11. DEVIAN DAN KEKHAWATIRANNYA 1

1088 Kata
Happy Reading ^_^ *** Mobil yang dikendarai oleh Devian Mahendra memasuki sebuah pekarangan rumah yang tampak asri sekali meski hanya disinari oleh cahaya temaram lampu taman. Sekarang pukul sembilan malam dan dia baru pulang kerja. Sebenarnya dia sudah pulang dari pukul lima sore, hanya saja ada pekerjaan lain yang mengharuskannya datang ke perusahaan pusat. Makanya dia baru pulang jam segini. Memasuki rumahnya, sosok Devian langsung disambut oleh keheningan yang memilukan. Lampu rumah dinyalakan satu persatu, tapi anehnya Devian tetap tidak merasakan cahaya itu. Rumahnya tetap terasa gelap dan kelam. Meninggalkan ruang tamu beserta tasnya di sana, Devian Mahendra pun menuju kamar yang sangat jarang dimasukinya. Bukan kamarnya, melainkan kamar yang menyimpan seluruh kenangan Devian dengan sang mendiang pacar. Ya, persis seperti sosoknya yang punya tempat khusus di hati Devian, sosok itu juga punya kamar khusus di rumah Devian terlepas tempat tersebut pernah ditempati atau tidak. Devian secinta itu? Memang. Dan beginilah caranya mencintai perempuan itu terlepas mereka sudah berbeda alam. "Aku dijodohkan lagi..." kata Devian seraya mengelus sebuah foto. Itu adalah foto mendiang pacarnya. "Aku udah nggak tahu ini perjodohan yang ke berapa, tapi anehnya tetap nggak ada yang bisa menggantikan kamu." Mulut Devian mungkin berkata begitu, tapi sebenarnya pikirannya tertuju pada sesosok perempuan yang belakangan ini terus melintasi kepalanya. Ya, dia adalah Jessica Putri Andi. Dikatakan cinta sebenarnya tidak, tapi dia lumayan tertarik dengan perempuan itu. Awalnya Devian merasa punya harapan. Dia merasa ketertarikannya -yah meskipun hanya sekitar sepuluh persen- bisa dijadikan bekal untuk melangkah lebih lanjut. Tapi siapa sangka dengan tegas perempuan itu. berkata, "Saya nggak mau berurusan dengan orang-orang yang belum selesai dengan masa lalunya. Saya nggak mau." Lantas bagaimana dengan dia yang butuh support untuk bisa keluar dari zona ini? Demi Tuhan, dia ingin melangkah keluar, tapi kenapa Jessica sama seperti perempuan lainnya yang tidak mau membersamai prosesnya untuk pulih? Apakah hal itu terlalu membuang-buang waktu? Atau apa? Harapan Devian langsung pupus. Dan di momen ini dia merasa semua perempuan rumit, hanya sang mendiang pacarnya-lah yang tidak memperumit segala sesuatunya. Lagi, Devian kembali ke mode seperti hilang arah. Ditegaskan seperti itu, Devian seharusnya sadar. Seharusnya dia tidak perlu repot-repot memikirkan Jessica lagi. Perempuan yang tidak mau effort pada dirinya ya tidak perlu mendapatkan effort darinya. Bahkan sekedar dipikirkan pun tidak perlu. Tapi anehnya semakin Devian bersikeras tidak mau memikirkannya, kenapa dia malah semakin terpikirkan? Apalagi sosok itu juga terus tertangkap kacamata penglihatannya tengah mengobrol santai dengan seorang pria di pelataran perusahaan seminggu belakangan. Kadang hanya mengobrol, kadang mengantar sebuah makanan, dan kadang mereka terlihat pulang bersama dengan motor yang dikendarai si pria. Niatnya yang ingin melupakan Jessica jadi tidak terlaksana. Malah sebaliknya, sosok itu terus muncul dengan beragam dugaan tentang status mereka. Mungkinkah dia cemburu? Sepertinya bukan. Dia tidak mungkin cemburu pada seseorang yang menolaknya mentah-mentah. Pasti ini karena rasa tertariknya—hanya itu saja. Lantas bagaimana cara menghilangkan rasa ini? Dia muak tersiksa seperti ini. Dering ponsel menarik Devian Mahendra dari lamunannya. Saat melihat nomor yang tertera, dia berniat mengabaikannya. Pikirnya mungkin hanya seseorang yang iseng, atau yang terparah mungkin pihak asuransi untuk menawarkan asuransi mereka. Devian pun sudah biasa mengabaikan panggilan seperti itu. Tapi kejanggalan terus terjadi, mulai dari intensitas panggilan yang tidak biasa. Setelah merasa cukup bercerita dengan foto mendiang pacarnya, Devian pun memutuskan mandi. Dan selama dia mandi sampai selesai, ponselnya masih berdering dengan nomor ponsel yang sama. Siapa sebenarnya orang di balik panggilan ini? Kenapa begitu kekeuh sekali? Sampai kemudian Devian melihat bagian pesan yang ternyata juga diisi oleh pesan dari nomor yang sama dengan yang menelponnya tadi. From : 0821-xxxx-xxxx Dengan Bapak Devian Mahendra? Selamat malam, Pak, maaf mengganggu. Saya Denise, teman kerja Jessica Putri Andi di rumah sakit. Saya butuh bantuan Bapak.. Kalau benar, tolong balas pesan saya sesegera mungkin. Tapi kalau salah, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya dan tolong diabaikan saja. Mohon maaf atas kelancangan saya. Devian membaca pesan tersebut dengan seksama. Dan ketika dia menangkap maksudnya, tanpa pikir panjang Devian langsung menghubungi nomor tersebut. Jujur, dia mulai gelisah, tapi entah karena apa. Mungkinkah karena pesan yang dikirimkan seperti menandakan kalau Jessica dalam bahaya? Dan dia khawatir pada perempuan yang pernah menolaknya mentah-mentah? "Ini bener dengan Devian Mahendra?" "Iya. Ini siapa?" "Denise, Pak. Saya temennya Jessica," "..." "Ya Tuhan, syukurlah. Saya khawatir banget Bapak udah ganti nomor. Saya nggak tahu harus minta bantuan ke siapa kalau ternyata Pak Devian nggak menanggapi pesan dan panggilan saya." Devian curiga teman Jessica mendapatkan nomornya dari data yang dia berikan semasa MCU waktu. Identitas diri yang dia lampirkan waktu itu cukup lengkap. Hanya saja, untuk bagian nomer telpon memang Devian sengaja memasukkan nomor yang tidak terhubung ke WA. Alasannya sederhana, WA adalah aplikasi yang sering dia gunakan untuk berkomunikasi dengan semua orang yang dikenalnya, sehingga Devian tidak mau ada notif tidak penting di dalamnya. Berbeda dengan notif panggilan dan pesan biasa yang sudah jarang diliriknya karena sudah ada WA. Mungkin ini jugalah yang membuat teman Jessica ini begitu bersyukur saat Devian membalas pesannya. "Kamu tenang dulu, terus ceritakan ke saya pelan-pelan tentang maksud kamu butuh bantuan saya," Devian memberitahu. "Siapa yang butuh bantuan saya?" imbuh Devian dengan harap-harap cemas. "Jessica, Pak." Devian langsung dilanda kegelisahan yang membuatnya tidak nyaman sekali. "Jessica kenapa?" lirihnya. "Jessica hari ini pergi kencan dengan seseorang yang dia kenal via sosmed. Saya udah memperingatkan, tapi dia tetep kekeuh. Puncaknya adalah hari ini di mana dia ketemu laki-laki itu dan belum pulang sampe detik ini. Malah..." Jeda itu membuat Devian semakin panik. "Malah apa, Denise? Jangan bertele-tele." "Malah sekarang saya liat dia dan pria itu ada di sebuah club malam." "Kamu tahu dari mana?" "Saya selalu pesan ke Jessica supaya dia bagiin live location-nya setiap dia kencan sama orang asing. Dan hari ini pun begitu. Tapi setiap saya telpon nomernya tersambung tapi nggak diangkat. Terakhir saya chat itu sebelum saya berangkat kerja sekitar setengah sembilan, tapi sampe sekarang pesan saya belum juga di read." Jantung Devian mulai berdebar mendengar kemungkinan bahwa Jessica saat ini sedang tidak baik-baik saja. Kadar kepanikan dalam dirinya meningkat. "Pak Devian, tolong... tolong cari Jessica. Bawa dia pulang. Saya nggak tenang. Kalau saya nggak dinas malam, udah pasti saya susul dia ke sana." "...." "Please, Pak. Saya nggak menghubungi keluarganya karena tahu kalau mereka pasti marah besar. Terutama kakak laki-lakinya. Kalau Bapak pun menolak, saya nggak tahu harus minta tolong ke siapa lagi." "Kamu catet nomor WA saya. Kirim lokasi Jessica ke saya sekarang juga." Dan begitulah akhir percakapan tersebut karena Devian langsung menyambar kunci mobilnya dan bergegas pergi tanpa memikirkan apa pun lagi. Ya, dia memang sekhawatir itu dengan Jessica. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN