9. KESEMPATAN

1666 Kata
Happy Reading ^_^ *** Preparasi sampel sudah. Running sampel sudah. Sekarang yang perlu Jessica lakukan hanya menunggu. Yah, walau yang namanya menunggu itu membosankan, tapi untuk yang satu ini Jessica tidak akan mau berkompromi. Ini berhubungan dengan pekerjaannya yang melibatkan alat seharga satu unit rumah. Meleng sedikit dan rusak, Jessica mungkin harus bekerja untuk seumur hidupnya. Jadi, ya, menunggu yang satu ini tetap akan dilakukan olehnya meski matanya agak sepet. "Berapa menit lagi itu running-nya, Jess?" tanya Mas Anton sambil memeriksa tasnya. Dia sedang berkemas karena pekerjaannya sudah selesai lebih dulu dari Jessica. "Empat puluh lima menitan lagi lah, Mas. Yah, sama beres-beres sekitar sejam lah." "Kalo udah kesorean beres-beres besok aja nggak apa-apa. Yang penting aliran listriknya beserta alat udah mati. Toh besok yang pegang alat itu masih elo juga, Jess. Daripada pulang kemaleman." Sejam lagi adalah pukul enam sore. Karena jarak tempuh ke rumahnya sekitar empat puluh lima menitan, maka dia baru sampai rumah sekitar jam tujuh malam. Yah, masih lumayanlah, pikir Jessica. "Santuyyy. Gue nggak ada agenda apa-apa juga kok malem ini." "Ya udah deh, gue duluan ya. Kalo ada trouble telpon aja ya, kalo bisa gue bantu entar gue bantu by phone." "Sip. Thank you ya, Mas." Jessica mengantar kepergian Anton dengan melambai sopan. Sungguh, di antara seniornya yang lain, Anton adalah senior yang paling care. Awal-awal memang kesannya seperti paling sulit didekati. Namun siapa sangka saat ternyata ada trouble, dialah orang yang paling mudah untuk dihubungi. Berbeda dengan yang lainnya yang kadang sulit sekali, entah itu karena memang sedang tidak pegang handphone atau memang sengaja saja. Intinya, Anton adalah yang terbaik. Tak heran beberapa kali Anton menyabet gelar sebagai karyawan terbaik. Tingkat kepeduliannya benar-benar tinggi. Selepas kepergian Anton, Jessica pun larut dalam dunianya. Tak ingin membuat kesendiriannya makin sepi, Jessica pun menyetel lagu melalui komputer. Meski tangannya terus men-scroll layar ponselnya, namun hal ini tak menghentikan Jessica untuk turut bernyanyi sesuai dengan lagu yang terputar. Beberapa kali senyumnya mengembang dengan cantik. Meski sendirian, namun hal ini tak menghalangi Jessica untuk merasa nyaman. Dia sudah biasa seperti ini. Sampai akhirnya dia diinterupsi dengan kehadiran seseorang dengan pentofel yang tampak mahal sekali. Perlahan-lahan Jessica mendongak dan tahu siapa orang tersebut. "Pak Devian..." Jessica salah tingkah. Perempuan itu membenarkan posisinya yang hampir setengah merosot dari kursi. Ya, ini adalah salah satu kelakuan randomnya. Jessica duduk tegak dan langsung mematikan musik yang terputar. "Belum pulang, Pak?" sapa Jessica dengan cengiran malu mengingat serandom apa aksinya tadi. Devian mengangguk. "Kamu sendiri belum pulang?" "Alat tadi trouble, jadi running sesi kedua nggak on time. Dan karena running-nya nggak on time ya otomatis selesai running-nya juga nggak on time." Devian mengangguk-angguk. Jessica tidak tahu apakah Devian benar-benar paham atau hanya pura-pura paham saja, tapi yang jelas anggukannya agak mencurigakan. Jessica juga agak tidak nyaman dengan sorot mata Devian yang dirasa lebih gelap dari biasanya. Atau ini hanya pikirannya saja? Devian seperti... ingin cari masalah dengannya. "Jadi, dia sebabnya kenapa kamu nggak balas pesan saya?" kata Devian setelah beberapa waktu diam dan hanya memandangi satu-satunya perempuan yang ada di situ. "Hah? Pesan apa?" Jessica membuka ponselnya dengan kening yang berkerut dalam. Dia mengetikkan nama Devian Mahendra dan membuka kolom chat mereka. Dan tidak ada apa pun! "Nggak ada chat apa pun," katanya sambil menunjukkan ponselnya ke arah Devian. "Chat yang kemaren. Yang terakhir kali nggak kamu read itu." Nah kan... Feelingnya benar tentang Devian yang ingin cari masalah dengannya. Jelas-jelas itu masalah lama, tapi masih diungkit kembali. Sepertinya Devian lebih berbahaya daripada perempuan PMS. Bisa-bisanya hal yang sudah berlalu dan clear masih diungkit-ungkit. Jessica harus banyak-banyak bersabar kalau begini ceritanya. "Mendingan sekarang Bapak chat saya dan akan saya read di depan Bapak sekarang juga. Capek saya masalah itu diungkit-ungkit lagi padahal saya udah minta maaf. Memangnya permintaan maaf saya masih kurang ya?" kata Jessica dengan raut malas. Sudah capek kerja, eh ditambah capek harus membahas masalah yang sama. Capek deh! "Saya nggak mempermasalahkan permintaan maaf kamu. Saya cuma nanya penyebabnya aja." jawab Devian kalem. Pria itu yang tadinya hanya bersandar di ambang pintu kaca pun kini berjalan masuk. Dia mendekati Jessica dan bersandar di pinggiran meja yang berada tak jauh dari tempat Jessica duduk. Seandainya Jessica punya kebebasan untuk mengutarakan pendapatnya tanpa perlu khawatir akan pekerjaannya. Sudah pasti dia akan jujur. Siapa penyebabnya? Ya Devian lah. Masa orang lain sih. "Jess," "Siap, Pak." "Siap apa sih? Jawab dulu pertanyaan saya dengan benar." "Gini lho, Pak," Jessica memutar kursinya agar tidak berada tepat di depan Devian. Kini posisinya menyamping dan kedua tangannya berada di atas meja. Dia siap merangkai kebohongan. "Pak Devian, setiap perjodohan itu nggak harus semuanya berakhir baik. Pak Devian sendiri yang bilang kalau cocok ya berlanjut dan kalau nggak ya sudah. Nggak perlu dipaksakan." "Dan alasan nggak cocoknya karena dia?" "Dia siapa sihhhhh?" Jessica gemas sendiri. "Pacar kamu. Adrian." Jessica ternganga. Hidup lagi capek-capeknya, lalu ditambah dengan tudingan itu. Tidak masuk akal. "Interaksi kamu dengan Adrian beda. Mulai dari cara kalian berkomunikasi lalu tertawa bareng. Belum lagi dengan kalian yang nggak risih memakai barang yang sama berganti-gantian. Saya yakin hubungan kalian lebih dari teman." Jessica terkekeh. Cara dia dan Adrian berkomunikasi lalu tertawa bareng berbeda? Itu ghibah, anjir! Kalau dalam ber-ghibah gesturnya sekaku kanebo kering, ya jelas tidak akan dapat feel ghibah-nya. Tapi bisa-bisanya Devian Mahendra yang sok tahu ini berkata begitu. Lalu masalah wadah yang bergantian? Astaga. Bagi Jessica, selama wadah tersebut bersih dan layak untuk dipakai, ya tidak masalah kalau harus dipakai bergantian. Memangnya hal sesepele itu bisa menghadirkan benih-benih cinta? Mustahil. Dan terakhir... dia tadi bilang apa? Dia yakin Jessica dan Adrian punya hubungan lebih? Memangnya dia cenayang? Dasar sok tauuu! "Pak Devian, satu-satunya hubungan yang saya dan Adrian miliki adalah hubungan kerja sama. Nggak lebih." "Pembohong." "Itu pendapat, Bapak. Terserah. Tapi faktanya tetap sesuai dengan perkataan saya." Jessica langsung memutar kursinya hingga memunggungi Devian. Dia tidak mau menatap pria itu. Dia muak. Dan semoga saja pria itu memahaminya dengan langsung keluar. Tapi bukannya keluar, Devian malah memutar kursi yang diduduki Jessica hingga terputar 180°. Jessica kini menghadap Devian. Dan pada momen di mana mata mereka bertemu, Devian pun menunduk dan memerangkap Jessica. Kedua tangannya berada di sisi kiri dan kanan tangan kursi yang mengakibatkan Jessica tidak bisa berkutik. Sialan. Mata keduanya beradu intens. Satu membeliak karena terkejut, satu lagi menajam dengan penuh perhitungan. Devian tampak marah, tapi Jessica tidak tahu kenapa pria itu harus sampai marah seperti ini. "Pak Devian, kita di kantor. Bisa gawat kalau ada yang sampai melihat!" Jessica memperingatkan, tapi Devian tidak peduli. Dia menatap manik mata Jessica lekat-lekat lalu turun ke bagian bibir Jessica yang tampak menggoda sekali. Bisa gawat kalau dia sampai lepas kendali dan mencium perempuan itu di sini. "Katakanlah saya percaya bahwa kamu dan Adrian memang nggak ada hubungan, lantas apa yang membuat kamu tetap nggak mau membalas pesan saya? Pasti ada alasan yang masuk akal, Jess." Jessica memalingkan wajahnya. "Saya cuma nggak pengen melanjutkan perjodohan itu. Thats it." "Cuma itu?" "Cuma ituuuu!" kata Jessica dengan sebal. Dia berusaha mendorong Devian tapi agak sulit. Jessica mendengus karena terpojok begini. "Lagian kenapa sih Pak Devian kekeuh banget? Toh Bapak juga kan nggak mengharapkan perjodohan ini." imbuh Jessica. Mendengar itu, Devian seperti menangkap sebuah clue. "Apa karena perkataan saya yang bilang kalau saya nggak terlalu menganggap perjodohan itu sebagai perjodohan? Dan kamu tersinggung karenanya?" Jessica salah tingkah. Bisa-bisanya Devian mengetahui hal ini. "Nggak kok." "Liat saya, Jess. Dan sekali lagi coba bilang begitu." Jessica tidak melakukannya. Dan hal ini langsung membuat Devian mendapatkan kesimpulannya. "Ternyata bener..." Pada momen itu barulah Devian mundur dari posisinya. Dia tidak lagi mengungkung Jessica dan membuat perempuan itu tidak nyaman. "Saya minta maaf kalau saya membuat kamu tersinggung. Saya nggak bermaksud begitu." Jessica gelisah dalam duduknya. Entah kenapa dia merasa tidak nyaman sekali. "Bapak nggak perlu minta maaf untuk sesuatu yang Bapak nggak paham letak salahnya di mana. Ini cuma perbedaan prinsip." Jessica mencoba menjelaskan. "Mama saya nyuruh saja mencoba, ya saya akan mencoba sebisa saya. Tapi kenyataannya Bapak kan nggak berencana ke arah sana. Kalo kayak gitu mah untuk apa saya mencoba? Cuma buang-buang waktu." Jessica menggigit bibir bawahnya. "Apalagi masa lalu Bapak yang belum selesai, sikap welcome Bapak bener-bener harus dihindari." "Masa lalu saya? Siapa?" Suara Devian terdengar semakin berat dan Jessica tahu kalau dia sudah salah karena membawa-bawa hal ini. Bodoh, bodoh, bodoh! Kenapa dia harus terlalu blak-blakan sih?! "Kamu menyelidiki saya?" "Ya. Ada yang salah?" jawab Jessica tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Saya perlu tahu orang seperti apa yang dijodohkan ke saya." "Kamu terlalu berlebihan." sergah Devian. "Perjodohan kita baru tahap awal tapi kamu sudah mencari tahu tentang saya. Kenapa kamu nggak bisa hanya menikmati momen-momen ini dan menemukan kecocokan kita sih? Kenapa harus seberlebihan ini padahal semuanya belum jelas?" "Saya berlebihan?" Jessica menunjuk dirinya sendiri. "Saya hanya bertindak rasional. Pak, di umur saya saat ini, saya nyari pria yang memang bisa diajak serius. Sedangkan Pak Devian sama sekali nggak serius di awal. Kalo saya nggak tahu hal ini dan menaruh harapan lebih ke Bapak, Bapak pikir siapa yang bakal terluka, hah? Ya jelas saya lah!" "Siapa bilang saya nggak serius?" Jessica tergagap. Mulutnya yang sudah ter-setting untuk melawan pun langsung bungkam. "Pak Devian... serius?" "Menurut kamu?" Devian melengos. "Selama ini saya berusaha—percayalah. Cuma memang nggak mudah. Dengan kamu pun saya juga berusaha, tapi kamu malah menghindari saya di saat saya mulai tertarik ke kamu." "Pak Devian jangan coba-coba mengacaukan pertahanan saya ya, Pak. Saya nggak mau berurusan dengan orang-orang yang belum selesai dengan masa lalunya. Saya nggak mau." Seorang Devian Mahendra yang dulunya mau menuntut dirinya kini berubah tertarik padanya? Astaga, apa-apaan ini... "Saya bukannya mau mengacaukan pertahanan diri kamu, Jess. Saya cuma minta dikasih kesempatan. Saya juga pengen kayak orang-orang yang berakhir bahagia sama pasangannya." Devian melangkah maju dan mengikis jarak antara dirinya dengan Jessica. Suasana jadi canggung, tapi tidak ada solusi yang bisa mengeluarkan mereka dari situasi ini. "Jess, please, kasih saya kesempatan ya..." Jessica gelisah. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN