Bab 9. Harus Disentuh, Baru Mau Keramas?

1020 Kata
Amira yang sedang menelan bubur pun berakhir dengan tersedak. Ilyas terburu menyerahkan botol minuman padanya. Amira langsung minum demi melancarkan tenggorokan. Setelah Ilyas menutup botolnya. Amira baru sadar, kalau mereka berdua baru saja berbagi minuman yang sama. "Aku bahas selingkuh, kamu langsung panik," singgung Ilyas. "Ih siapa yang panik sih Pak? Lagi pula siapa juga yang mau selingkuh." Amira langsung mengusap mulutnya. "Bagus kalau tidak ada niat selingkuh." Amira menghela napas. "Namanya Rion, dia calon suami adik saya. Mana mungkin saja main mata sama ipar sendiri, sama pria lain saja ogah." "Oh jadi kamu mau setia?" "Loh memangnya Bapak mau selingkuh?" tudingnya. Ilyas membuka kemasan obat yang lain. "Tidak. Aku menikahi kamu bukan dengan tujuan buruk." "Ya Bapak kan tidak punya waktu untuk selingkuh, hanya sibuk dengan pasien," sahutnya. "Selingkuh didasari oleh keniatan. Bisa saja aku melakukannya meski sibuk, namun aku paling benci orang seperti itu. Jadi, untuk alasan apa aku malah melakukannya." Rasanya Amira ingin bertepuk tangan atas ucapan bijak dari suaminya. Namun, tangannya kini digunakan menerima obat dari suaminya. Kemudian langsung menelan dan meminum air, baru Amira serahkan botolnya pada Ilyas lagi. "Saya juga tidak akan melakukannya, karena saya takut disuntik mati oleh Dokter Ilyas." Ilyas sedikit tersenyum mendengar ucapannya. Sementara Amira langsung diam begitu mendapati suaminya ternyata bisa tersenyum juga. Dirinya pikir bibir Ilyas adalah batu sampai tidak bisa melar. "Kenapa lihat-lihat? Mau dicium?" tanya Ilyas. Amira menghela napas dan melengos. "Tidak." *** "Ini ruang kerja Dokter Ilyas, kalau sekarang kosong karena sedang operasi." Amira saat ini berada di depan pintu ruang kerja suaminya yang terbuka. Karena bosan dirinya berjalan di sekitar lorong, namun ketemu perawat sampai dipaksa datang ke sini. "Ah ternyata Dokter Ilyas melakukan operasi juga ya." Sebenarnya Amira ingin tahu, kenapa suaminya yang seorang direktur ikut terjun langsung dalam urusan operasi. "Di sini banyak dokter handal, namun tidak setelaten Dokter Ilyas. Makanya beliau selalu terlibat setiap ada operasi besar." Padahal Amira belum tanya, tapi perawat ini sudah lebih dulu memberi tahu. Amira jadi mengangguk dan tersenyum. "Kalau begitu silakan masuk Bu Amira." Amira kaget. "Eh aku boleh masuk memangnya?" Perawat ini tersenyum. "Yang lain saja boleh, masa istri sendiri tidak boleh, Bu." "Ah iya, kalau begitu permisi." Amira ditemani perawat ini memasuki ruang kerja suaminya, kemudian dirinya juga dijelaskan tanggung jawab Ilyas apa saja di rumah sakit. Amira jadi lebih tahu tentang suaminya dari orang lain. "Bu, maaf. Saya ada jadwal memberi obat, jadi saya tinggal ya Bu." Amira mulanya ingin ikut pergi. Tapi, sepertinya perawat ini memang berniat meninggalkan dirinya. Jadi, Amira tersenyum. "Terima kasih Suster." Karena sudah masuk, Amira pun memutuskan untuk berkeliling sebentar. Selagi Ilyas sedang tidak ada. Amira bahkan mencoba jas milik suaminya yang tidak dipakai, berdiri di depan cermin dan tersenyum sendiri. "Ternyata kebesaran," komennya. Bahkan tangan Amira saja tenggelam oleh jas suaminya. Amira menggantung kembali jas ini, kemudian mencoba kursi tempat suaminya duduk. Hingga Amira menemukan sebuah bingkai yang terngkurap di meja. Begitu diambil. Amira menemukan Ilyas masih muda berfoto bersama seorang wanita di kapal pesiar. Ekspresi Ilyas masih sama, selalu datar. Sementara wanita ini tersenyum sangat ceria. "Pasti wanita yang