"Hah? Siapa juga yang nyuruh Mas buat cosplay. Apalagi jadi banci," elaknya karena tidak merasa.
"Terus kenapa kamu pilih bajunya warna pink?"
Amira memandang pelanggan lain yang ingin ke lantai atas. Saat ini mereka berdua masih berdiri di tengah tangga rooftop. Amira memukuli lengan suaminya.
"Minimal turun dulu, baru lanjut debat."
Ilyas mendengkus dan mendahuluinya. "Debat sama kamu tidak ada manfaatnya."
"Loh ya terus kenapa ngajak debat?" sewotnya.
Kaki terus saja melangkah, kaki Amira yang lebih pendek ketimbang suami. Harus berlari sedikit demi menyamai langkah Ilyas yang dipenuhi kekesalan.
"Kamu sudah bersuami Amira, tentunya pakaian pun harus samaan," suara Ilyas kini terdengar lebih manusiawi.
Amira diam sejenak, kemudian mulai nyambung. "Oh jadi maunya datang ke pernikahan Ayunda pakai baju kembaran?"
"Iya."
"Gunanya mulut tuh buat jelasin juga Mas, bukan cuma nyeletuk sama ngomel," keluhnya.
Ilyas memandang Amira lekat, sorot mata yang begitu tajam membuat dirinya menghela napas. Tidak ada tuntasnya jika berdebat dengan Ilyas dan Amira tidak mengalah.
"Jadi, maunya pakai baju warna apa?"
"Selain pink," sahut Ilyas cepat, "merah juga."
"Apa saja nih? Selain dua warna itu?" tanyanya memastikan.
"Ya."
Amira mengangguk, kemudian bicara lagi, "penting tidak hitam dan putih juga ya? Warna kotoran cicak itu, seperti nuansa kamar Mas."
Ilyas berkacak pinggang. "Menghina sekali lagi, aku--"
"Apa? Mau jadikan aku objek penelitian dokter residen?" potongnya, telah terbiasa dengan ancaman dari suaminya.
Ilyas menghela napas. "Sudahlah, ayo jalan sekarang ke butik."
***
Amira izin tidak masuk kerja selama dua hari pada Malik, untuk membantu pernikahan Ayunda. Mulanya Amira hanya ingin absen sehari, pas akad nikah saja. Eh, malah dikasih bonus libur.
Jadi, sekarang Amira sedang ikut mengupas kentang bersama tetangga yang lain.
"Masih belum isi, Amira?"
Tetangga yang mulai iseng pun membuat kepala Amira terangkat dan tersenyum. Baru juga nikah belum genap dua minggu, sudah ditagih anak.
"Belum, Bu." Namun Amira menyahut lembut.
"Lagian Amira kan nikahnya juga baru, masa sudah bunting. Tidak seperti anaknya ibu Aminah tuh, nikah baru lima bulan eh anaknya udah lahiran."
Amira memilih melanjutkan kegiatannya, ketimbang terlibat gosip dadakan ini. Ibunya terlihat mendekat dan membawakan ayam padanya.
"Katanya suami kamu pulangnya siang, nih bawa ke rumah dan masak."
Ekspresinya langsung tercengang. Ibunya loh, sosok yang selalu memanjakan Amira. Tahu keburukan Amira di dapur, malah menyuruhnya masak.
"Bu--"
"Apa? Kamu sudah punya suami, wajib belajar masak. Minimal goreng-goreng."
Amira menatap ayam di tangan ibunya dengan memelas. "Goreng tempe sih aman Bu, ini ayam. Kalau loncat saat masuk minyak gimana?"
"Kamu kira ayamnya masih hidup? Sampai bisa loncat gitu."
Amira cemberut, namun mengambil alih kresek berisi ayam dari ibunya. Amira yang memilih lanjut mengupas kentang, membuat ibunya menghela napas.
"Kamu masih tidak mau pergi? Suami kamu saat pulang pasti kelaparan," oceh ibunya.
Pandangan Amira pun langsung mencari keberadaan ayahnya. Orang yang paling sayang padanya kan Ayub.
"Ayahmu sedang nunggu mobil tukang dekorasi tiba, sudah sana pulang dan masak."
Amira pun terpaksa bangun dari duduknya. Ke kamar lamanya dengan Ayunda untuk mengambil tas dan salim pada ibunya.
"Pulang dulu, Bu."
"Iya, hati-hati di jalan ya."
Karena ada banyak orang, jadi Amira pun diantar oleh salah satu keponakannya menggunakan motor.
***
Ilyas menghela napas sembari memukul pelan leher belakang, karena terasa pegal. Setelah berjam-jam di ruang operasi. Ilyas membuka pintu, ekspresi dia masih biasa saja.
Tapi, ketika melintasi dapur. Ilyas tertegun dan hampir berlari mengambil sapu, untuk memukul penyusup.
Karena Ilyas melihat seseorang memakai jas hujan dan helm di dapur. Bergerak maju mundur dengan tangan memegang spatula dan berujung berteriak ketika minyak ciprat ke mana-mana.
"Amira! Kamu mau bikin suami jantungan?"
Mendengar namanya disebut, Amira langsung menoleh dan segera berlari menghampiri suaminya. Ilyas malah menyingkir karena spatula hampir menyentuh tubuh.
"Kamu ya Allah," Ilyas sampai menyebut dan menepuk jidat, "bisa tidak sehari saja jangan bikin ulah?"
Amira menunjuk wajan yang masih menggoreng ayam dengan tangan. "Mas, tolong ya. Ayamnya serasa mau loncat dari wajan."
Ilyas menghela napas dan mendekati dapur. Mengambil tutup wajan, kemudian mengecilkan api. Letupan memang terdengar, namun minyaknya tidak ciprat.
"Pakai otak kamu dikit dong, Amira."
Ilyas berbalik dan menemukan sang istri sudah ada di samping, masih dengan jas hujan dan helm di kepala. Seketika Ilyas menggelengkan kepala dan tersenyum geli.
"Gila kamu ya, orang lagi lelah-lelahnya malah lihat kelakuan aneh kamu," maki Ilyas masih dengan suara tawa kecil memasuki telinga Amira.
"Habisnya takut Mas."
Ilyas menghela napas. "Lepas jas hujan sama helmnya."
Amira memandang wajan dahulu dengan lekat, setelah yakin ayam sudah jinak di sana. Amira mulai melepas seluruh alat tempurnya di dapur.
Ilyas masih memandang sang istri yang sudah dipenuhi keringat. "Kamu jadi orang yang alim sedikit, Amira."
"Aku bukan penjahat Mas."
Ilyas kembali menghela napas. Hebat sekali wanita satu ini, mampu menjungkir balikan pikiran Ilyas. Dikira wanita sederhana yang penurut, ternyata penuh dengan kelakuan tak terduga.
"Bukannya kamu lagi bantu-bantu di rumah ibu, kenapa sudah ada di sini?"
"Dipaksa pulang sama ibu, suruh masak buat suami," sahutnya.
Ilyas menjauh dari dapur dan kembali menepuk leher belakang. Ilyas memasuki kamar mandi dan terdengar gemericik air di sana.
"Balik lagi ke sana kapan?" tanya Ilyas sedikit lantang.
"Sore atau malam, tergantung keponakan jemput lagi."
"Sore saja, setelah istirahat aku ikut dengan kamu."
Ilyas nampak keluar dari kamar mandi dan melirik ke arahnya yang justru menunggu di samping kamar mandi.
"Ngapain di sini?" tanya Ilyas heran, "mau ke kamar mandi juga?"
"Itu, ayamnya mau diangkat kapan?"
Mata Ilyas melotot. "Kamu belum angkat juga?"
"Nunggu kamu Mas."
Ilyas menepuk dahi, kemudian terburu berjalan ke dapur lagi. Setelah mematikan kompor dan membuka tutup wajan, Ilyas bisa melihat gorengan ayam yang berwarna kecoklatan berlebihan dengan ditemani sedikit kehitaman di sana.
"Luar biasa, apa aku kena karma ya? Makanya sekali punya istri, malah begini kelakuannya," gumam Ilyas pelan.
"Gosong ya Mas?" tanya Amira mendekat dan menatap ayamnya.
Ilyas mendelik tajam. "Suruh siapa kamu tidak membalik ayamnya?"
Amira menghela napas dengan kesal, karena suaminya tidak peka padahal sudah dibilang dirinya takut.
Makan siang pun berakhir dengan membeli dari luar lagi. Ayam gosong tentunya didiamkan saja, niatnya Ilyas akan membawa ke rumah sakit nanti. Itu pun kalau si kucing betina mau dan mati rasa dengan masakan Amira.
Amira dan Ilyas pun dalam perjalanan menuju rumah orang tuanya. Tentunya menggunakan mobil mahal yang diberikan Ilyas padanya sebagai mahar, tapi ujungnya Ilyas juga yang pakai, karena Amira tidak bisa.
"Nanti jangan bilang sama ibu ya Mas, soal yang tadi," pintanya malu-malu.
Ilyas mendelik. "Yang mana? Kamu pakai jas hujan dan helm, atau masak ayam saja kayak dilempari bom?"
"Keduanya."
Ilyas memalingkan muka. Semakin mengenal Amira, Ilyas merasa hidup dia bukan hanya berwarna-warni. Tapi juga ada rasa bumbu dapur, manis, asam dan asin.