Bab 3. Cupangnya, Harus Ada Yang Lihat

1182 Kata
"Tidak perlu buru-buru begitu, menikah juga butuh persiapan," celetuk Malik terlihat kesal. Namun, Ilyas tanpa beban menyahut, "Gunakan uang untuk bayar orang, begitu saja dibikin pusing." Ayub dan sang istri kembali saling lirik. Sikap Ilyas terhadap ayah sendiri saja cukup kurang ajar. Mereka jadi memikirkan nasib Amira jika menikahi pria macam Ilyas. "Pokoknya harus minggu depan, jadwalku padat. Bulan depan baru kosong," ujar Ilyas sembari menatap jam lagi. Malik benar-benar kesal dengan sikap keras kepala dari Ilyas. Sementara Amira dan kedua orang tuanya saling diam. Pernikahan Ayunda dan Rion tinggal menghitung minggu, jika menunggu sampai bulan depan. Maka Amira resmi dilangkahi oleh adiknya. "Bagaimana, Ra?" tanya Ayub karena tidak ingin memaksa sang putri. Amira menarik napas. Kenal juga baru berapa jam, tapi sudah dihadapkan pada pilihan setuju atau tidak dinikahi. Kemudian, Amira menatap ibunya yang mengangguk. "Ya, baiklah," pada akhirnya Amira menurut. Pandangan Amira dan Ilyas pun saling bertemu. Kenapa jodohnya datang begitu mendadak, sampai rasanya bernapas saja Amira tidak sempat. Setelah penetapan tanggal pernikahan. Ilyas dan Malik langsung pamit pergi. Meninggalkan Amira yang sedang dipeluk ibunya sembari melangkah memasuki rumah. "Jodoh tidak harus sehidup semati, Ra. Jodoh bisa ganti." Ayub langsung membenarkan. "Meski begitu, tapi pernikahan bukan mainan. Nikah sehari langsung proses cerai." Amira tersenyum. "Aku bukan orang gegabah, Yah. Keluar uang banyak tapi merasa jadi pengantin sehari, itu terlalu lucu." Begitu memasuki rumah. Amira menatap pada Ayunda yang dandan menor dan bersiap memakai sepatu. "Mau ke mana?" tanya Ayub sedikit tidak suka dengan penampilan putri bungsu. "Jalan Yah, kak Rion ngajak jalan." "Ya setidaknya pakai baju yang benar," sahut ibunya sembari menarik baju Ayunda yang terlalu menampilkan bahu. "Ah Ibu! Ini kan model bajunya, jangan dirusak!" Tanpa berpamitan sama sekali. Ayunda langsung keluar rumah dan berjalan pergi. Entah Rion menunggu di mana, tapi adiknya terus saja melangkah. *** Sempat terbesit dalam benaknya. Kalau pernikahan yang diadakan begitu mendadak ini, hanya dihadiri oleh beberapa orang saja. Tapi, ternyata hampir dua ribu tamu undangan yang datang. Amira sudah duduk beriringan dengan Ilyas yang menjabat tangan ayahnya. Jantung Amira berdetak sangat kencang, bukan karena apa-apa. Tapi, mahar yang sempat diberi tahukan oleh Ilyas pasti membuat ayahnya pusing. "Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Bayu Ilyas Pratama bin Malik Pratama dengan anak saya yang bernama Amira Zivana dengan maskawin berupa uang 999 juta, logam mulia seberat 50 gram, 1 unit mobil Pajero, satu set perhiasan berlian dibayar, tunai." Tercengang? Tentu saja. Mereka yang mengira Ilyas hanya dokter dengan penghasilan belasan juta. Bisa memberikan mahar secara tidak ngotak. Ayunda saja sampai oleng di sisi ibunya. Mata Amira mencuri pandang ke arah Ilyas yang melakukan bagian pengantin pria dengan tegas. Tak terlihat ragu sama sekali. "Bagaimana saksi?" "Sah!" Bisik-bisik tetangga pun mulailah tercipta. Amira yang mendapatkan suami puluhan kali lebih baik ketimbang Ayunda, membuat mereka yang semula mengecap Amira tidak laku, sekarang mulai memuji. Namun, bagi Amira. Menikahi Ilyas bukanlah hal baik. Buktinya seharusnya mereka melakukan rutinitas malam pertama. Di dalam kamar hotel bintang lima ini. Ilyas malah bicara di telepon dengan tangan sibuk memakai jas. "Lakukan saja operasinya, aku akan datang lima menit lagi." Setelah menyudahi panggilan. Amira mendekati Ilyas dengan secangkir kopi. Karena pria yang berstatus suami baginya ini, akan bermalam di rumah sakit. "Buat dirimu nyaman di hotel ini," ujar Ilyas kemudian menyeruput habis kopi buatannya. Lantas, Ilyas mulai melewatinya dan hendak membuka pintu. Namun, tubuh dia membeku. Setelah memikirkan sesuatu, Ilyas berbalik lagi dan mendekati Amira yang bersiap mengantar. "Aku kelupaan sesuatu," ujar Ilyas dengan mata menatap Amira serius. Amira hendak menyahut, bersiap bantu mencari apa yang dilupakan itu. Namun, mata Amira melotot terkejut saat kepalanya diraih oleh tangan Ilyas. Kemudian, kecupan di bibir pun mendarat. Bukan hanya itu, Ilyas masih sempat melumat sedikit. Tak cukup sampai disitu saja. Ilyas juga memberi kecupan di kulit lehernya. Amira berusaha memberontak, namun Ilyas memegangi tangannya erat. Terus melancarkan aksi di lehernya yang berubah menjadi menyesap kuat. Dapat Amira rasakan juga, gigi Ilyas berperan andil di sana. "Apa yang Anda lakukan, Pak!" Setelah Ilyas mundur, Amira menyentuh kulit lehernya yang menjadi korban gigitan dari suami sendiri. Sementara Ilyas menatap puas pada mahakarya yang tetap terlihat dari cela jemari Amira. "Bukan apa-apa. Segera tidurlah, aku tidak akan menagih jatahku." Lantas siapa juga yang mau? Mereka menikah hanya karena saling membutuhkan status nikah, ketimbang dicap tidak laku. Amira pun sudah tidak ada mood untuk mengantar suaminya pergi. Setelah Ilyas benar-benar pergi. Amira mendengkus kesal, kemudian berniat menghampiri kasur dan menutup matanya yang sangat mengantuk. Namun, cermin yang dirinya lewati. Menampilkan sesuatu berwarna merah di lehernya. "Eh, apa itu?" Amira bergegas ke hadapan cermin. Hingga tangannya mengepal di atas meja dengan raut emosi. Jadi, inilah yang sering pasangan sebut tanda habis bercinta. "Untuk apa dia bertindak seperti tadi? Ingin semua orang tahu malam ini aku disentuh olehnya?" Amira semakin kesal karena otak Ilyas yang ternyata cukup picik. Namun, Amira baru sadar hingga senyum di bibirnya langsung muncul. "Loh, buat apa aku marah begini? Justru bagus, setidaknya kami tidak melakukannya terlalu dini." *** Pagi sekali, Ilyas yang sudah pulang langsung memasuki kamar. Mata menemukan Amira hanya memakai handuk sebatas paha dengan bahu terekspos. Kegiatan Amira mengambil dalaman pun langsung terhenti. "Kenapa Bapak tidak ketuk pintu dulu?" keluhnya. Amira mengambil cepat kebutuhannya untuk berganti pakaian. Ilyas memandang tubuh Amira yang segera berjalan ke arah kamar mandi. "Ganti di sini saja," tutur Ilyas membuat kaki Amira terhenti. "Bapak sudah tidak waras ya?" Amira heran melihat Ilyas yang menarik kursi rias, kemudian duduk di atas dengan mata tertuju padanya serius. "Justru karena masih waras, jadi aku memintamu ganti di sini. Cepat lepas handuknya dan pakai baju." Amira langsung menutupi bahunya dengan set pakaian luar. Tak menyahut sama sekali, Amira berbalik dan benar-benar masuk ke kamar mandi. Bahkan terburu mengunci pintunya. "Amira, kamu tidak dengar?" "Iya! Saya tidak dengar!" Ilyas menarik napas, kemudian memutuskan untuk tetap duduk dan memejamkan mata. Sekitar 15 menit berlalu, pintu kamar mandi terbuka. Amira langsung menatap ke arah Ilyas yang tidur. "Ini apa ya?" Amira menemukan salep di atas meja rias. Ilyas membuka mata. "Salep heparin." Dahi Amira mengerut. "Buat siapa?" "Kamu." "Gunanya apa? Saya kan tidak sakit." Jari Ilyas menunjuk. "Leher kamu yang sakit, cupang itu harus disamarkan." Amira tertegun mendengar mulut Ilyas begitu enteng menyebutnya. "Sepertinya Bapak mencoba bertanggung jawab ya? Setelah membuat tanda ini." Ilyas langsung berdiri, membuat Amira memundurkan langkahnya. Bisa gawat kalau Ilyas kembali macam-macam. Namun, Ilyas mengambil gel di atas meja rias. "Biar aku bantu kamu pakai," ujar Ilyas sembari menarik Amira untuk mendekat. Mereka berdua saling berhadapan. Ternyata Ilyas setinggi ini, kepala Amira hanya sebatas bahu suaminya. Pantas saja saat menciumnya kemarin, Ilyas sampai menunduk. Amira membulatkan mata kaget. Kenapa malah teringat dengan ciuman, di antara banyaknya kenangan yang bisa diingat. "Ngomong-ngomong, siapa saja yang sudah melihat tanda ini?" "Tidak ada, semalam saya langsung tidur," sahut Amira lancar. Gerakan Ilyas yang ingin mengoleskan salep pun terhenti. Membuat mata Amira memandang suaminya dengan heran. "Ada apa?" tanya Amira. Bukannya menjawab, Ilyas malah meletakkan salep di atas meja lagi. Kemudian meraih tangannya dan mulai berjalan bersama ke arah pintu. "Eh, mau ke mana?" "Harus ada yang lihat." "Apanya!" Amira sampai berseru. "Cupangnya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN