkan meja bar.
Hanya selang sepuluh detik saja dari langkah kaki Dior meninggalkan meja bar, tiba-tiba saja Dior terjatuh dan tergeletak dalam keadaan tidak sadarkan diri di atas lantai.
“Dior???”
**
Beberapa jam setelah Dior jatuh pingsan, Dior pun terbangun dan malah mendapati dirinya dalam kondisi tanpa busana sehelai pun. Hanya selimut putih dan tebal saja yang menutupi hampir seluruh tubuhnya.
Dior langsung panik bukan main. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi padanya dan siapa orang yang telah berbuat sejahat ini terhadapnya.
Dior segera membangunkan tubuhnya dan melihat ke sekitar kamar Hotel itu. Tapi, tidak ada satu orang pun di sana dan yang terlihat hanyalah gaun dan pakaian dalamnya saja yang berhamburan di atas lantai dekat ranjang. Tanpa mau berpikir terlalu lama dengan kejadian buruk yang menimpanya saat ini, dia segera turun dari ranjang dan memakai seluruh pakaiannya kembali.
Kemudian, Dior bergegas meninggalkan kamar Hotel itu dengan langkah kaki tergesa-gesa.
Dior berjalan di sepanjang koridor Hotel yang sepi. Tetapi, langah kakinya terhenti dengan cepat saat telinganya mendengar namanya disebut beberapa kali oleh orang-orang yang ada di balik koridor yang akan dilewatinya. Dior mencoba mendengarkan obrolan para pria itu.
“Cepat kasih uang kalian ke aku!” Tagih Sandy, yang tampak terlihat berada di antara 5 pria yang semuanya Dior kenali.
Empat pria itu pun segera mengeluarkan uang mereka dari dompet mereka masing-masing.
“Ternyata kita salah menilai Sandy.”
“Yoi. Aku kira dia cupu ternyata dia suhu, men!”
“Makanya kalaian jangan meremehkan kemampuan aku. Kalian pikir, Dior masih sama seperti dulu, sulit untuk ditaklukan. Dia itu sudah berubah menjadi dewasa dan keluguannya telah hilang lantaran dia juga butuh pria sekarang. Jangankan untuk menaklukan hatinya, menidurinya saja semudah itu aku lakukan.” Ucap Sandy dengan bangga.
“Aku tarik kembali ucapanku yang telah memaafkan kamu dan juga berterima kasih pada kamu karena telah menolongku tadi.”
“Di-Dior???”
Baik Sandy maupun empat pria lainnya langsung dibuat terkejut ketika Dior tiba-tiba saja muncul di hadapan mereka.
Dior berjalan mendekati Sandy dan menunjukkan raut wajah pedih dan terluka.
“Sampai kapapun aku tidak akan mau memaafkan kamu dan aku pastikan kamu akan menerima hukum karma itu secepatnya!”
***