3. KESALAHPAHAMAN

1973 Kata
Happy Reading ^_^ *** Jessica memandang restoran yang mereka -Devian dan Jessica- singgahi dengan tidak nyaman. Di sini ramai, tapi bersamaa Devian entah kenapa tidak membuat Jessica merasa aman. Dia ketakutan. Atau lebih tepatnya tertekan. Menu restoran ini pun tampak menggugah, tapi entah kenapa Jessica sama sekali tidak bernafsu. Dia menutup buku menu dengan agak keras hingga atensi Devian terarah kepada dirinya. "Sudah tahu mau makan apa?" "Pak Devian, saya nggak perlu makan apa pun. Saya cuma butuh Bapak kasih kepastian kalo Bapak nggak akan mengganggu pekerjaan saya. Please, Pak, saya janji nggak akan ceroboh yang berakhir merugikan perusahaan. Saya akan kerja keras sampe perusahaan untung maksimal dan Bapak dapet duit yang banyak." "Kerja sewajarnya aja, Jess, nggak usah berlebihan. Kalo kamu meninggal karena kecapekan perusahaan juga yang repot." Devian itu bodoh atau bagaimana sih? Masa iya dia tidak tahu yang namanya pencitraan. Jessica berkata begitu kan supaya Devian berwelas asih kepadanya dan melepaskan Jessica dari segala balas dendamnya. Setinggi apa sih jabatannya si Devian Mahendra ini sampai dia tidak tahu kalau dirinya sedang melakukan pencitraan. Dia penasaran, tapi di sisi lain dia juga tidak berani membayangkannya. Terlalu banyak cahaya yang menerangi Devian sampai Jessica silau saat mendongak untuk melihatnya. "Eiittss, jangan GR ya. Saya memperingatkan sebagai sesama pegawai yang bekerja di perusahaan ini." Gimana mau GR, isi kepala Jessica saja sudah ruwet dengan beragam prasangkanya. "Sudah tahu mau pesen apa?" "Air putih aja." Devian memanggil pegawai restoran dan memesan menu yang diinginkannya. Karena tak mau ambil resiko, dia pun memesankan Jessica menu yang sama dengan dirinya. "Saya nggak tahu kamu sukanya apa, tapi makanan yang barusan saya pesankan itu lumayan enak. Semoga kamu suka," katanya. Bukannya merasa bersyukur, Jessica malah semakin tertekan dengan sikap baik Devian. Empat bulanan yang lalu Devian tidak begini. Ralat, sikapnya saat MCU dilakukan memang ramah. Tapi semenjak hasil MCU-nya keluar dan hasilnya salah, dia jadi melihat sisi lain Devian yang membuatnya tak bisa berkutik. Kritikannya pedas, bahkan sampai menghakimi nakes lainnya. Mengingat keketusannya waktu itu, Jessica merasa tidak percaya dengan sikap baiknya ini. Seperti tidak mungkin sekali. "Supaya kamu bisa makan dengan enak, saya nggak akan menyulitkan kamu," kata Devian tiba-tiba yang membuat Jessica menatapnya dengan polos. "Saya ngajak kamu ke sini untuk minta maaf. Minta maaf dan mengucapkan terima kasih—lebih tepatnya begitu." "Hah?" Jessica tampak cengo. "Pak Devian bukannya mau membahas yang masalah HIV reaktif itu? Bapak nggak mau nuntut saya lagi?" pekik Jessica dengan nada terkejut yang dibaluri oleh kegirangan. "Kapan saya bilang mau nuntut kamu lagi?" Devian membalik pertanyaan Jessica. "Kamu yang terlalu overthinking." "Saya bukannya overthinking, Pak. Cuma memang otak saya sudah tersetel untuk berpikir lebih detail dari orang-orang pada umumnya." kilah Jessica. "Tapi ini beneran? Bapak udah nggak ada dendam sama saya?" "Saya nggak pernah ada dendam sama kamu. Bahkan, saat saya dateng ke rumah sakit untuk protes pun murni hanya untuk mencari kebenaran. You know-lah, HIV bukan penyakit ringan. Jadi saya perlu memastikannya sendiri." Rasanya Jessica seperti diguyur oleh air yang super dingin setelah beberapa saat sebelumnya dilingkupi oleh rasa panas yang super menyengat. Dia lega sekali. Dadanya pun terasa plong sekali meski dia belum tahu sepenuhnya kenapa dia dibawa ke sini oleh pria itu. "Saya bawa kamu ke sini untuk mengucapkan terima kasih sekaligus maaf ke kamu." Dahi Jessica berkerut. Dia bingung kenapa Devian merasa harus minta maaf padanya. Kan dia korbannya, bukan Jessica. "Terima kasih untuk?" "Kamu lupa? Waktu itu nenek saya sakit dan perlu penanganan cepat tapi setiap UGD rumah sakit yang kita kunjungi selalu full bed. Saat itu kamu sakit, tapi kamu memberikan bed kamu untuk nenek saya. Bahkan kamu juga bantu sampling agar darah beliau bisa segera diperiksa." Jessica langsung ber-oh-ria. Dia hampir lupa dengan kebaikannya yang satu ini. "Jujur aja, kalo waktu itu kamu nggak merelakan bed kamu untuk nenek saya, mungkin nenek saya sudah nggak tertolong. Thanks, Jessica." Devian menjeda. "Sebenernya saya mau ucapin saat nenek saya dirawat di situ, tapi saya tunggu-tunggu kok batang hidung kamu nggak keliatan. Beberapa hari kemudian barulah saya tahu kalo kamu sudah resign. Dan, yah, permintaan maaf saya tertunda sampe hari ini. Maaf ya, Jess." Jessica meringis malu. Tujuan Jessica menolong nenek Devian waktu itu bukan untuk mendapatkan rasa terima kasih. Bahkan, dia tidak berekspektasi untuk itu, entah itu di masa lalu atau pun di masa kini. Sejujurnya motif Jessica menolong Devian waktu itu adalah untuk mempermalukan pria itu. Agak di luar nalar, tapi memang itulah tujuannya. Jessica ingat sekali Devian begitu ketus saat hasil lab sebenarnya diberitahukan. Bahkan pria itu secara terang-terangan meragukan kredibilitas nakes lainnya karena kesalahannya tersebut. Tentu saja Jessica marah. Untuk sampai di posisi ini, para nakes disumpah. Hanya karena satu oknum, lantas bagaimana bisa kredibilitas semua nakes diragukan? Oleh karena itu Jessica membalasnya dengan membantu Devian. Dengan begitu dia akan menjilat ludahnya sendiri karena sudah berpikiran sempit tentang para nakes. Faktanya, seburuk apa pun para nakes yang pernah dijumpainya, nakes lainnya tidak seharusnya di-judge begitu. Bahkan, katakanlah mereka di-judge begitu, kemanusiaan dalam diri mereka akan tetap nomor satu. Para nakes tersebut akan tetap membantu seseorang sekuat yang mereka bisa terlepas sekejam apa pandangan orang-orang pada mereka. Sampai akhirnya orang itu akan sadar bahwa di kondisi kesehatan paling kritis yang akan membantu mereka ya nakes. Jadi sudah sepantasnya setiap nakes dihargai tanpa dikaitkan dengan kesalahan nakes lain yang tidak bertanggung jawab. Hanya itu tujuan Jessica, dan siapa sangka memang memang tepat sasaran. Syukurlah. "Saya ngerasa kondisi nenek lebih kritis makanya saya mengutamakan beliau. Setidaknya saya kenal perawat-perawatnya, jadi pengobatan saya bisa dilanjutkan di ruang istirahat perawat. Sedangkan nenek kan nggak bisa." terang Jessica sebijak mungkin. Pencitraan sedikit tidak apa-apa kan? "Trus masalah resign kamu, saya juga minta maaf. Saya nggak menyangka kalo kamu berakhir resign padahal kamu sendiri yang bilang kalo kamu nggak bersalah." "...." "By the way, untuk resign itu beneran atau kamu dipecat ya, Jess? Maaf kalo saya kurang ajar bertanya kayak gitu." "Saya resign kok." jawab Jessica untuk meluruskan. "Lagian, kalo saya dipecat, nggak mungkin lah saya bisa kerja di perusahaan bonafit ini. Catatan merah saya pasti akan ketahuan dan bukan nggak mungkin akan membuat saya kesulitan dapet kerja." "Tapi kamu sendiri yang bilang kalo kamu nggak bersalah, lantas kenapa kamu yang datang dan mengakui semua kesalahan itu sih?" "Pak Devian percaya?" Devian mengangguk. "Saya tahu kamu jujur, Jess." Jessica agak terkejut karena pria di depannya mendengarkan penjelasannya dengan seksama. Di saat manajemen terus menekan Jessica agar dia menjadi tersangka, ternyata ada Devian Mahendra yang percaya kalau dia tidak bersalah. Dan koordinatornya juga, tentunya. Rasa haru melingkupi Jessica. "Sebenernya saya nggak ada maksud untuk menuntut kamu. Eh, ada sih. Sedikit," ralat Devian dengan sedikit terkekeh. "Tapi di waktu yang sama juga kebingungan kamu cukup menjelaskan kalo kamu nggak tahu apa-apa. Dari situlah saya mencoba berdamai, toh tujuan penting saya tercapai, yaitu mendapat kejelasan tentang penyakit saya. Tadinya saya nggak mau membahas masalah tuntut-menuntut. Apalagi setelah kamu dateng langsung dan menjelaskan semuanya secara personal. Tapi siapa sangka Oom saya udah buat pengaduan dan setelah itulah manajemen yang ambil alih kasus ini." Hati Jessica sedikit menghangat karena ternyata sosok Devian Mahendra tidak seburuk yang dibayangkan. Resign-nya dialah yang membuat kesalahpahaman mereka berlanjut dan baru usai hari ini. "Saya nggak bersalah, itulah keyakinan yang saya pegang sampai hari ini. Hanya saja oknum licik itu nggak ditemukan, sedangkan tuntutan sudah dilayangkan. Makanya manajemen mencoba menjadikan saya tumbal." terang Jessica dalam sudut pandangnya. Selama ini dia menutup rapat kisah ini dan baru kali inilah dia berani membahasnya. Itu pun bersama dengan korban yang terjahati oleh oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut. "Koordinator saya tahu kalau saya nggak bersalah, makanya dia berusaha memperjuangkan hak saya. Akhirnya saya dikasih keringanan. Saya nggak akan dipecat, tapi saya harus mengakui kesalahan itu dan meminta maaf ke Pak Devian dengan tulus agar kalian menarik tuntutan itu. Koordinator saya tetap nggak mau, karena merasa itu merugikan saya. Dia minta waktu untuk penyelidikan lagi, namun ditolak. Sampai kemudian kami disadarkan dari sudut pandang manajemen. Ini bukan tentang sebanyak apa karyawan yang perlu dipecat, tapi tentang citra rumah sakit yang harus segera ditolong. Kalau informasi ini sampai keluar, maka yang rugi adalah RS. Pemecatan saya nggak akan mempengaruhi apa pun—itu faktanya. Makanya setelah melalui banyak pertimbangan, saya pun memutuskan untuk minta maaf ke Pak Devian dan mengakuinya sebagai kesalahan saya." "Kamu tahu nggak kalo kamu terlalu jadi pahlawan kesiangan?" Jessica terkekeh karena sindiran itu. "Pak Devian, saya tuh cuma pegawai biasa, nggak kayak Bapak. Nama saya tertera sebagai pemeriksa, jadi mau bagaimana pun saya menyangkal ya saya akan tetap kalah. Katakanlah pihak manajemen tahu saya nggak bersalah, tapi bukti fisiknya mengarah ke saya. Saya udah terpojok, Pak." "...." "Jadi satu-satunya solusi adalah mengakui kesalahan tersebut dan memohon maaf yang sebesar-besarnya agar kalian nggak jadi menuntut. Mungkin terkesan menyelamatkan perusahaan, tapi faktanya saya juga sedang berusaha menyelamatkan diri saya sendiri. Bapak nggak lupa kan kalo saya akan dapat keringanan? Itu adalah bayaran saya dan itu sepadan." "Jadi resign dari rumah sakit itu sepadan?" Jessica mengangguk. "Tadinya saya nggak mau resign karena saya ngerasa nyaman di tempat tersebut. Apalagi setelah kalian menarik rencana penuntutan itu kondisi rumah sakit sudah kembali seperti sedia kala. Di lab pun suasana sudah mulai santai. Dan ya, manajemen juga menepati janjinya kepada saya. Tapi kok setelah dijalani, saya malah nggak merasa baik-baik aja. Nyatanya, hampir seluruh karyawan RS tau kisah ini dan membicarakannya diam-diam. Tapi yang mereka obrolkan itu versi yang salah dan itu menyakiti saya. Memang nggak ada yang menghakimi, tapi saya agak depresi sih waktu itu. Bobot saya turun lima kilogram dalam sebulan dan saya nggak happy. Dan yah, abis itu saya memutuskan resign aja." "Sorry ya, Jess..." Jessica melambai acuh atas permintaan maaf Devian. Toh semuanya sudah lewat. Dan lebih dari apa pun, baik dirinya atau Devian pun sudah klarifikasi. Jadi nggak ada yang perlu dimaafkan lagi. Semuanya sudah jelas. Keduanya pun langsung menyantap makanan yang dipesan oleh Devian. Jessica yang tadinya bilang tidak bernafsu pun tampak berselera sekali. Hal ini membuat Devian terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Dualitas kepribadian Jessica tampak jelas sekali. "Tadi katanya nggak nafsu makan," goda Devian dengan usilnya. Jessica menampilkan cengiran polosnya. "Tadi nggak lapar karena situasi nggak jelas. Tapi kan sekarang sudah jelas." jawabnya sambil mengunyah perlahan. "Saya masih nggak menyangka ternyata Pak Devian bawa saya ke sini bukan untuk menuntut saya. Padahal sepulangnya dari sini saya udah berencana bikin CV baru buat sebar lamaran kerja." "Seriusan?" Jessica mengangguk. "Bahkan saya udah minta tolong ke temen kalo ada loker tolong dikasih ke saya dulu. Saya udah sesiap itu." "Kamu itu terlalu pemikir. Pantes bobot kamu sampe turun lima kiloan karena masalah kemaren, Jess." Jessica menampilkan cengirannya. Untuk yang satu ini dia tidak akan menyangkalnya. Yah, setelah dipikir-pikir memang benar kok. Mamanya pun mengakui. Dulu saat masih stres-stresnya kuliah pun yang menyuruh santai sedikit ya Mamanya. Karena kalau tidak begitu masa sepuluh tahun mendatang pun sudah Jessica pikirkan sejak dini. "Saya cuma nggak pengen ada hal-hal yang terjadi di luar kendali saya, Pak. Saya nggak mau merepotkan siapa pun." "Tapi tetap ada beberapa hal yang berjalan di luar kendali kamu kan? So, stop to be over perfectionist. Just let it flow. Lagian, kalo yang benar-benar sayang sama kamu nggak akan merasa direpotkan, Jess. Malah mereka akan menawarkan diri untuk membantu kamu. Jadi jangan hanya fokus pada masalahnya, tapi fokus jugalah ke orang-orang yang ada di sisi kamu di masa-masa sulit itu. Mereka adalah yang terbaik." Loh... lohh kok dia malah jadi dinasehatin sih? Dan tunggu, kenapa dia jadi salting sih? Jessica meringis sambil menggigit ujung sendok makannya. "Berarti kesalahpahaman di antara kita udah kelar ya?" Jessica menampilkan cengiran malu-malunya. "Berarti kalo ketemu saya nggak usah menghindar lagi ya. Kamu bisa say hi dan saya pun akan say hi balik. Yah, selayaknya temanlah." Teman? Ulalaaaaaaa. Kalau begini apakah dia sudah boleh mengagumi Devian Mahendra lagi? Atau hanya... sebatas teman saja? TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN