"Sampai."
"Terimakasih, Tuan." Anne membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil Sean. Pada akhirnya ia bersedia diantar oleh teman barunya itu, kenapa? Karena sudah tak ada lagi kendaraan umum dan Sean senantiasa menunggu.
"Ini sudah pukul 9 lewat 10 menit, bagaimana jika ayahmu memintaku bertanggung jawab?" Sean keluar mobil dan mengikuti Anne yang sudah sampai didepan rumah.
"Kalau begitu cepat pergi agar ayah tak melakukan itu." Anne memutar mata malas dan sebelum mencapai gangang pintu, pintu itu telah terbuka dari dalam.
"Ehm." Ayah Anne berdiri di ambang pintu dan berdehem menatap Anne dan Sean.
"Ayah." Anne terkejut hingga sedikit terjingkat.
"Kau lagi?" Ayah Anne mengabaikan anaknya dan lebih menajamkan penglihatannya pada Sean yang berdiri tak jauh di belakang Anne.
"Selamat malam, Paman," ucap Sean dan tersenyum sekenanya.
"Kau mengingkari janjimu anak muda. Tidakkah kau lihat jam berapa sekarang?" Pandangan mengintimidasi sangat ketara di wajah pria paruh baya itu.
"Maaf Paman, seharusnya kami sudah sampai sebelum jam sembilan jika putri anda tidak keras kepala dan bersikeras menunggu angkutan umum," jawab Sean dengan melirik Anne.
"Benar begitu Anne?"
"A … haha maaf Ayah, bukankah kau yang mengajariku jika kita bisa sendiri tidak perlu bantuan orang lain bukan?" Anne menggaruk pipinya dan tersenyum kikuk.
"Hm … kali ini aku tak akan mengampunimu. Jika tak ada lagi urusan cepat kembali, tidak baik seorang pria yang bukan siapa-siapa putriku berada disini sampai larut," ujar ayah Anne dengan penekanan di setiap kata.
"A … ya baiklah. Selamat malam paman. Sampai jumpa Anne." Sean berbalik berjalan menuju mobilnya. Menyalakan mesin mobil dan mobil itu melaju meninggalkan kediaman Anne.
"Jual saja Popon dan ayah akan membelikanmu mobil baru," ujar ayah Anne yang berjalan di belakang Anne dan memberikan saran.
"Ayah … Popon itu hasil jerih payahku dan aku tak akan menjualnya," balas Anne dan berjalan gontai hendak menuju kamarnya.
"Kau sudah pulang sayang?" Nurma, ibu Anne menghampiri putri sematawayangnya yang hendak mencapai tangga menuju kamar.
"Iya, Bu." Anne berhenti dan berbalik "Apa ibu memasak sesuatu? Ann lapar." Anne kembali turun menyusul sang ibu yang keluar dari arah dapur.
"Apa pria itu tak mengajakmu makan malam? Pria macam apa yang membiarkan seorang gadis kelaparan," cibir ayah Anne yang kini duduk di sofa ruang tamu.
"Pria?" Nurma tak mengetahui bahwa sudah dua malam ini putrinya diantar oleh seorang pria.
"Ayah ...." Anne memijit kepalanya. "Bukankah kau yang menyuruhnya mengantarkan aku sebelum jam sembilan?"
"Tapi dia itu pria seharusnya ia bertanggungjawab selama kau bersamanya." Seakan tak mah kalah, ayah Anne kembali mencari alasan.
"Terserah Ayah. Aku lapar dan biarkan aku menikmati makan malam dengan tenang." Anne berjalan ke arah dapur mengabaikan ocehan sang ayah.
"Hanya ada telur, Sayang, kau ingin ibu memasakanmu apa?" Nurma membuka kulkas dan menyadari hanya ada sedikit bahan makanan di dalamnya.
"Apakah masih ada ikan? Aku ngin sup ikan." Anne duduk di kursi dan memakan cemilan dalam toples.
"Baiklah, untung saja masih ada ikan dalam kulkas." Nurma mulai menyiapkan bahan untuk memasak.
"Kenapa tidak bercerita pada ibu siapa pria itu?" Dengan masih mengiris bahan masakan, Nurma mencoba bertanya pada putri tersayangnya.
"Apa maksud Ibu?" Anne yang tengah meminum segelas air hampir saja tersedak mendengar pertanyaan ibunya
"Kau menyembunyikannya dari ibu?"
"Tidak Bu, dia bukan siapa-siapa, kami hanya berteman, sungguh." Anne berusaha meyakinkan.
"Hahaha ibu sama sekali tak masalah dengan itu, Sayang, kau sudah besar bahkan sudah pantas berada di pelaminan. Jadi kapan kalian menikah?" Nurma tertawa menggoda anak sematawayangnya.
"Ibu ...." Dan Anne hanya cemberut seperti anak kecil yang merajuk.
"Ibu tak memaksamu menikah secepat mungkin, Nak, karena kau yang akan menjalani hidupmu. Jika kalian sudah siap ibu akan selalu mendukungmu." Nurma mengedipkan mata jahil dengan tangan kanan terangkat penuh semangat menyemangati Anne.
"Aaaa Ibu ...." Anne merengek jengkel dengan sikap ibunya. Baru saja diantar seorang pria dan sikap kedua orang tuanya benar-benar menyebalkan.
***
"Bagaimana aku membawa ini?" Seorang wanita paruh baya terlihat kerepotan membawa banyak kantung belanjaan. "Ah!" Satu kantuog belanjaan berisi buah hampir saja berserakan jika tidak ditangkap dengan cepat oleh tangan seseorang.
"Biar kubantu, Bi." Pria itu membantu wanita paruh baya itu yang tak lain adalah Nurma, ibu Anne.
"Ya Tuhan, terimakasih anak muda," ucap Nurma dengan tulus.
"Dimana mobil anda, Bi?" Keduanya berjalan menuju parkiran dengan beberapa kantong belanjaan dibawa oleh pemuda itu.
"Suamiku tak bisa menjemput dan aku tak berani membangunkan anakku yang kelelahan setelah bekerja lembur," jawab Nurma yang tengah berpikir bagaimana caranya untuk pulang.
"Baiklah, mari ku antar," tawar pemuda itu.
"Benarkah? Apa tidak merepotkan?" Nurma terlihat ragu dan merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa, Bi." Pria itu memasukkan belanjaan dalam bagasi mobilnya.
"Terimakasih, Nak, maaf merepotkanmu." Nurma duduk di jok mobil belakang.
"Ya. Tidak masalah Bi, namaku Sean, Kamasean Ranu," ujarnya yang tak lain adalah Sean. Ia tersenyum tipis tanpa Nurma ketahui.. "Jika sulit mendekati target, maka dekatilah orang terdekat dari target," batin Sean. Sean menyeringai dalam hati.
***
"Kau!" Anne menunjuk Sean yang saat ini tengah menikmati jus jeruk di ruang tamu. Anne baru saja turun dari kamar masih lengkap dengan piyama teddy bear dan rambut berantakan.
Sementara Sean tersenyum miring penuh kemenangan.
"Kau sudah bangun, Sayang?" Nurma muncul dari arah dapur dan membawa kue kering diatas piring.
"Ibu, apa yang dilakukannya disini?" Menunjuk Sean yang masih duduk anteng.
"Apa? Siapa?" tanya Nurma dengan heran.
Anne kembali menunjuk Sean.
"Oh ... dia yang sudah menolong ibu. Apa kalian saling mengenal?" tanya ibunda Anne setelah meletakkan sepiring kue kering di hadapan Satya.
"Tidak/ Iya," jawab keduanya bersamaan.
Nurma melihat keduanya bergantian.
"Suatu kebetulan sekali bukan?" Sean menyeringai penuh kemenangan pada Anne yang masih berdiri di tangga.
"Kau mengenal Anne?" tanya ibu Anne saat telah duduk. Ia duduk berhadapan dengan Satya dibatasi meja.
"Kami bekerja di tempat yang sama dan satu divisi pula," jawab Sean dengan jujur.
Anne yang mendengar ucapan Sean hanya misuh-misuh dalam hati. Ia menghentakkan kakinya dan berbalik kembali ke kamar.
"Sebaiknya ibu menyuruhnya segera pergi sebelum ayah memotongnya dengan katana, Bu!" teriak Anne yang sudah menghilang dari tangga.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Nurma merasa bingung dengan sikap Anne.
"Sepertinya putri anda tidak menyukaiku, padahal kukira kami bisa jadi teman dekat," ujar Sean dengan memasang wajah dengan penuh rasa bersalah.
"Anne sebenarnya gadis yang baik, kalian tentu bisa jadi teman dekat. Hanya perempuan bodoh yang menolak pria tampan dan baik sepertimu," ucap Nurma dengan tersenyum memberi semangat pada Sean.
"Anda terlalu memuji," balas Sean dengan tersenyum tipis.
"Kau tenang saja, bibi akan membujuk Anne untuk lebih dekat denganmu." Nurma mengedipkan sebelah mata dan membentuk tanda ok dengan jari tangannya.
"Terimakasih, Bi." Sean bersorak gembira dalam hati. Lampu hijau sudah didapat dari ibu wanitanya dan tinggal ayah wanita itu.
Keduanya pun mengobrol panjang kali lebar ditambah tinggi. Nurma sepertinya sangat senang mengobrol dengan Sean.
Diam-diam Anne mengintip dari lantai atas. Ia melihat ibunya dan Sean sesekali tertawa dan ia tidak tahu apa yang kedua orang itu bicarakan. Sean melihatnya, melihat kepala Anne yang menyembul di ujung tangga.
"Sepertinya putri anda ingin bergabung." Sean melirik ke lantai atas dan diikuti Nurma.
"Dasar anak itu. Kau tunggu disini, bibi akan menyuruhnya turun." Nurma berjalan menaiki tangga dan melihat Anne bersembunyi dibalik rak kecil.
"Ya Tuhan, Anne... ibu kira kau sudah membersihkan diri dan menyusul teman kerjamu." Nurma berkecak pinggang melihat putrinya masih memakai piyama dan rambut acak-acakan.
"Ibu … bukankah aku sudah bilang, suruh orang itu pergi?" rajuk Anne dengan manja.
"Kenapa? Bukankah kalian berteman?"
"Tidak. Dia bukan temanku," jawab Anne cepat.
"Jangan berbohong Ann, dia bahkan tahu semua teman kerjamu di kantor." Mendekati putri sematawayangnya dan merapikan rambut Anne yang berantakan.
"Ya, dia memang teman satu divisi denganku tapi aku tidak menyukainya, Bu." Anne masih setengah merengek berharap ibunya menuruti keinginannya agar Sean pergi.
"Apa? Kau tidak menyukainya? Ya Tuhan ... Ann, apa anak ibu ini sudah tidak waras?" Menangkup wajah Anne dan menghadapkannya pada Sean yang masih duduk di ruang tamu di lantai bawah.
"Lihat! Dia tampan, tidak dia sangat tampan. Dia juga sopan dan baik padaku yang orang tua ini. Bagaimana bisa kau tidak menyukainya?"
"Dia tidak seperti apa yang ibu pikirkan." Anne masih berusaha meyakinkan. Ekspresi wajahnya dibuat sangat serius akan ucapannya.
"Apa maksudmu? Dia baik, dia menolong ibu membawa belanjaan ibu dan mengantar ibu pulang ke rumah." Nurma menyentil dahi Anne kecil berharap anaknya itu segera sadar. Hanya wanita abnormal yang tak tertarik dengan Sean. Tubuh tinggi nan proporsional, hidung mancung dengan rahang tegas serta sorot mata tajam namun mampu menyeret siapa saja tertarik menatapnya.
"Di -- dia itu sudah--" Anne tak bisa melanjutkan kata-katanya. Dia tak bisa mengatakan bahwa Sean itu m***m karena kemesuman pria itu hanya padanya dan karenanya.
"Sudah-sudah, ibu tidak mau dengar. Sekarang mandi dan temui dia," perintah Nurma tanpa penolakan.
"Huh! baik. Aku akan menemuinya tapi aku tidak mau mandi." Anne segera menyusul Sean, tanpa mandi, tanpa merapikan rambut kembali dan tanpa memakai parfum.
Tap … tap … tap ....
Anne menuruni tangga dan menghampiri Sean membuatnya menyeringai tipis.
"Aku perintahkan padamu, pergi sekarang dari rumahku." Anne berkecak pinggang dan menatap Sean nyalang.
Sean hanya tersenyum kecil dan berkata, "Kau tidak berhak mengusirku, ibumu mengizinkanku disini."
"Ya Tuhan, maafkan putriku, Sean." Nurma turun dari tangga dan menghampiri keduanya.
"Tidak apa-apa, Bi." Sean tersenyum tipis.
"Ibu akan memasak makan siang. Dan kau Anne, perlakukan tamu ibu dengan baik." Nurma berjalan menuju dapur, sebelumnya ia berkedip memberi isyarat pada Sean tanpa sepengetahuan Anne. Kenapa Nurma bisa langsung jatuh hati pada Sean? Ayolah, orangtua mana yang tidak menginginkan calon menantu tampan rupawan dan baik hati? Anne tak pernah mengenalkan teman laki-lakinya sebelumnya dan Nurma mulai khawatir. Dan sekarang, saat ini ada seorang pria tampan yang baik di matanya menunjukan ketertarikan pada putri sematawayangnya, tentu saja ini tak akan disia-siakan oleh wanita paruh baya itu.
Anne duduk dengan wajah cemberut dan bersedekap d**a saat ibunya telah sampai dapur.
"Mantra apa yang kau berikan pada ibuku? Hingga dia bersikap baik padamu." Sebelah alis Anne meninggi menuntut jawaban.
"Apa maksudmu Ann? Aku bukan ahli sihir, jikapun bisa aku akan menyihirmu untuk tertarik padaku, bukan ibumu," jawab Sean dengan mengedikkan bahu.
"Jaga mulutmu. Jika kau sudah tidak punya urusan sebaiknya cepat pergi dari rumahku. Ayolah, aku yakin kau masih punya banyak uang untuk sekedar membeli makan siang," kata Anne dengan memutar mata malas.
"Sayangnya aku ingin makan siang denganmu, atau? Aku akan pergi, membeli makan siangku sendiri dan didampingi olehmu," ucap Sean tanpa keraguan. Rasanya, ia tak pernah bosan melihat reaksi Anne saat ia menggodanya, dan itu sangat menyenangkan.
"Kau! Benar-benar! Lihat, aku jelek dan bau. Aku bukan wanita yang suka membersihkan diri dan rapi di depan pria. Seharusnya kau risih padaku," ucap Anne dengan nada suara mulai meninggi. Ia benar-benar jengkel melihat bahkan mendengar godaan Sean.
"Risih? Karena apa? Kau justru terlihat lebih menggoda seperti ini. Rambut acak-acakan dan masih memakai piyama, kau sengaja? Ingin menggodaku?" Sean menyeringai menatap Anne dari atas sampai bawah. Bahkan ia sengaja menjilat bibir bawahnya sensual guna menggoda Anne.
"Apa?! Kau ... dasar pria sinting," teriak Anne dengan menuding Sean karena tak bisa membantah ucapan pria itu.
"Aku? Kenapa? Katakan Anne, itukah tujuanmu? Aku bisa membayangkan kau akan terbangun dengan keadaan seperti ini diatas ranjangku. Kemudian kau akan menuju dapur memasak sarapan untukku, setelah itu kita sarapan bersama kemudian membersihkan diri bersama dalam bathup yang sama." Seringai tak pernah lepas dari Sean saat ia terus menggoda Anne.
"Kyaa ... dasar m***m. Diamkan mulut kotormu itu. Pergi kau!" Anne bangkit dari duduknya dan mendekati Sean. Ia sudah kehilangan kesabaran, ia akan mencekik Sean sampai pria itu tak bisa lagi bicara m***m. "Aku sudah bilang jika kau memang ingin berteman denganku hilangkan mulut kotormu saat berbicara denganku. Kau baru saja mengingkari persyaratan itu dan aku tak mau berteman denganmu." Anne menunjuk Sean kemudian menarik tangan pria itu agar beranjak dari rumahnya, dari sofa empuk miliknya dan dari kehidupannya jika bisa.
"Katakan mana dari ucapanku yang m***m Anne? Justru kau yang menggodaku, menemuiku dengan keadaan seperti ini? Apa kau tidak tahu? Adikku lebih cepat terbangun saat melihatmu berantakan setelah bangun tidur?" Sean tak beranjak, tarikan tangan Anne tak mempan baginya. Ia masih anteng duduk di sofa tanpa berubah posisi.
"Lihat, kau berucap m***m lagi. Pokoknya kau harus keluar dari rumahku dan dari hidupku. Aku membencimu. Cepat pergi … uh ...." Anne masih berusaha menarik Sean agar beranjak. Sean akhirnya mengalah, bokongnya sudah mulai terangkat saat Anne susah payah menarik lengannya. Namun dengan cepat Sean menarik tangan Anne dan kembali duduk membuat keseimbangan Anne goyah. Dan akhirnya, sesuai perhitungannya. Anne duduk tepat di pangkuannya.
Kedua tangan Anne mencengkram erat bahu Sean, mengetahui ia akan jatuh, ia segera mencari pegangan dan yang paling tepat di otaknya saat itu adalah bahu Sean.
Baik Sean maupun Anne terdiam sesaat. Mata mereka bertemu membuat keduanya seakan dikunci oleh manik masing-masing.
"Anne!"
Suara yang begitu familiar di telinga Anne membuatnya dan Sean menoleh ke sumber suara.
TBC ....