berharga, makanya fotonya masih disimpan," gumam Amira kembali meletakkan bingkai dengan posisi terngkurap. Pintu ruangan yang tiba-tiba dibuka membuat Amira memandang. Saat tahu Ilyas yang masuk, tubuhnya mendadak berdiri dari duduk. Ilyas sendiri sempat menatap sebentar pada Amira, kemudian mencuci tangan lagi di kamar mandi. "Saya dibawa paksa ke sini oleh perawat, lupa namanya," ujarnya dengan canggung. Ilyas keluar dan memandangnya. "Jadi, kamu tidak suka masuk ke ruang kerja suami?" "Ya bukan begitu. Saya takut dimarahi karena masuk tanpa izin." Amira memandang suaminya yang duduk di sofa panjang. Ilyas juga ikut menatapnya, kemudian menepuk posisi di sebelah. "Kemarilah dan bicara denganku." Amira mematung dahulu. "Bapak tidak akan macam-macam kan?" "Setakut itu sama suami sendiri?" Mendengarnya, Amira tidak bisa mengangguk meski sangat ingin. Bisa-bisa Ilyas mengamuk padanya. Amira pun berjalan mendekat dan duduk di sisi suaminya, namun masih memberi jarak. "Aku habis mengoperasi besar-besaran, pasiennya korban tabrak lagi. Keluarganya belum bisa dihubungi." Amira memandang suaminya yang bercerita. "Lantas kondisinya bagaimana?" "Lebih baik, sekarang dipindahkan ke ruang rawat." "Kasihan sekali, aku berharap orang yang menabrak segera ketemu. Minimal antar ke rumah sakit, kalau tidak mau bayar tagihan sampai sembuh," ocehnya. Ilyas memandang Amira lekat. Wanita yang ternyata bisa diajak bicara dan nyambung. Jemari Ilyas meraih rambut Amira dan mengusap. "Kramas gih, jadi wanita kamu jorok sekali." Amira langsung menarik rambutnya. "Tidak ada shampo yang saya gunakan di rumah sakit." "Kalau kamu tanya kasa, baru ada. Mustahil rumah sakit menjual shampo." Ilyas ini benar-benar selalu bisa menjawab setiap ucapannya. Sampai rasanya Amira ingin mengambil lakban dan menutup mulut suaminya. "Apa harus disentuh dulu, baru mau keramas?" Mendengarnya, Amira terburu bangkit dari duduk dan menjauh. Ilyas memandang lekat ekspresi sang istri yang seperti trauma disentuh suami sendiri. "Saya keramas kok, detik ini juga!" Melihat Amira yang ingin pergi, Ilyas berkomentar, "kamu belum dapat izin, sudah main pergi saja." "Kaki saya berlabel khusus, jadi tidak butuh izin." Amira yang sepenuhnya keluar dari ruang kerja, membuat Ilyas tersenyum sembari menggelengkan kepala. Kapan hari-hari dia penuh warna seperti ini. Bahkan waktu itu saja tidak semenyenangkan ini. Pandangan Ilyas tertuju pada meja kerja, Amira ditemukan oleh mata dia sedang duduk di kursi. Terburu Ilyas bangkit dan menatap bingkai di atas meja, posisi tidak berubah sama sekali. "Aku rasa dia tidak melihatnya." Ilyas langsung mengambil bingkai itu dan memasukkan ke dalam laci meja. Ilyas menghela napas karena teringat dengan wanita di dalam foto. "Dia bahkan tidak sebanding dengan Amira, mereka sangat berbeda. Setidaknya Amira tidak penuh kepuraan." Pandangan Ilyas tertuju pada jas yang digantung sedikit miring. Padahal Ilyas hampir tak pernah memakai dan posisinya selalu tegak. "Dasar, dia pasti sempat mencoba jas suaminya." Ilyas pun memutuskan untuk melepas jas dokter dan meraih ponsel. Barulah keluar dari ruangan untuk menemui Amira di kamar rawat. Namun, begitu berjalan sepanjang lorong. Ilyas justru berpapasan dengan Rion yang sedang kebingungan sembari membawa bunga. "Eh Dokter Ilyas," sebut Rion membuat Ilyas terpaksa berhenti melangkah, membiarkan pria itu mendekat. "Amira dirawat di ruangan mana ya? Aku mencari tapi tidak ketemu." Mata Ilyas memandang bunga di tangan Rion dengan serius. "Amira sudah pulang."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN