Bab 6. Harusnya Marah, Bukan Gugup

1033 Kata
"Nafkah bathin apa! Menyingkir dari saya." Bola mata Amira membulat dengan sorot yang tajam terarah pada Ilyas. Dia tersenyum sinis karena reaksi dari sang istri. Kemudian mengeluarkan tangan dari baju Amira, merelakan squisy lembut yang tertutup bra itu. "Jadi, kamu menolak? Punya anak dariku tidaklah rugi." "Ini bukan soal jual beli," sungutnya. "Gen dariku bermutu, dicampur dengan wanita jelita macam dirimu. Pasti akan sangat sempurna, Amira," tutur Ilyas dengan mata fokus pada bibirnya. "Saya tidak butuh gen kualitas premium milik Anda. Jadi, sekarang bangun dari tubuh saya!" "Bagaimana kalau aku menolak?" Ilyas ingin lihat. Sejauh mana kemampuan Amira dalam menolak segala sentuhan dari Ilyas yang meninggalkan kenikmatan. "Segala hal yang dipaksakan, tidak akan berjalan mulus," tantangnya. "Belum tentu." Amira kaget dengan tubuhnya yang terangkat, meski tidak sudi dibawa pergi. Namun, Amira tetap takut jatuh hingga merangkul pundak suaminya. "Nah, harus nurut saat disayang sama suami," komen Ilyas. Terburu Amira melepaskan rangkulannya begitu yakin tidak akan jatuh. Ilyas sendiri merebahkan tubuhnya di atas ranjang, dengan tak lupa langsung menindih tubuhnya. "Amira dengar," ujar Ilyas dengan tangan meraih sejumput rambutnya. "Hal yang menyakiti hati, tak lain adalah omongan orang. Jadi, sebelum ditagih dua kali. Lebih baik kita bikin anak." "Tidak semudah itu Pak!" Ilyas yang menghirup rambutnya, langsung Amira tepis tangan suaminya. Tatapan Ilyas mengunci Amira dengan hasrat. "Coba saja dulu, Amira." Lantas, Ilyas berbisik di telinganya, "lagi pula benefitnya banyak selama bikin anak." Amira merinding saat Ilyas mencium kulit lehernya. Rasanya berbeda ketimbang malam itu, ketika Ilyas menggigit di sana. "Pak." Amira berusaha memberontak dengan tangan mendorong Ilyas yang sudah sibuk mencium tulang selangka. Namun, Ilyas meraih tangan Amira dan membuat jemari saling bertautan di atas sprei. "Diam," bisik Ilyas. Tak tahu harus menolak atau menurut untuk diam. Karena bibir Ilyas yang basah menandai Amira lebih banyak ketimbang hari itu. Amira menggigit bibirnya, tubuhnya terasa panas saat jemari Ilyas merambat di celana. Amira takut ketika lidah Ilyas kembali berulah di dalam mulutnya. Namun, rasa penasaran ini membuat Amira membalas pelan tiap sesapan. Mata Amira melotot kaget saat jemari Ilyas lebih berani kali ini. "Pak, jangan." Kewarasan Amira yang belum kumpul sepenuhnya. Berusaha menahan tangan Ilyas yang mengelus di bawah sana. "Mulut kamu hanya boleh melenguh, protes dan sejenisnya aku tak izinkan." Tangan yang semula mencengkram dan berusaha menghentikan kegiatan Ilyas. Sekarang justru meremas karena perasaan aneh singgah pada Amira. Melihat wajah Amira yang memerah, membuat Ilyas mendekat dan mencium bibir lebih liar. Dia sangat yakin, bisa mendapat jatah dari istri. Hingga terus melanjutkan proses selanjutnya selagi Amira terhanyut oleh sentuhan Ilyas. *** Mata Amira baru saja terbuka, namun berubah melotot terkejut. Kemudian memastikan selimut tetap menutupi tubuhnya yang hanya memakai dalaman ini. Amira langsung menutup wajahnya dengan malu. Bagaimana bisa Amira tertidur nyenyak setelah melakukan hal itu dengan Ilyas. Tidak kepikiran sama sekali, padahal Ilyas tidak dirinya cintai meski pun berstatus suami. Mendengar gemericik air di kamar mandi yang terhenti. Amira terburu berpura tidur lagi, dan telinganya tahu ada langkah kaki yang mendekat. Bahkan ranjang terasa bergerak karena Ilyas duduk di sisinya. "Aku tahu kamu sudah bangun." Melihat Amira yang tetap tidak bergerak, membuat Ilyas mengancam, "aku akan mencium kamu jika tidak bangun juga." Terburu Amira membuka mata dan langsung menemukan Ilyas sedang menjadikan dirinya sebagai objek. Jemari Ilyas mengusap kepala Amira. "Hari ini tidak usah masuk kerja, aku bakal minta izin sama papa." Amira duduk dengan gegabah, hingga berakhir meringis. Ilyas pun memandang sedikit cemas pada sang istri. "Makanya pelan-pelan," ujar Ilyas dengan ketus. Helaan napas dari Amira terdengar. "Memangnya salah siapa saya tersakiti seperti ini?" "Tersakiti? Mana ada sakit yang keenakan." Amira kesal sekaligus malu disindir begitu, hingga memukul lengan suaminya. "Mulut tolong direm." Ilyas memandang Amira serius. "Lebih baik hari ini kamu jangan kerja. Pikirkan, kamu bekerja seharian jalan ke sana-sini. Sementara kamu ...." Ilyas langsung diam saat melihat Amira yang membungkus diri dengan selimut, kemudian berniat menuruni ranjang. Amira memandang suaminya yang jadi diam. "Iya, saya tidak akan masuk kerja. Bapak puas kan?" "Hm." Amira berjalan ke arah kamar mandi dengan langkah pelan. Padahal semalam tidak begitu terasa, tapi kenapa sekarang setiap jalan malah nyeri. Ilyas menghela napas pelan, dia memejamkan mata dan tangan meremas ujung kasur. "Sudah tidak waras kamu Ilyas. Semalam sudah dapat jatah, malah ingin mengulang." Wajah Ilyas sedikit memerah. Teringat dengan Amira yang kacau di bawah kuasanya. Hanya dengan melihat daging terbungkus selimut saja, Ilyas justru tergoda. Ilyas langsung membawa Amira pulang ke apartemen tanpa sarapan. Sebelum berangkat ke rumah sakit, Ilyas sempat membuatkan bubur untuk Amira yang sedang mencuci jas milik Ilyas. Jas yang menjadi alas pergulatan mereka semalam. Malu rasanya jika ketahuan mencuci sprei di rumah Malik. "Aku membuatkan bubur untukmu, makanlah selagi masih hangat," ujar Ilyas saat melewati kamar mandi. Amira menoleh dan mendapati suaminya sedang sibuk memakai sepatu. "Pulangnya sore?" "Malam, karena lembur." Amira mengangguk. Kemudian fokus mengeringkan jas dan baju lainnya. Amira mendadak menjadi malu. Bukankah harusnya ia merajuk dan marah karena disentuh? Namun, pagi ini justru mereka berdua biasa saja. Seolah pengantin baru yang saling mencintai. Tangan Amira mengibas wajahnya yang tiba-tiba terasa panas. Apalagi ketika mata melihat dirinya melalui cermin di kamar mandi. Beberapa tanda kemerahan di sekitar leher dan dadanya. "Aku harusnya marah, kenapa malah salting begini," gumam Amira setelah Ilyas benar-benar pergi. Selagi menunggu cucian selesai. Amira berjalan ke dapur, menemukan bubur buatan suaminya yang terlihat sangat tidak menarik. "Dia tidak menaruh racun di dalamnya kan?" Amira langsung bergidik setelah mencicipi bubur ini. Terlalu asin sampai jadi pahit, itulah yang dirinya rasakan. Amira menghela napas, fix mereka adalah pasangan yang kompak. Sama-sama tidak bisa memasak. "Buat mie saja deh, selagi pak Ilyas tidak ada." Amira jadi kepikiran mengubah panggilan pada suaminya. Namun, kepalanya langsung menggeleng. Bisa kepedean Ilyas nanti, setelah disentuh Amira jadi jinak. Sementara Ilyas sendiri sempat bersiul sepanjang lorong rumah sakit. Perawat yang mendengar itu tertegun, kemudian mereka berbisik satu sama lain. "Siang ini bakal hujan kayaknya, atau ada tornado. Soalnya Dokter Ilyas kelihatan senang." Ilyas memasuki ruang kerja masih dengan ekspresi senang. Bahkan memakai jas dokter pun sesekali tersenyum, meski sangat tipis. Teringat percakapan sederhana dengan Amira sebelum pergi. Baru saja Ilyas ingin mendudukkan p****t di atas kursi. Tiba-tiba perawat yang jaga langsung membuka pintu ruangan dengan panik. "Dokter! Ibu Amira masuk rumah sakit."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN