Irene keluar dari kamarnya setelah tugasnya selesai, ia sudah mulai paham dengan bahasa Inggris, bahkan beberapa bahasa yang diajarkan oleh pengajar khusus yang dipekerjakan Madam Luna untuk pegawai barunya. Irene menoleh kanan kiri dan sepi sekali, tak ada seorang pun di ruang tengah, biasanya di ruang tengah akan ramai di jam begini, namun kali ini tidak.
Lalu sesaat kemudian, dari kamar sebelah keluar seorang wanita yang bernama Lely. Mengenakan celana pendek yang ketat, dan baju tali satu yang kekurangan bahan.
"Halo," ucap Irene.
"Ya?"
"Kok sepi? Tak ada orang kah?" tanya Irene dalam bahasa Inggris.
"Belum pulang semuanya. Kalau pulang pasti lagi di kamar istirahat," jawab Lely meraih gelas kosong.
Sesaat terdengar suara desahan di kamar sebelah kiri, kamar tanpa penghuni, namun kamar itu adalah satu-satunya kamar yang luas dan hanya ada satu ranjang.
Irene terkejut mendengar desahan itu makin terdengar jelas.
"Apa itu?" tanya Irene penasaran.
"Mereka bekerja," jawab Lely lalu duduk disofa ruang tengah, meraih majalah fashion dan membuka halamannya.
"Tapi, kenapa suaranya seperti ...."
"Seperti apa? Namanya bekerja. Ya pasti suaranya begitu," sergah Lely mulai tak suka dengan pertanyaan Irene yang selalu penasaran akan semua hal yang terjadi pada mereka dan rumah ini. Termaksud apa pekerjaan mereka. Lely kesal setiap kali mendengar pertanyaan itu. Irene terlalu polos dan menjengkelkan. "Kamu mau lihat mereka bekerja? Silahkan. Mereka di kamar ujung. Kamu bisa belajar dari mereka. Karena itu akan menjadi pekerjaanmu juga."
Sebenarnya ... Madam Luna sudah memberitahu semuanya agar tak ada yang mengejutkan Irene, Madam Luna sendiri yang akan menjelaskan apa pekerjaannya. Jadi, tak ada seorang pun yang berhak memberitahu Irene selain Madam Luna atau Yonce. Hanya saja, Lely sudah kelewat kesal dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terbiasa baginya.
Irene lalu melangkahkan kakinya menuju kamar ujung yang ditunjukkan Lely. Lely mengangkat bahunya dan tak mau bertanggung jawab jika Irene terkejut.
Irene terus melangkah menuju kamar itu, dan suara desahannya makin dekat. Tibalah Irene didepan pintu kamar yang mengeluarkan suara-suara desahan yang menghujani, Irene memberanikan diri membuka pintu kamar itu tapi perlahan agar pekerjaan temannya tak terganggu.
Mata Irene membulat, wajahnya memucat, bibirnya gemetar dan seolah-olah jantungnya akan berhenti, napasnya tak karuan melihat aksi yang terjadi didepannya. Aksi yang benar-benar mengejutkan. Irene baru pertama kali melihat itu, tentu saja dia akan terkejut.
Anak Adam dan Hawa itu sedang bercinta.
Irene menutup kembali pintu itu dan berdiri didepan pintu itu dengan bingung. Lalu sesaat kemudian, Lely datang, bersedekap didepan Irene, lalu bersandar didinding.
"Kamu sudah lihat?" tanya Lely. "Bagaimana tanggapanmu?"
"Apa maksudmu? Kamu menyuruhku melihat orang sedang melakukan hubungan intim?"
"Kenapa? Kamu terkejut? Belum pernah melihat orang berhubungan intim begitu? Ah munafik," geleng Lely masih menganggap Irene sok suci.
"Apa maksudmu? Aku memang belum pernah melihat orang berhubungan seperti itu. Jadi, wajar saja jika aku terkejut. Jelaskan kepadaku, kenapa mereka berhubungan di rumah ini? Dan, bukannya di sini khusus wanita saja? Kenapa ada pria?" Irene makin penasaran, meskipun jantungnya belum membaik.
"Apa kurang jelas? Harus aku jelaskan seperti apa lagi? Ha? Kamu mau mendengar penjelasanku? Tak takut? Bagaimana kalau kamu pingsan?"
"Aku makin tak paham." Irene bingung harus menanggapi bagaimana.
Lely tak mau menjelaskan panjang lebar pada Irene, ia berharap sesuatu yang ia katakan tadi tentang pekerjaan itu akan membuat Irene paham, namun nyatanya Irene tak paham sama sekali. Irene malah kelihatan bingung dan seperti orang yang kehilangan jati diri. Lely tak pernah menemukan seseorang seperti Irene yang terlihat sok suci dan sangat polos.
"Kamu pikir, kamu dipekerjakan di sini itu buat senang-senang? Buat makan dan tidur aja begitu? Kamu salah besar. Kamu di sini bukan untuk menikmati liburan di negeri ini. Tapi, kamu harus bekerja dan mengembalikan apa yang sudah kamu gunakan. Jadi, siap-siap saja dengan konsekuensi yang harus kamu terima. Kamu mau tahu kenapa mereka melakukan hubungan intim? Karena itu pekerjaan mereka. Kamu tahu siapa yang ada didalam sana? Kamu tahu, 'kan? Ya dia Jihan. Dia salah satu wanita yang akan menerima pria datang dan berhubungan dengannya. Puas? Atau, kamu belum paham juga dengan apa yang aku jelaskan? Aku jelaskan sesimpel mungkin saja ya dengan satu kata agar kamu tak berharap banyak. Kita semua ini dan termaksud kamu yang baru adalah ... p*****r, wanita malam, gadis malam, wanita panggilan dan semacamnya. Jelas, 'kan?"
"APA? WANITA MALAM?!" wajah Irene berubah drastis dan matanya membulat.
Ternyata harapan Irene salah dan semua hal yang ia bayangkan juga salah besar. Bukan menjadi ART atau apa pun sejenisnya, melainkan menjadi wanita panggilan. Irene tak mungkin melakukan itu, ia tak pernah pacaran, ia tak pernah menikah, ia tak pernah menjalin hubungan terlarang itu. Lalu, ia ke luar negeri dan harapan bekerja yang halal malah dipaksa untuk bekerja menjadi wanita panggilan?
Bruk.
Irene terjatuh tepat didepan Lely, Irene benar-benar pingsan setelah mendengar pekerjaan apa yang akan ia jalani di luar negeri.
"Irene, apa yang kamu lakukan? IRENE!" teriak Lely, lalu menoleh kanan kiri melihat tak ada siapa pun yang bisa menolong Irene.
Sesaat kemudian, Jihan dan pria yang tadi membayar jasa Jihan keluar dari kamar tersebut. Mereka sudah melakukan hubungan itu dan pria itu juga sudah membayarnya melalui Madam Luna. Jihan terlihat memperbaiki pakaiannya yang berhamburan.
"Ada apa dengan Irene?" tanya Jihan.
"Bantu angkat dulu, bawah dia ke kamarnya." Lely menghela napas kasar karena ekspresi Irene berlebihan sekali, apalagi hal itu kan sudah biasa dilakukan orang-orang, namun karena Irene tak pernah melihat hal itu, Irene jadi pingsan.
Pria yang tadi meniduri Jihan langsung mengangkat Irene dan membawanya ke kamar Irene, pria itu menatap Irene penuh kagum dengan pakaian yang biasa namun terlihat putih dan cantik sekali.
"Oke. Kamu bisa pergi," kata Jihan menyuruh pria yang membayar jazanya tadi menggeleng.
"Siapa wanita ini? Aku tak pernah melihatnya." Pria itu bertanya.
"Dia ONS baru, kenapa memangnya?"
"Dia menarik. Kapan-kapan aku akan membayarnya," kata pria itu tersenyum menatap paha Irene yang putih dan wajahnya yang cantik.
"Kamu sanggup membayarnya? Dia masih perawan dan tentu saja dia mahal," kata Jihan bersedekap didepan pria yang tadi sudah menikmati tubuhnya. "Dia ini kesayangan Madam Luna, jadi kalau kamu butuh dia, langsung ke Madam Luna."
"Dia memang mengambil semua kepemilikanku," sambung Lely. "Jadi, dia yang mahal sekarang."
"Dia masih perawan, 'kan? Aku jadi penasaran seberapa hebat dia."